MALAM lewat pukul 0.00, tidak sopan rasanya menghubungi Kikan. Ingin rasanya menelefon ibu tirinya itu, siapa tahu Kikan berpikir sama. Bukankah di restoran tadi Kikan berjanji akan menunggu telefonnya? Harusnya setengah jam lalu Bara menelefon, tidak dilakukannya.
“SEMALAMAN saya tidak tidur hingga pukul 3.00. Saya menunggu telefonmu, Bara. Tapi kau tidak kunjung menyapa.”
Demikianlah cara Kikan mengekspresikan kedongkolannya pada pagi hari. Ia sangat marah dengan janji Bara. Namun, sebagai perempuan matang, Kikan tidak ingin menunjukkan kemarahannya.
“Maaf, Ibu Kikan. Saya juga tidak bisa tidur semalam.”
“Kenapa tidak menelefon dan menyelesaikan masalah kita?”
“Inta tiba-tiba menelefon. Lantas membicarakan bisnis mendiang ayahnya.”
“Terlalu dini.”
“Saya punya cara untuk menghancurkan keluarga Supraba. Terhadap ayah Inta, saya tidak bisa bermain pelan.”
“Ooh…”
“Ada yang keliru?”
“Kau memang anak muda yang kurang sabaran. Meski usia kita sama, namun kedewasaanku lebih cepat kudapat.”
“Maafkan saya.”
“Tidak mengapa. Saya hanya ingin berkabar pagi ini saya memasak nasi tangkup Sunda. Nasi goreng putih dengan udang merah segar. Andai kau berhasrat sarapan kemari, saya tidak keberatan menunggu.”
“Waw!”
“Tulus saya menyayangimu, Bara. Untunglah saya tidak diberi keturunan dari mendiang ayahmu.”
“Saya paham, Ibu Kikan.”
“Jadi, kau akan sarapan bersamaku?”
“Saya segera bersiap mandi.”
“Oh, sungguh indah hidupku hari ini. Lekas kemari, kelezatan nasi goreng tangkup akan berkurang bersamaan matahari yang kian tinggi.”
“Hahaha, Ibu Kikan lihai bermain kata.”
***
“BAGAIMANA rasanya?”
“Lezat, tidak kalah dari masakan nasi goreng Rumah Makan Nusantara,” jawab Bara. Ia berusaha menyenangkan hati Kikan.
“Rumah Makan Nusantara yang mana, ya?”
“Di Hotel Tarumanagara. Ia memiliki menu spesial, nasi goreng Sunda yang istimewa.”
“Dengan campuran udang, ikan sungai, serta daun bawang merah?”
“Tentu ini lebih lezat, karena Ibu Kikan yang memasak.”
Di sela-sela sarapan pagi itu, Kikan membuka sejelas-jelasnya tentang apa makna “perampasan” yang dilakukan mendiang Supraba atas saham mendiang Kamil suaminya, yang tidak lain adalah ayah Bara sendiri.
Supraba diceritakan telah berhasil mengelabui Kamil, dengan mengambil seluruh saham dari kongsi bersahabat. Caranya adalah menyorongkan Paturusi, bos besar keduanya, untuk mengambil alih semua saham yang dimiliki Kamil.
“Kini saya mendengar cerita ini, Ibu Kikan, tapi saya belum menemukan alasan kuat kenapa Ayah menyerahkan begitu saja saham miliknya kepada Paturusi.”
“Paturusi adalah penguasa hutan kopi di ujung barat Pulau Jawa, dan pemilik hutan kelapa di pesisir Selat Sunda, Supraba berhasil memperoleh keuntungan besar dari pembelian semua saham ayahmu. Maka saya tertawa ketika kau ingin bekerja sama dengan perkebunan Paturusi yang didanai dari uang mendiang ayahmu.”
Pembicaraan jeda sejenak dengan melanjutkan sarapan. Lantas, “Bahkan Supraba membuat cerita bahwa istri simpanan yang paling dicintai Paturusi hendak direbut ayahmu.”
Semakin terbaca jelas dalam pikiran Bara, mendiang Supraba bermain intrik dan kekuasaan. Ia membayangkan, betapa cantik istri muda Paturusi yang menjadi pergunjingan ini.
“Padahal istri muda Paturusi itu dibawa ke rumah rahasia Supraba sendiri. Ia pula orang pertama yang memerawani perempuan malang itu sebelum diumpankan pada Paturusi.”
“Mengapa Ayah tidak melawan tuduhan Supraba?”
“Ayahmu sedang dijebak, ia tertangkap tangan saat sedang berasyik-masyuk bersama perempuan itu di tepi kota. Keduanya sama-sama dibuat mabuk oleh orang-orang bayaran Supraba. Dan Paturusi akhirnya menyaksikan kejadian itu.”
Yang membuat Bara terheran-heran, mengapa ayahnya menerima saja. Ketika pertanyaan dilontarkan, Kikan cuma menatap Bara dengan cahaya mata berkobar.
“Jika engkau sedang jatuh cinta kepada seseorang dan orang itu tiba-tiba menghiba pertolonganmu, bisa apa kau?”
“Perempuan itu sudah berhubungan lama dengan Ayah?”
Kikan mengangguk lagi.
“Ibu Kikan mendapat cerita dari mana? Jangan-jangan ini hanya karangan yang dirancang lama?”
“Ini nyata, Bara, ini bukan karangan. Ini kisah cinta penuh luka.”
Bara berusaha membalas tatapan mata Kikan. “Sungguh malang nasib ayahku dan perempuan itu. Siapakah perempuan yang turut bernasib malang itu?”
“Saya.”
Seperti cahaya petir yang berkilatan dahsyat menampar Bara. Duduknya sedikit terhuyung, gelas teh di genggamannya terlepas dan jatuh di lantai, pecah berkeping.
“Masih sanggupkah mendengar ceritaku?”
Bara tidak menyanggupi. Beberapa saat ia mencoba memulihkan keseimbangan, mengambil sapu tangan di saku celana, melap keringat di tengkuknya. Namun, wajah Kikan sudah secerah sebelumnya.
“Saya gadis miskin ketika Bang Kamil menemuiku. Keluarga saya tinggal di Rawa Lebar, gang sempit di kawasan perdagangan ramai. Ketika itulah saya merasakan dunia yang lebih lebar, orang-orang kaya melakoni hidupnya tak sesulit para penghuni rumah kecil di Rawa Lebar.”
Kikan tersenyum dengan cerita pahitnya. Lantas lanjutnya, “Tentu Kikan bukan nama yang sebenarnya, tapi saya tidak ingin buka nama asli saya dengan siapa pun. Sejak bertemu Bang Kamil, hidupku tidak kekurangan.”
Tidak henti-hentinya Bara mendengar kisah serupa dongeng itu dari bibir ibu sambungnya. Tidak ada lagi yang disembunyikan dari kisah masa lalu Kikan. Bahkan cara Kamil memperlakukan Kikan yang seperti anjing piaraan juga diceritakan. Termasuk kebiasaan ayahnya yang minta dilayani di ruang terbuka, bahkan di lantai teratas rumah sewaan yang berganti-ganti.
“Saya ini seorang pelacur yang sangat terdidik. Sampai akhirnya bertemu Bos Besar Paturusi. Jika terhadap Paturusi saya hanya melayani, terhadap ayahmu saya benar-benar jatuh hati.”
Kecemburuan Paturusi terhadap Kamil menurut Kikan dialihkan dengan cara memfitnah. “Bang Kamil tidak berani lagi melawan bos besar.”
Getaran mata Kikan saat menceritakan kisah hidupnya seperti gerakan mata asmara yang memercik api. Dengan bahasanya yang santun dan terdidik, berkali-kali meyakinkan bahwa ia benar-benar jatuh cinta kepada suaminya yang usianya jauh lebih tua. Namun siapa yang berani melarikan diri dari tuan besar setelah ia diikat sebagai gundik resmi?
“Ah, sudahlah, ceritanya akan panjang. Ketahuilah bahwa kematian Supraba adalah rancangan rahasiaku bersama sejumlah kawan yang kau tak akan kuberi tahu.”
“Ibu Kikan terlibat pembunuhan itu?”
Kikan tidak menjawab, namun kobaran matanya tidak mengelak. Karena Kikan telah mengunci dengan kata-katanya, “… kematian Supraba adalah rancangan rahasiaku bersama sejumlah kawan yang kau tak akan kuberi tahu…”, maka Bara pun merasa tak memiliki celah mengejar.
“Terima kasih dengan nasi goreng tangkupnya yang lezat, sekaligus kisah masa lalu Ibu yang pahit.”
Kikan mengulas senyum, masih dengan menatap Bara.
“Kau akan segera berpamitan?”
Bara mengangguk. Mengelap bibirnya dengan kain, kemudian berdiri dan mendekat ke Kikan. Dikecupnya dahi sang ibu tiri.
“Ibu yang kusayang, saya mohon diri,” katanya.
Kikan mengiyakan, melepas senyum hingga tubuh Bara berbalik menuju pintu. Namun sebelum benar-benar menghilang, panggilan Kikan kembali terdengar. Bara menghentikan langkah, berbalik ke arah perempuan itu.
“Kalau Tuhan mengizinkan, esok malam saya pergi ke pulau seberang.”
Ke pulau seberang? Dalam situasi pandemi seperti sekarang? Betapa pandainya Kikan mengendalikan emosi.
“Selamat berlibur ke pulau seberang,” sahut Bara.
“Saya tidak akan berlibur. Ada perayaan para tetua di kampung halaman keluarga besarku. Sebuah perayaan akbar menyambut seabad orang-orang Borneo menyeberang ke Jawa.”
Bara melongo, namun buru-buru senyumnya mengembang, sambil kedua ujung jempolnya tertuju ke arah Kikan.
“Jangan lupa, Bara, saya meninggalkan tugas yang sempurna.”
“Inta, putri Supraba?”
Kikan mengangguk tanpa ragu, “Segera habisi dia!” ***
Handry TM, Ketua Dewan Kesenian Semarang, menulis cerpen dan novel di berbagai media serta penerbitan, juga beberapa kali menjadi narasumber pada pertemuan sastra tingkat Asia Tenggara.
Leave a Reply