Cerpen Rosyid H Dimas (Media Indonesia, 31 Januari 2021)
Waktunya mendengar/Hanya sedikit hening/Sementara waktu terkubur/Tutup kelopak matanya sejenak/Wajah jatuh ke tanah/Sedikit hening — Un Peu de Silence, Calogero —
Maira menyandarkan tubuhnya di pelukan dinding. Malam jatuh. Lampu-lampu tertidur dan bermimpi menjadi matahari. Sementara waktu terkubur, hening yang dingin meriap di permukaan kulit Maira. Ia kembali membuat tiga langkah kaki, tapi tiba-tiba jam dinding menghardiknya bertubi.
“Apa yang bisa dilakukan perempuan sepertimu, Maira? Lihatlah! Lihatlah bibirmu. Kau memang layak dijual dan menjadi sundal.”
Maira terus melangkah. Di sampingnya, jam dinding terus menghardik dan menudingnya dengan pukul dua dini hari. Kini ia merasakan jantungnya beradu cepat dengan jantung waktu. Ia menutup kelopak matanya sejenak, tetapi dalam kegelapan, dilihatnya lelaki itu duduk memperhatikan buah dadanya yang matang. Lalu telinganya menangkap suara. Seekor cicak terpelanting jatuh dari langit-langit lantas menertawakan dirinya.
“Ya, ya, kau melihatnya, Maira. Kau benar. Lelaki mana yang tidak ingin menikmati sepasang buah dadamu? Dan ayahmu menjualnya, Maira, menjualnya kepada orang itu.”
Maira sendiri tidak pernah tahu mengapa buah dadanya tumbuh dengan subur sementara milik teman-temannya yang lain hanya serupa bunga yang baru mekar dari kuncup. Buah dada itulah yang membuat mata lelaki menjadi belingsatan saat melihat dirinya sedang berjalan di jalanan kampung. Ditambah, ia memiliki kebiasaan menggigit bibir bawahnya yang merah tanpa alasan tertentu, yang membuat dada para lelaki berdesir dan menelan ludah berkali-kali.
Kini suara cicak itu lenyap. Maira yang masih memejamkan mata hanya mendengar kaki-kaki cicak itu berderap di permukaan dinding. Sedikit hening. Maira membuka mata. Ia mengerjap lima kali dan kini dilihatnya kegelapan yang benar-benar menyala. Sepuluh langkah lagi, pikirnya, tetapi kakinya tiba-tiba dicengkeram lelah. Ia berhenti berjalan, lalu mendudukkan dirinya di samping meja, tempat sebuah radio sedang tertidur di permukaannya.
“Kepalamu berisik sekali, Maira,” bisik meja tua itu di telinga Maira. “Kau menggagalkan tidurku.”
Maira menelan ludah. Meja di sampingnya berusaha tidur kembali, tetapi radio yang sedang bermimpi kini memutar suara percakapan.
“Akan kuberikan Maira kepadamu dengan ganti dua bahu* sawah.”
Suara pertama menelusup ke telinga Maira. Ia mengenalnya, suara itu, milik ayahnya.
“Akan kuberikan tiga bahu,” seru suara yang lain.
Maira mencengkeram kedua lututnya sendiri.
“Nah, lihatlah, dia sudah pulang.”
Sedikit hening. Kini Maira merasakan tubuhnya terpelanting ke dalam dinding yang tiba-tiba menciptakan lubang untuknya. Ia lalu menemukan dirinya berjalan dalam balutan seragam sekolah yang lusuh. Dan ketika ia membuka daun pintu yang setengah tertidur, dilihatnya seorang lelaki paruh baya sedang bercengkerama dengan kedua orang tuanya di ruang tamu.
“Kemari, Maira!” ayahnya melambaikan tangan.
Maira menghampiri mereka lalu duduk pada kursi kayu di antara ayah dan ibunya.
“Kau tahu siapa dia?” ayahnya bertanya.
Sembari memandangi wajah lelaki di hadapannya, Maira menggelengkan kepala tiga kali.
“Dia Karta, orang yang akan menjadi suamimu.”
Sedikit hening.
“Tapi aku ingin bekerja, Ayah,” Maira menggigit bibir.
Lelaki itu menangkap gerakan bibir Maira. Ia lalu merendahkan tubuh. Kedua matanya sejajar dengan dada Maira yang timbul.
“Kau tidak perlu bekerja, Maira,” ucap lelaki itu. “Kau tidak perlu menyusahkan dirimu sendiri. Ikutlah bersamaku. Hidupmu akan sejahtera.” Lelaki itu meraih tangan Maira.
Kini Maira menemukan dirinya berbaring di atas tilam setelah sebuah pesta berakhir. Lelaki itu melumat bibirnya dengan buas. Di dadanya yang berhasil dilucuti, Maira merasakan telapak tangan yang kasar. Maira menutup mata. Ia membiarkan lelaki itu bekerja dengan tubuhnya. Dan sementara gemeretak bilah-bilah ranjang menertawakan dirinya, Maira membayangkan ia mengapung di sebuah kolam yang airnya tenang dan berwarna hitam pekat.
Suara percakapan lenyap. Radio berhenti memutar mimpi. Maira kembali terpelanting ke dalam kenyataannya sendiri. Ia menggerakkan kaki, mengusir lelah yang menggelayuti. Bertopang tangan pada meja yang merasakan kepalanya tertekan, Maira bangkit dan kembali berjalan. Satu. Ia menghitung. Dua. Sedikit lagi. Tiga. Tubuhnya gemetar. Empat. Lantai bergemeretak. Lima. Ia kembali bersandar pada dinding.
Maira mengambil napas. Seekor nyamuk terhisap dan terperangkap di atas bibir Maira yang tenang.
“Kau akan melakukannya, Maira?” nyamuk itu mendesis.
“Ya. Ya. Ya.”
Maira menjawab, tapi dari mulutnya tidak keluar suara sama sekali.
“Ya, lakukan. Lakukan seperti ini,” nyamuk itu menusukkan jarum penghisapnya ke dalam kulit Maira. “Pelan-pelan, Maira. Dan kau akan melihat kelopak matanya tertutup. Selamanya.”
Maira menggerakkan bibir dan membuat nyamuk itu terbang ke kelengangan udara. Lima langkah lagi. Ia kembali berjalan menapaki lantai sunyi yang keras dan dingin. Kini ia berada di sana. Di depan pintu sebuah ruangan tempat sebuah lampu masih begadang. Pintu itu tidak terkunci. Dengan hati-hati, Maira memutar gagang pintu dan mendorongnya perlahan. Pintu setengah terbuka. Terang lampu yang begadang menyerang mata Maira hingga membuatnya mundur beberapa langkah.
Kakinya masih terpaku di depan pintu. Maira memandangi lelaki yang berbaring di pelukan tilam. Lelaki itu mendengkur dengan mulut terbuka. Maira mendengarnya sebagai sebuah hardikan.
“Kau sundal, Maira. Kau anjing. Mengapa kau hanya diam seperti orang mati?!”
Kepala Maira kembali ribut. Kenang-kenang dan bayang-bayang sublim dan memenuhi seluruh ruangan di hadapannya. Ia menangkap satu fragmen ingatannya yang melayang, saat lelaki itu memperkosanya. Lelaki itu mencekiknya, menampar pipi dan buah dadanya, kemudian membanting tubuh Maira setelah ejakulasi.
“Rasakan itu, sundal!”
Maira memasukkan tangan ke dalam saku baju yang dikenakannya.
“Itu pelajaran untuk istri durhaka!”
Maira mengeluarkan sebilah pisau. Kemudian ia teringat saat selangkangannya berdarah setelah kaki lelaki itu mendarat di perutnya yang membesar.
“Kau tidak boleh hamil, bodoh!”
Maira menggenggam pisau dengan kedua tangannya yang gemetar.
“Bunuh bayi itu, keparat!”
Maira merasakan maut yang dingin mengalir di genggaman jari-jarinya. Ia melangkah menghampiri binatang buas yang asyik mendengkur sembari memeluk botol arak kosong.
“Oh, apa kau bisa melakukannya, Maira?” Suara lampu menghentikan langkah Maira. Mata lampu dan matanya beradu tatap. Jam dinding menghitungnya lima detik.
“Aku akan melakukannya. Aku bisa melakukannya. Aku….” Maira meracau dengan bahasa yang hanya dipahami dirinya sendiri.
“Ayo, lakukan, Maira,” pisau di genggaman Maira berbisik.
“Bunuh dia. Oh, aku haus sekali!”
“Bunuh,” Maira berjalan. “Bunuh. Bunuh. Bunuh.”
Kini ia berdiri di tubir ranjang. Diamatinya dengan saksama seonggok tubuh yang sudah merenggut seluruh hidupnya. Seperti anjing, pikirnya.
“Tutup matanya. Tutup matanya,” Maira kembali meracau, tapi yang terdengar hanyalah dengkuran yang merupa sumpahserapah, menelusup dan mengoyak telinganya.
“Ya, kau bisa melakukannya, Maira,” pisau di tangan Maira menyeringai.
Maira mengangkat pisau tepat di atas dada lelaki di depannya.
“Jangan!” pisau itu menahan. “Jangan di sana, bodoh! Tanganmu tak akan sanggup menghunjamkannya. Bergeser ke atas!”
Maira menggeser tangannya, tepat di atas leher lelaki itu.
“Ya, di situ. Itu cuma daging yang lembut. Hunjamkan sekuat tenagamu, Maira, dan semuanya akan selesai.”
Mata pisau itu berkilat. Mata lampu memandangi tubuh Maira yang gemetar. Jam dinding bosan menghitung angka-angka yang sama. Maira sedikit mencondongkan tubuhnya ke belakang. Tepat ketika mata pisau dan mata lelaki itu bertemu, Maira cepat-cepat menjatuhkan tangan dan dengan dibantu dorongan tubuhnya. Lelaki itu hendak menangkis, tetapi seluruh urat di tubuhnya telah ditidurkan oleh arak. Tanpa perlawanan, pisau itu dengan mudah merangsak ke dalam leher yang terbuka. Darah membuncah. Maira mundur empat langkah. Disaksikannya lelaki itu berkelejatan seperti seekor domba kurban yang dulu sering dilihatnya saat perayaan hari raya.
“Aku melakukannya. Aku melakukannya. Mati, kau, anjing. Mati. Mati. Mati.”
Maira terus meracau tanpa menemukan ujung. Sementara bibirnya terus bergerak-gerak merapalkan kata-kata yang hanya terdengar oleh dirinya sendiri, dan kedua matanya menangkap maut yang mengenakan jubah hitam pelan-pelan mengambil jiwa lelaki itu untuk dimasukkan ke dalam sebuah guci tembikar di punggungnya.
Waktu yang sebelumnya terkubur tiba-tiba dibangkitkan oleh ledakan tawa jam dinding. Ia melengking lima kali. Mata Maira mengerjap. Ia menemukan dirinya masih bersandar di pelukan dinding.
Maira beranjak. Gagang pisau yang ia genggam dalam saku bajunya terasa dingin. ***
.
.
* Satuan ukur lokal bahu dari bouw (garapan), 1 bahu setara 7.000-7.400 meter persegi.
.
Rosyid H Dimas, lahir di Rembang pada Juli 1996. Alumnus emerging writers pada Ubud Writers and Readers Festival 2018. Ia tergabung di komunitas pencinta buku Klub Buku Yogyakarta (KBY). Menanam Warisan (Commabooks KPG, 2019) ialah buku perdananya.
.
Leave a Reply