Cerpen Erlangga (Analisa, 10 Juli 2019)

Diambang Kematian ilustrasi Alwi/Analisa
MIA sudah berdiri diluar jendela dilantai delapan gedung kantornya. Ia berdiri disebuah kanopi beton sepanjang tiga meter dengan lebar hanya setengah meter. Air mata membasahi raut wajahnya yang muram. Pandangan matanya kosong, dengan kelopak mata sembab. Jelas, rasa sedih yang teramat sangat sedang menyelimuti hatinya. Hidup sudah tidak ada ada artinya lagi bagi Mia. Kekasih yang sangat dicintainya secara tiba-tiba memutus hubungan dengannya, dan akan menikahi wanita lain pilihan orangtuanya. Perasaan Mia berkecamuk. Rasa sedih, kecewa, marah dan dendam menjadi satu.
Teman-teman sekantor Mia sangat terkejut dan panik. Mereka tidak menyangka sama sekali jika Mia berani berbuat senekat itu. Walaupun selama ini mereka menilai Mia memang seorang wanita labil dan mudah tersinggung. Ia tidak pernah marah dengan suara keras dan meledak-ledak. Ia cenderung menyimpan amarahnya itu didalam hati sendiri. Mia kurang suka curhat pada orang lain. Ia agak tertutup. Hanya kemarin ia pernah bercerita sedikit pada salah seorang teman sekantornya jika ia sedang punya masalah dengan pacarnya. Itu saja…
Sudah tiga hari ini Mia kelihatan kurang sehat. Ia selalu murung dan tidak bersemangat bekerja. Mia tidak pernah menjawab setiap kali ada temannya yang bertanya tentang keadaan atau permasalahannya. Tahu-tahu, ia sudah berada di luar jendela dan siap untuk melompat..!
“Ayolah Mia, turun. Apa pun masalahmu itu mari kita bicarakan baik-baik…,” bujuk seorang temannya.
“Iya Mia ayo turun. Kami teman-temanmu pasti akan membantumu. Turunlah. Setiap masalah pasti ada jalan keluarnya,” kata teman satunya lagi. Tetapi Mia tetap bergeming. Ia tidak mempedulikan bujukan teman-temannya. Ia tetap berdiri mematung di atas kanopi beton kecil itu, tanpa pengaman sedikitpun. Tekadnya sudah bulat… mati!
Di bawah, orang-orang sangat sibuk. Mereka mengeluarkan karpet tebal, busa kursi dan benda-benda empuk lainnya dari dalam kantor untuk menampung tubuh Mia. Suasana sangat tegang. Di sekitar gedung mulai ramai. Orang-orang datang dari segala penjuru. Semua mata tertuju pada Mia. Tak lama lagi wanita berusia dua puluh lima tahun itu akan melompat dari ketinggian tigapuluh meter lebih untuk menjemput kematiannya dengan cara tragis, disaksikan oleh banyak orang. Apalagi wartawan pun mulai berdatangan untuk meliput peristiwa itu. Mia memang ingin mempertontonkan aksi bunuh dirinya itu pada publik, untuk mencari perhatian mantan kekasih serta keluarganya. Ia ingin orang-orang yang telah menyakitinya merasa bersalah seumur hidup atas kematiannya. Ia ingin merekalah nanti yang akan dipersalahkan dan dicap sebagai penyebab kematiannya.
qerlan
Saya cukup terbawa suasana dengan penggambaran yang lugas dan jelas sehingga setiap adegan dapat saya bayangkan seakan berada dalam cerita, namun pada bagian penyelesaian cerita terasa sedikit hambar karena adegaan pernikahan disebabkan oleh masalah sedemikian sudah sangat umum (ini hanya masalah selera pribadi saja karena mungkin pembaca yang lain lebih senang dengan bagian akhir cerita seperti itu), secara keseluruhan saya sangat senang membacanya, terima kasih kepada penulis (btw nama kita sama, hanya Erlangga).