“Lalu saya kudu bagaimana Mbah.”
“Pulanglah,” suara lelaki tua menghunus angin, pelan tapi tajam.
“Tapi, Mbah…”
“Aku tidak bisa membantumu. Ini bukan hanya masalah kemarau. Jauh lebih besar dari itu.”
“Tapi istri saya bagaimana Mbah?”
“Yang minta hujan itu bukan istrimu. Paham! Itu jabang bayi istrimu.” Lelaki tua itu menatap Sukimin tajam.
“Maka pulanglah. Jabang bayimu hanya ingin menyampaikan pesannya.”
Sukimin meninggalkan rumah lelaki tua itu dengan sekian tanda tanya besar.
“Bukan masalah kemarau?”
“Jauh lebih besar?”
Sukimin makin heran. Pertanyaan makin berjubel. Tapi selalu keluar seperti angin berhembus dan tidak membawa apa-apa. Tidak ada kepastian, tidak ada jawaban.
Waktu itu Sukimin yang makin bingung pergi ke rumah ‘orang tua’ yang lain. Di hadapan Sukimin, ‘orang tua’ itu nggedumel. Memberi sekian cara-cara aneh kepada Sukimin. Sukimin yang sudah tak berpikir ‘waras’, sudi melakukan perintah ‘orang tua’ itu.
Hari itu sukimin datang ke makam almarhum kakek dari istrinya. Sesuai dengan anjuran yang ia dapat, di sana ia berdoa dan melakukan tawasul. Seharian Sukimin habiskan memohon di makam itu. Menjelang petang baru pulang dan mengambil kepalan nasi yang dicampur garam di dapur. Nasi itu ia lemparkan ke atas genting rumahnya.
Berhari-hari Sukimin melakukannya, tapi berhari-hari itu pula tidak ada tanda datangnya hujan. Para tetangga yang melihat gelagat Sukimin hanya geleng-geleng kepala. Mereka terheran-heran.
Bahkan beberapa waktu setelahnya, Sukimin mencoba cara lain. Entah dapat syarat dari mana lagi, hari itu ia kumkum di sungai. Saat itu pula Sukimin sudah berhari-hari puasa tidak makan, tidak minum, dan tidak tidur. Dan di siang yang terik, suatu ketika Sukimin tiba-tiba berdiri di halaman rumahnya kemudian menegadahkan kedua tangannya, sambil menghisap rokok kretek, mulutnya komat-kamit seperti mengeja sesuatu. Tapi sampai beberapa hari setelahnya, genting rumahnya kering. Tidak ada hujan setetes pun. Ia makin patah arang, suara rengekan Atun makin nyaring di telinganya.
Tetangga-tengga pun makin heran. Sukimin dikira sudah gila.
Langkah Sukimin kian lunglai, sudah seharian rengekan Atun memborbardirnya.
Leave a Reply