Cerpen Abd. Halim Mubary (Serambi Indonesia, 07 Juli 2019)
HASAN menyambut istrinya yang kelelahan dengan tatapan iba. Seperti orang yang baru menempuh perjalanan jauh. Tanpa makanan dan air seteguk pun. Wajah cantik Laila memerah, karena matahari telah merajam wajahnya yang langsat dengan kejam.
“Dapat hadiahnya?” tanya Hasan pendek seraya mendorong kursi roda. Suara deritannya serupa tangisan.
Laila menggeleng. Sebentar ia berhenti, menatap ke arah dapur, tepatnya ke atas kompor gas yang masih menyala kecil. Mereka memang tidak menanak nasi dengan rice cooker. Laila tahu, pasti Wak Mah yang telah menanak nasi seperti biasanya jika dirinya tidak di rumah. Pagi-pagi Wak Mah biasanya bertandang ke rumah Laila sekadar jalan-jalan. Orang tua itu ringan tangan dan mau membantu apa saja.
Laila pasti sangat kecewa, pikir Hasan. Sejak tahun kelima mereka menikah, atau dua tahun setelah si kembar lahir, istrinya mulai sering menanyakan padanya, kapan akan membuat rumah sendiri. “Tidak perlu terlalu mewah dan besar, yang penting rumah sendiri, meskipun mungil.” Laila menatap Hasan dengan pandangan menghiba. “Kamu setuju, kan?”
Harapan Laila untuk membangun rumah, sebenarnya bukanlah permintaan yang muluk-muluk. Sebab jika Laila melihat kiri kanan, maka banyak teman-teman Hasan yang sudah punya rumah sendiri. Sedangkan Hasan bersama keluarganya sampai sekarang masih menumpang di rumah mertua. Tapi sampai kapan?
“Bagaimana, Bang?” desak Laila lagi begitu melihat suaminya seperti orang linglung. “Ehh… ya, apa tadi katamu, Dik?” sahut Hasan gelagapan.
Maka jawaban klise seperti ‘bulan depan’, ‘habis lebaran’, ‘akhir tahun’, ‘awal tahun,’ dan janji-janji manis lainnya akan meluncur dari mulut Hasan, hanya untuk menenangkan istrinya.
***
Namun setelah separuh tubuhnya menjadi tak berguna lagi seperti sekarang, setelah dokter memvonisnya mengidap stroke hemoragik, maka harapan dan semua angan-angan untuk membangun rumah, mulai terasa buyar. Gaji Hasan saban bulan nyaris habis tersedot untuk pengobatannya.
Leave a Reply