Cerpen Alim Musthafa (Republika, 28 Juli 2019)

Riwayat petani ilustrasi Rendra Purnama/Republika
“Maaf, aku tidak bisa ke mana-mana, Lim. Biarlah aku di rumah saja, jadi petani,” kata Ahmad kepada Salim. Mereka berbincang serius di emperan, beralas tikar pandan yang di bagian sisinya sudah tampak bolong-bolong. Tubuh Ahmad masih berlumur peluh. Ia baru pulang dari ladang kerena disusul Aisyah, adik satu-satunya, ketika teman akrabnya itu berkunjung ke rumahnya untuk sebuah alasan penting.
“Pikirkan baik-baik, Mad! Kesempatan tak akan datang dua kali. Pekerjaan ini gajinya besar. Selain itu, kau juga akan tahu seperti apa wajah kota metropolitan itu.” Kembali Salim membujuk. Di kampungnya, Topoar, hanya Salim teman Ahmad yang tersisa. Sementara, teman-teman yang lain telah merantau ke kota-kota yang jauh. Ada yang ke Bali, ada yang ke Kalimantan, ada yang ke Jakarta, ada juga yang ke Banten. Ada yang bekerja jadi kuli bangunan, karyawan restoran, juga penjaga toko milik tetangga kaya. Namun, sehari lagi Salim juga akan meninggalkan kampung halaman. Ia akan merantau ke Jakarta, menjadi penjaga toko milik pamannya. Karena itulah ia mengajak Ahmad karena menjaga toko tidak bisa sendirian, begitu katanya.
“Kamu tahu sendiri, Lim. Di sini aku punya banyak tanggung jawab. Aku harus merawat Nenek yang sakit-sakitan, merawat Adik yang masih sekolah, juga merawat tembakau yang masih sejengkal.” Kali ini Ahmad mendesah, seolah-olah bebanbeban telah memenuhi dada ringkihnya. Mungkin ia tak pernah membayangkan akan menjadi seperti ini, menjadi orang tua sebelum waktunya. Padahal, sebagai anak muda, tentu ia ingin bebas melakukan banyak hal yang ia inginkan, termasuk memperjuangkan cita-cita untuk menjadi apa saja. Namun, semua itu telah hilang sejak kedua orang tuanya meninggal karena mengalami kecelakaan setahun yang lalu.
Mendengar jawaban itu, Salim terdiam dan hanya memandangi wajah Ahmad yang tertunduk. Mungkin ia bisa merasakan beban yang ditanggung oleh teman akrabnya itu begitu berat dan ia tak tega membujuknya kembali untuk ke sekian kalinya. Akhirnya, setelah lama dalam kebisuan karena sudah tak ada lagi yang dibincangkan, Salim pun pamit dan tak lupa minta doa agar dirinya selamat dan sukses hidup di tanah rantau.
Salim pun keluar dan Ahmad mengantarnya sampai pintu pagar. Air mata Ahmad meleleh seiring tubuh Salim yang makin jauh.
Leave a Reply