Cerpen, Guntur Alam

Selagi Ia Menulis Cerita Pendek Ini

0
(0)

IA masih menulis cerita pendek ini, saat ia teringat pada teleponmu sebulan setelah pertanyaanmu di halte bus seberang Grand Indonesia itu.

“Kamu apa kabarnya? Gimana proyek novelmu?” Ia tahu, kau hanya berbasa-basi dengan pertanyaan itu. Oleh karena itu, ia pun menjawab dengan berbasa-basi pula.

“Baik. Agak macet. Aku harus fokus ujian nasional. Kalau kamu?”

“Baik,” suaramu terdengar renyah di cupingnya. “Eh, aku jalan sama polisi sekarang.” Kau memamerkan pacar barumu. Ia pun berusaha mengingat-ingat saat menulis cerita pendek ini, apa ia merasa cemburu atau tidak ketika mendengar ucapanmu itu. Dan ia lupa dengan perasaannya sendiri waktu itu.

“O ya?” sahutnya, cepat. “Baguslah. Umurnya berapa?”

“Dua puluh enam tahun. Tapi, dia tugas di Palu,” suaramu menyiratkan kesedihan.

“Jadi, kalian LDR?”

“Ya,” suaramu semakin lirih.

Ia terkekeh. Ya, ia ingat. Ia waktu itu benar-benar terkekeh, seperti senang sekali mengetahui kenyataan bahwa pacar barumu yang polisi itu bertugas di kota yang jauh. Namun, saat menuliskan cerita pendek ini, ia tak dapat memastikan dengan tepat apakah saat itu tawanya sebagai wujud puas dari kekecewaannya lantaran dirimu sudah punya pacar lagi, tetapi kalian menjalani hubungan jarak jauh.

“Tapi, ia mencintaiku. Ia janji, libur dinas ini, ia akan mengajakku bertemu dan mengenalkan kepada ibunya. Kurasa ia akan melamarku.”

“Baguslah.”

Dan ia lupa dengan fragmen lanjutan dari obrolan itu. Ia terus mengingat-ingat, tetapi ia tak mampu mengingat apa pun. Mungkin setelah mendengar ucapanmu itu, ia langsung memutuskan percakapan kalian.

Namun, ia ingat dengan teleponmu yang datang beberapa bulan kemudian. Suara tangismu yang pecah dan isak yang timbul tenggelam. Ia dapat membayangkan ingusmu yang meleleh bersama air mata sembari kau terus menceritakan kisah patah hatimu.

Baca juga  Kematian Kedua

“Ibunya tidak setuju. Ibunya bilang aku terlalu tua untuk anaknya. Badanku juga terlalu lebar. Bahkan, ibunya bilang, aku terlalu pendek untuk menjadi istri seorang polisi.”

Ia masih bisa merasakan tangismu merambat di dalam gendang telinganya saat menuliskan bagian ini dalam cerita pendeknya.

Ia mendengarkan semua tumpahan kesedihanmu sampai ia jatuh tertidur dan ponsel itu masih saja menempel di bantalnya ketika ia terbangun paginya. Ia tergesa mengirimimu SMS, “Sori, aku ketiduran.” Dan kau menjawabnya beberapa hari kemudian.

***

Loading

Average rating 0 / 5. Vote count: 0

No votes so far! Be the first to rate this post.

3 Comments

  1. Risah

    Cerpen Guntur Alam paling jelek menurutku. Menjengkelkan
    Hanya permainan pov yang menarik, tapi justru itu ribet banget dan njlimet. Coba bandingkan permainan pov orang kedua Yetti A KA atau Sanie B Kuncoro, enak dan mulus. Guntur Alam mau niru tapi kasar cuuuy!

Leave a Reply

error: Content is protected !!