Cerpen, Fajar, Rezkiyah Saleh Tjako

Pendekar di Barat

5
(1)

Cerpen Rezkiyah Saleh Tjako (Fajar, 04 Agustus 2019)

Pendekar di Barat ilustrasi Fajarw.jpg

Pendekar di Barat ilustrasi Fajar

Sebelum klan, hanyalah keluarga. Sebelum kerajaan, eksis itu persekutuan. Sebelum republik, penguasa di laut adalah para lanun yang menghadang ras asing di lautan dengan meriam dan guna-guna. Perjuangan di tengah ancaman badai dan makhluk laut mengerikan itu digalakkan agar manusia daratan dapat hidup tenang. Pendekar laut berteman dengan awan hujan, tornado, angin, bulan, dan matahari terbenam. Meski keinginan makhluk langit tak dapat mereka urungkan, para pendekar laut mampu membuat mereka datang terlambat. Konsekuensinya tentulah hasil laut yang tak seperti kemarin, namun begitulah harga yang harus dibayar demi keamanan para kerabat di daratan. Ratusan tahun berlalu, ancaman tidak lagi hadir di hamparan air tak berujung, melainkan dari manusia-manusia yang dahulu mereka lindungi. Pengetahuan dan ilmu berbicara manusia daratan berkembang pesat sekaligus asing. Para pendekar laut tak lagi dapat menangkap maksud mereka. Kecuali ketika suatu malam Tanah Tumbuh didatangi tiga pemuda yang belakangan baru diketahui adalah kiriman dari daratan yang jauh.

Ketiganya membawa parang dan tongkat besi. Dengan kedua senjata pabrikan tersebut, mereka telah membunuh Pendekar di Selatan. Tubuh manusia kebal pukulan itu diremukkan, dilipat-lipat, dimasukkan ke dalam kotak besi, kemudian diteggelamkan ke dalam sungai di dasar gunung. Misi kedua adalah membunuh Pendekar di Barat, Gassing sang ahli racun kecubung. Tengah malam sekali dia menggendong anak sulungnya pulang dari rumah sakit. Setelah percobaan ketiga, racun dari bunga kecubung membuat kerongkongan anaknya sekeras beton jembatan. Di ujung jalan utama menuju Tanah Tumbuh, Gassing terpaksa menjatuhkan anaknya dari punggung sebab ada tiga orang menyergapnya dari kegelapan. Anaknya telah menguasai jurus bayangan, sehingga dapat menyatu bersama misteriusnya batang bakau di malam hari. Gassing memasang kuda-kuda dan melafalkan mantra tanah.

Baca juga  Konferensi Para Tikus

Gerak-gerak tangan berasal dari perguruan di Je’ne Berang dan gerak kakinya dipelajarinya saat bertarung dengan kraken di selat Makassar. Serangan bertubi-tubi datang dari ketiga musuhnya, Gassing bergerak gesit demi pertahanan. Dia ingin mengetahui wajah, bekas luka, dan semangat apa yang membawa mereka berani memasuki kampungnya. Tanah Tumbuh adalah hadiah dari laut kepada keluarganya dan nelayan-nelayan yang memercayainya sebagai pemimpin di barat. Pada suatu sore, ikan-ikan membimbing plastik-plastik mendekat ke Losari. Disusul angin yang meniup debu, dan ombak yang membawa pasir di dasar laut untuk menciptakan daratan. Berkatalah camar pengantar kabar kepadanya, “Daratan ini untukmu, anak-anakmu, sahabatmu, dan mereka yang perlu diberikan kasih sayang.” Lalu bakau dan tanaman pantai tumbuh perlahan di sana, dalam waktu singkat menciptakan hutan untuk menaungi sebuah kampung. Dengan restu alam, Gassing membangun rumah pertama di Tanah Tumbuh. Menyusul keluarga nelayan lainnya, hingga anak-cucu mereka lahir dan siap melanjutkan tugas sebagai penjaga laut.

Loading

Average rating 5 / 5. Vote count: 1

No votes so far! Be the first to rate this post.

Leave a Reply

error: Content is protected !!