Pintu terbuka. Seorang lelaki paruh baya menguap di balik pintu.
“Ada apa Min? Ini jamberapa? Kamu mau cari gara-gara?”
Suara kesal Marto bergelantung dari ruas giginya. Menyela di antara bibir gelap dan lengket, lalu melaju di antara ranting-ranting dingin.
Ia geram, matanya belum lama terlelap dan Sukimin mengganggunya. “Kurang ajar kamu Min.”
“Aku butuh bantuanmu Kang.”
“Istriku lagi ngidam. Ia minta hujan. Hari ini harus datang hujan.”
“Ngidam kok minta hujan to Min? Istrimu kesambet?”
“Tapi aku sungguh-sungguh Kang. Atun merengek, pokoknya minta didatangkan hujan hari ini juga.”
“Istrimu itu ada-ada saja, ngidam ya ngidam, tapi kalau begini bikin repot.”
“Tapi, Kang…”
“Aku tidak bisa membantumu. Sudah beberapa orang ke sini untuk minta hujan dengan berbagai alasan, tapi aku tolak. Bukan karena tidak ingin membantu. Tapi tahun-tahun ini kemarau sulit ditaklukkan. Min, Kamu cari saja orang lain untuk membantu.”
“Kang…Kang, aku mohon Kang,..”
Suara Sukimin tertelan lengking pintu yang dibanting. Kalimatnya terpotong, terjepit, dan bergelantung di gagang pintu. Ia memungutnya dan kembali dengan langkah yang lesu.
Sepanjang jalan Sukimin meratap. Wajahnya kecut. “Sialan.”
***
“Masuk!”
Pintu yang terbuka itu menelan Sukimin. Ia melangkah hati-hati melewati kijing-kijing kecil di ruang tamu. Aroma dupa menempel di seluruh dinding.
“Ada perlu apa?”
“Anu mbah, ajeng nyuwun berkah,” suara Sukimin meluncur pelan.
“Istri saya ngidam. Kepengin didatangkan hujan Mbah.”
Lelaki tua itu diam, melotot, Sukimin ciut. Lelaki tua itu kemudian menggerakkan mulutnya. Komat-kamit. Lalu suara yang lesu merangkak keluar. “Sudah belasan orang ke sini, datang dengan alasan yang sama. Kamu laki-laki yang kesekian.”
Sukimin terperanjat. Kaget bukan main. Ia tidak mengira ada belasan orang bernasib serupa dengannya.
“Maksud Mbah, mereka juga minta hujan Mbah?”
“Benar.”
Leave a Reply