Cerpen Sori Siregar (Koran Tempo, 27-28 Juli 2019)
Ia mengikuti Pinayungan, anggota yang berjalan paling belakang dari rombongan peserta konferensi yang berkunjung ke perbatasan itu. Ia tampak mengawasi pemandu wisata yang mengantarkan rombongan berkeliling di sekitar barak-barak tersebut.
Pemandu terlihat menjelaskan satu per satu yang mereka saksikan. Dan tentara Amerika itu dapat mendengarkan dengan jelas semua yang diucapkan pemandu walaupun ia tidak menggunakan pengeras suara.
“Di sinilah perundingan berlangsung berkali-kali antara Utara dan Selatan,” katanya sambil menunjuk ke sebuah barak. Rombongan diizinkan untuk mengetahui bagaimana keadaan dalam barak yang disebut pemandu sebagai tempat perundingan itu. Kursi-kursi berjajar berseberangan, tempat kedua delegasi melakukan perundingan. Semuanya kelihatannya dirawat dengan baik.
“Jauh di belakang barak ini terdapat sungai yang menghubungkan wilayah Utara dan Selatan. Sungai inilah yang membelah wilayah Utara dan Selatan. Daratan yang terdapat di kiri-kanan sungai disebut ‘daerah bebas militer’ (demilitarized zone/DMZ) yang sering dianggap sebagai ‘daerah tak bertuan’ (no man’s land). Padahal daratan sebelah kiri sungai adalah bagian dari wilayah Utara, sedangkan yang di kanan sungai adalah milik Selatan. Pagar kawat berduri merupakan pertanda bahwa tidak seorang pun diizinkan masuk ke sana. Daerah bebas militer yang terbentang sepanjang 250 mil inilah yang menjadi perbatasan wilayah Utara dan Selatan. Kawasan ini sebenarnya bukan hanya bebas militer, tapi juga bebas manusia karena tidak ada orang yang berdiam di sana. Yang bersimaharajalela di hutan belukar itu hanyalah 146 spesies binatang langka, termasuk beruang hitam Asia dan 46 spesies burung. Wilayah ini juga merupakan habitat harimau Siberia, rusa, macan tutul, dan berbagai jenis binatang lainnya.”
Pemandu wisata melanjutkan penjelasannya dengan tersenyum sambil bertanya.
“Ada yang masih ingat film The River of No Return yang dibintangi Marilyn Monroe dan Robert Mitchum?” Karena tidak ada yang menjawab pertanyaannya, ia melanjutkan penjelasannya.
“Wilayah Utara dan Selatan dihubungkan oleh jembatan yang disebut ‘the bridge of no return’, tapi tidak ada kaitannya dengan film yang saya sebutkan tadi. Sekitar 1953, jembatan the bridge of no return digunakan sebagai jembatan tempat pertukaran tawanan. Setiap tawanan yang akan dibebaskan harus mengambil keputusan dulu sebelum menyeberangi jembatan itu,” ujar pemandu. “Karena, jika sudah berada di jembatan, ia berubah pikiran dan lebih memilih untuk tetap di pihak yang menawannya. Ia tidak diizinkan untuk kembali. Ia harus terus karena di jembatan itu tidak dikenal kata kembali. Kembali sama artinya dengan mati.”
Leave a Reply