Cerpen Raudal Tanjung Banua (Jawa Pos, 22 November 2020)
DALAM residensi ke Pulau Buru, saya bertamu ke rumah seorang pensiunan tentara di Liliali, barat Namlea. Ia masih kuat di usia tua. Dulu ia bertugas di Unit I/Wanapura tempat Markas Komando atau Mako terletak.
Saya diajak Bapa Masbait, staf Dinas Pendidikan Buru. Ternyata kedua orang itu masih kerabat jauh. Mereka bercakap lebih lama daripada saya yang mau wawancara. Saya nyaris kecewa.
Namun Bapa Bessi, pensiunan itu, ternyata punya rencana. Ia keluarkan sebuah kotak kayu kecil dari lemari, lalu katanya, “Di sini tersimpan surat dan sapu tangan. Silakan pelajari. Kami yang bertugas mengambilnya dari seorang pengarang, sebelum ia naik kapal.”
“Kenapa disita, Bapa?” Tanya saya masygul.
“Bukan disita. Semua yang dipulangkan harus lewat screening akhir. Dan kotak ini mencurigakan.” Ia membukanya. “Ternyata hanya sapu tangan dan surat, hampir dibuang kawan saya. Saya ambil karena kotaknya bagus. Jadi, tinggalkan kotaknya, ambil isinya.”
Bapa Bessi menjatuhkan perintah. Hari itu juga isinya saya bawa ke hotel. Ada tiga pucuk surat terlipat dalam sepucuk sapu tangan bersulam bunga dan kupu-kupu. Mulai rapuh. Suratnya juga sulit dibaca sebab lembab telah memudarkan banyak bagian. Sungguh pun begitu, saya berhasil menyalinnya dengan sedikit rekaan pada paragraf yang benar-benar gelap. Tapi percayalah tak ada kata yang hilang. Begini jadinya sekarang:
Surat Sri Latu
Ibu Ratu, engkau tahu, hamba seorang latu. Terbakar hangus dalam dengung api kapal terbang pemburu. Pelindung kami, Tuan-tuan Nippon, meringkuk di bunker membiarkan kami pergi. Kami berhamburan bagai ayam lepas tambatan tanpa merasa kehilangan induk.
Sejak kami dibujuk untuk belajar ke Shinanto dan Tokyo, kami sudah yatim-piatu. Baru berapa mil lepas pantai, di atas kapal yang juga mengangkut para romusha, gadis-perawan kami telah direnggut satu-satu.
Kami sadar tertipu, tapi terlambat. Yang terbaik tidak menangis, walau kami dibawa makin jauh ke timur, ke Laut Banda, dan berlabuh di Namlea. Kami ditampung di barak-barak Ubung dekat lapangan terbang Sawa. Di sana, tak bisa hamba katakan, Ibu. Ratusan prajurit bergiliran memangsa kami yang hanya puluhan jumlahnya. Usia kami muda. 14-20 tahun. Tapi hamba percaya karma. Benarlah, Nippon kalah!
Dermaga, lapangan terbang bahkan bunker Nippon hancur sudah. Sekutu menggila. Hamba, Ibu Ratu, di hadapan segala yang hancur selalu merasa bau kencur. Belum pernah hamba lihat dunia seremuk itu. Kami yang meringkuk seketika bangkit seperti lidah api. Kami menuju arah timur. Yang lain berpencar ke barat, ke selatan.
Kami bertujuh: Sutinah, Lastri, Suwarti, Yatun, Karyati, Mur, dan hamba. Panggil hamba Latu, Ibu Ratu, lelatu, karena sayap terbakar oleh silau lampu kemajuan. Kami tiba di ujung tanjung. Mau ke mana? Di depan terbentang Laut Banda. Saat kabut dan senja turun, sebuah perahu lewat menuju Ilath. Kami melambai dan tukang perahu berbaik hati membawa kami.
Malang, perahu terbawa arus puteeh dari laut hingga muara Sungai Masarette. Tukang perahu meminta kami turun dan menghadap Bapa Raja Kayeli. Namun kami tak berani. Kawan-kawan hamba malah lebih dulu berpencar ke Perbukitan Batabual. Dan hamba yang tertinggal diambil tukang perahu. Kami menikah tak lama kemudian.
Sayang, suatu musim, suami hamba hilang digulung gelombang. Sejak itu hamba jatuh ke tangan seorang pelaut kidal. Orangnya kasar. Bertahun hidup hamba terlunta, rasanya seperti masa Jepang saja. Hamba tak tahan, lari, dan tiba di sini. Terima kasih hamba telah ditampung.
Tapi kini hamba pun pergi dari Ibu. Hamba tinggalkan sehelai sapu tangan sebagai kenangan dan tanda terima kasih. Ampunkan hamba yang lancang menyobek kertas buku Bapa Raja dan memakai penanya begitu saja.
Sapu tangan ini, Ibu, hamba dapat dari seorang pemuda romusha di kapal. Ia meredakan tangis hamba karena tahu perbuatan laknat sang nakhoda. Hamba yang dipanggil ke kamar buat menari, ternyata dihinakan. Maka hamba lempar sampur kesayangan hamba ke laut, karena hamba tak ingin sampur warisan mbah buyut itu ikut ternoda. Biar air laut membasuhnya.
Pemuda dengan tonjolan tulang pipi itu membuat hamba pangling bahwa ada lelaki yang peduli. Kami sama. Bedanya, ia romusha dan hamba latu. Jugun ianfu, begitu kemudian hamba tahu. Ia keluarkan sapu tangan dari sakunya, ia ulurkan padaku. Mulanya penghapus air mata. Setelah ditolak kukembalikan, sadarlah hamba itu pengganti selendang kesayangan. Kelak, jiwa kasihnya hamba jumpai menjelma dalam diri suami hamba. Sayang, seperti selendang, suami hamba, si tukang perahu, juga hilang. Ibu Ratu, ternodakah ia karena telah menikahi hamba?
Surat Ibu Ratu/Ibu Raja
Bapa Pram, beta kenal seorang perempuan manis. Ia ibarat Dewi Padi di Jawa, jika Bapa percaya. Dewi yang tumbuh membelah diri menjadi bulir-bulir padi sebagai baktinya pada bumi.
Bapa pasti setuju bahwa bumi lebih memerlukan bakti ketimbang langit tinggi. Maaf, beta lihat karangan Bapa di antara karbon mesin tik. Sebab, tulismu, “Bila dewa-dewa turun ke bumi, tatanan jadi rusak.” Ya, kauibaratkan penguasa adalah dewa dari langit. Kecuali mungkin dewa-dewa pewayangan yang dimainkan di aula Savanajaya, itu tontonan bagi hidup yang sesak.
Ah, Bapa Pram, dada beta pun sesak. Maka beta bicara lewat catatan ini. Ringkasnya: Sri, perempuan-dewi itu, terlihat lemah di Benteng Byruns. Seorang anak gembala melapor. Beta lalu ajak ia ke rumah. Ia bercerita bahwa ia lari dari pelaut yang setengah menyekapnya.
Tapi itu bukan pelariannya pertama. Dulu ia lari dari tuan-tuan Nippon yang memperbudaknya. Ia bersama puluhan kawannya dibawa dari Jawa. Bukan ke Shinanto atau Tokyo. Tapi ke Kao, Jailolo. Itu Tokyo kedua pada masa perang dunia karena banyak orang Jepang di sana. Dari Kao, gadis-gadis itu disebar ke seluruh Maluku, dan Sri sampai di Buru.
Hanya saat Sri bercerita beta kaget. Katanya, ia diizinkan ayahnya sendiri yang takut hilang jabatan. Ada pula dara dibujuk tetangga demi komisi. Sebagian besar tergoda propaganda belajar ke negeri Matahari Terbit. Ah, Bapa Pram pasti lebih paham!
Namun Bapa mungkin tak paham kenapa tak sampai dua pekan Sri tinggal di rumah kami di Kayeli. Ia lalu pergi entah ke mana. Rencana Bapa Raja memulangkannya ke Jawa sirna sudah. Ia tak merasa perlu kembali pulang tampaknya. Mungkin seperti tuan-tuan Nippon yang memilih hara-kiri atau menyerahkan diri pada hiu dan buaya.
Tapi tidak, ia bukan Nippon. Ia jiwa bangsa kita, korban-penderita. Ia teguh, tak hendak menyerah. Ia terhormat, lebih dari segalanya. Jika Sri menyebut dirinya seorang latu, baiklah, ia beta panggil Sri Latu. Bukan merendahkan. Kebetulan di patuanan kami ada marga Nurlatun. Artinya, cahaya laut yang terlihat dari gunung. Seperti fosfor atau kilau ikan-ikan…
Begitu saja ia pergi, Bapa, beta tak sempat pegang ia punya bahu. Pada suatu subuh, ia sudah tak ada. Seperti banjir besar yang pernah menghanyutkan Patuanan Kayeli, begitulah beta merasa kehilangan. Sepucuk surat beta temukan di balik lipatan sapu tangan yang ia tinggalkan di atas meja. Ia telah menyobek selembar buku Bapa Raja, menggunakan penanya, dan untuk itu ia mengaku lancang. Tapi kami tak menyoalnya. Suratnya lebih memboyakkan perasaan.
Ia katakan sapu tangan itu pemberian seorang romusha di kapal, atau sekojo orang sini menyebut, dan ia simpan sebagai pengganti selendangnya yang hilang. Kemudian beta simpan dalam kotak cendana, pemberian kerabat dari Timor. Kini beta serahkan semua pada Bapa. Semoga menuntun Bapa untuk menulisnya. Itulah harapan terbesar beta.
Surat Pram
Ibu Raja, saya tak pandai berbasa-basi. Tapi harus saya akui, Ibulah menara tinggi karena keagungan budi. Engkau pemilik sah tempat kami dibantarkan ini.
Kami tahu Patuanan Kayeli adalah benteng Buru jauh sebelum tegak segala yang baru: Benteng Byruns, Masjid Massarette, VOC, kantor residen, tiang-tiang kapal dan unit Inrehab milik Orde Baru.
Di sini kami didaratkan. Sejak di dermaga Sodong Wijayapura, saya sudah dengar petugas menyebut Buru sebagai Pulau Hidup Baru. Mungkin karena itu kami diberangkatkan sehari sebelum perayaan kemerdekaan, 1969. Buat merayakan hidup baru!
Di atas kapal Adri XV, kami oleng-kemoleng bersama nasib karatan. Dua kali kapal mati mesin dan semua nyaris tenggelam. Untuk sampai ke mari, kami si mati yang hidup kembali dengan nyawa cadangan!
Di Waeapo kami dibuang serupa singkong atau telo. Sebagian dari kami ternyata juga bulir-bulir padi asuhan Dewi Sri—ya, Ibu, saya percaya pada dewi-dewi yang terasa lebih kasih ketimbang dewa-dewa yang menghardik nasib manusia di bumi.
Maka kami tumbuh di sela-sela rawa sagu, retak tanah savana dan semak hutan kayu putih. Kami tumbuh untuk diperas lagi. Kami buka hutan, dirikan bedeng, pos, pasar dan jalan-jalan dengan keringat kami sendiri. Kawan-kawan saya banyak yang mati, dan Ibu tahu itu.
Di Air Mandidih, mereka mati bukan karena pontong tenggelam, tapi sudah tak tahan. Ada menceburkan diri setengah gila. Ada dihantam popor senjata. Bila ada waktu saya pura-pura memancing ke tepian Air Mandidih. Bayangan mereka yang mati mendidihkan darah saya untuk tak menyerah pada nasib yang digariskan dewa-dewa!
Bagi saya, Ibu Raja adalah Dewi Patuanan, bukan Dewi Kayangan. Engkau turun dari rumah, bukan istana megah raja-raja. Engkau ke labuhan, ke pasar, mencari tripang, tepung sagu dan membuat adonan untuk kaujajakan ke bedeng-bedeng. Sekali sebulan saat kapal sandar, kain-kain dan baju pesananmu dari Ambon datang. Kau berkeliling ke unit-unit hingga ke Mako, markas para pembesar kongkow. Sadar bahwa Ibulah sejatinya pemilik sah daratan Waeapo, komandan tak berkutik mencegah Ibu masuk-keluar unit, bahkan markas komando.
Sejak Bapa Raja sakit lalu wafat tanpa disebut mangkat, engkau turun menjelajahi dataran Waeapo yang bukan milikmu lagi. Padahal kutahu, betapa halus dulu leluhur Bapa Raja Wael menjaga tiap jengkal tanahnya. Hingga Alfred Russel Wallace yang datang meneliti burung, bunga dan kupu-kupu diantarnya sendiri ke muara Waeapo dan hutan Batabual. Mungkin tak mau kolonial mengulang tabiat lancang: membagi Patuanan Kayeli jadi delapan.
Tapi Orde Baru telah membuat Bapa Raja menekan surat-surat penting tanpa kesaksian, tanpa kejelasan, sebelum akhirnya beliau wafat begitu cepat. Surat-surat, sertifikat, pun batas-batas jadi meluas, hablur, akhirnya kabur dan berhimpitan.
Maaf, Ibu, tak terasa saya menulis panjang seolah tak tertarik pemberianmu. Segala yang engkau beri tidak ada yang tak kuterima dengan rasa terima kasih. Ke bilik sederhanaku Ibu bawakan pisang dan kue-kue sagu. Lebih dari itu engkau cerita tak ada habisnya: tentang leluhur Buru, anak-anak Alifuru, kepercayaan pamali, soa, hinolong, Patuanan Kayeli, jugun ianfu!
Dan selembar sapu tangan! Sepucuk surat! Bukan, dua pucuk dengan coretanmu! Dalam kotak kayu cendana. Terima kasih, Ibu. Cinta Ibu pada Sri yang tak kukenali, mewakili cinta pada mereka yang senasib. Cinta Ibu sama besarnya dengan cinta kepada 13.000 tapol yang berjaga di bawah tapal sepatu kuda. Jumlah kami sama dengan 13.000 pulau Nusantara!
Begitu pemberian istimewa Ibu saya terima, saya ajak kawan-kawan memasang telinga dan mata. Menyidik perempuan yang tampak bukan seperti warga asli Alifuru. Mereka tinggal di soa tengah hutan, dari Waegaren, Efilaheng, hingga Danau Rana. Mereka telah jadi orang gunung. Banyak yang menikah dengan bapa kepala soa dan diagungkan sebagai ibu-adat. Pasti bukan itu fokus kita. Tapi nasib mereka yang alpa dalam sejarah bangsa. Tak seorang peduli.
Saya perlu menulis ini untuk meyakinkan Ibu bahwa kami telah punya cukup bahan, dan saya mulai susun sesuatu. Selain itu, saya juga beri tahu: kemarin saya terima surat pembebasan. Jika tak ditunda seperti yang sudah-sudah, saya dan kawan-kawan akan diangkut naik kapal ke Surabaya. Karena itu, tanpa basa-basi saya minta Ibu tidak ke mana-mana. Saya tak ingin lihat bayangan Ibu di lembah lengang Waeapo yang mulai ditinggalkan.
Sesampai di Jawa nanti, saya akan lanjut menyusun bahan kawan-kawan yang terkumpul. Sehelai sapu tangan menuntun saya pada judul: Perawan Remaja dalam Cengkraman Militer… ***
.
.
/Namlea-Yogya, 2018-2020
Raudal Tanjung Banua, lahir di Lansano, Sumatera Barat, 19 Januari 1975. Buku terbarunya, Cerita-Cerita Kecil yang Sedih dan Menakjubkan.
.
Sapu Tangan dari Kayeli. Sapu Tangan dari Kayeli. Sapu Tangan dari Kayeli. Sapu Tangan dari Kayeli. Sapu Tangan dari Kayeli.
Leave a Reply