“Mengapa?”
“Ayah ingat Rohani?”
“Ya, ayah ingat.”
“Ayah ingat nasib yang menimpa ayahnya?”
Pinayungan paham ke mana tujuan pertanyaan itu. Karena kisah tentang jembatan yang tak kenal kata kembali itulah ayah Rohani, Hamzah, dipecat dari pekerjaannya. Padahal banyak orang memuji liputannya yang bagus tentang jembatan itu. Beberapa tahun sebelum Pinayungan ke Panmunjom, Hamzah lebih dulu ke sana bersama rombongan jurnalis Indonesia. Mereka mungkin tertarik untuk berkunjung ke perbatasan negara yang bersengketa itu setelah membaca liputan Mochtar Lubis, wartawan Indonesia pertama yang bertugas sebagai wartawan perang dari Indonesia.
Menurut salah seorang wartawan yang satu rombongan dengan Hamzah, yang dikenal Pinayungan, Hamzah terkesan sekali dengan kunjungan ke sana. Ia sangat lama menatap jembatan yang tak kenal kata kembali itu dan kemudian menunduk. Jika teman-temannya tidak memanggilnya, mungkin ia akan tunduk seperti itu lebih lama lagi.
Sekembalinya ke Tanah Air, ia pun menulis liputan yang sangat menarik tentang desa kecil di perbatasan Korea itu. Ia memberikan tekanan khusus pada jembatan the bridge of no return tersebut.
Hamzah berdiri di kawasan Selatan ketika pertukaran tawanan itu berlangsung. Yang pertama membebaskan tawanan adalah pihak Utara yang berlangsung lancar. Selanjutnya tawanan bergerak dari wilayah Selatan ke arah utara.
Satu per satu tawanan tersebut berjalan beriringan. Tiba-tiba, di luar rencana, tawanan paling depan berbalik dan berupaya kembali ke arah Selatan. Tindakan tawanan pertama ini diikuti oleh belasan tawanan lain di belakangnya. Mereka ingin kembali ke Selatan yang telah menyekap mereka beberapa bulan. Mengapa mereka ingin kembali ke pihak yang menawan mereka? Tidak seorang pun tahu. Menyaksikan belasan tawanan tersebut berbalik ke arah lawan, pasukan Utara yang senantiasa menunggu dengan moncong senjata yang setiap saat siap menyalak itu memberondong para tawanan dengan tembakan beruntun yang menggelegar.
Semua tawanan yang berniat kembali ke tempat mereka ditawan beberapa bulan itu roboh bergelimpangan dengan erangan yang terdengar jelas. Pasukan penjaga perbatasan Selatan sangat terkejut menyaksikan peristiwa tersebut. Mereka tampak bingung dan tidak berani mendekati para korban yang bergelimpangan di wilayah Utara. Semua korban baru diangkut dengan ambulans Palang Merah satu jam kemudian. Tidak jelas apakah Palang Merah itu Palang Merah Internasional atau Palang Merah Korea Utara.
Leave a Reply