Cerma, Is’adur Rofiq, Rakyat Sumbar

Bukan Kita yang Mengakhiri

0
(0)

“Kok bisa begitu? Cerita aja, siapa tau aku bisa membantu menyelesaikan masalah masa lalumu.”

Suasana menjadi hening, lalu Windi melanjutkan ceritanya,

“Aku terlahir dari orang tua yang sangat miskin, hampir setiap hari kita hanya makan 1 kali. Tapi orang tuaku tidak pernah mengeluh dan bahkan hidup kami agamis. Hingga suatu saat aku mendapat beasiswa kuliah di luar negeri. Akupun berangkat ke luar negeri dan satu pesan dari orang tuaku, ‘Jangan lupakan kami bapak dan ibu ya nak’, saat berjalan 1 tahun kuliah, aku ditelpon oleh sepupuku, bahwa bapakku meninggal dunia karena asma, tapi reaksiku pada saat itu biasa-biasa saja. Bahkan aku tidak kepikiran pulang karena 2 hari lagi pada saat itu akan berlangsung ujian. Berkali-kali sepupuku nelpon, tapi aku abaikan. Pikiranku pada saat, kematian adalah takdir, sehingga meskipun aku pulang kampung tidak akan merubah nasib bapakku. Hingga 2 tahun berlalu, lagi-lagi sepupuku menlponku, kali ini Ia bilang, ‘Ibumu meninggal nduk’, reaksiku pada saat itu sama, tidak mau pulang, biarkan saudara-saudaraku yang menguburkannya. Sekali lagi pikiranku, kalau sudah takdir, ngapain digugat.?” Suasana hening dan kali ini Windi megusap air matanya.

Dengan tersedu-sedu kemudian Ia melanjutkan ceritanya lagi, “suatu saat, aku sakit keras, biasanya aku dimasakin bubur sama ibuk kalau sakit, dan ibuk selalu memberi semangat agar bisa cepat sembuh. Tapi, pada saat itu kenangan menghiasi pikiranku hingga aku menyesal tak pernah menghubungi ibu ditengah kesibukanku menjadi mahasiswa. Sakitku sampai seminggu dan tidak ada seseorang pun yang merawatku. Hingga pada akhirnya aku sembuh dengan sendirinya, tapi  rasa penyesalanku tetap ada, kenapa aku tidak menghargai kedua orang tuaku.” Windi kembali mengusap air matanya.

Baca juga  Bekas Kudis

Entah kenapa aku juga terbawa perasaan sedih dan rasanya ingin ikut menangis. Kemudian, Windi melanjutkan ceritanya lagi, “Meskipun aku sekarang sudah sukses dengan jabatan direktur, tapi rasa bersalahku kepada kedua orang tua tetap ada.”

Aku mencoba menenangkan pikiran Windi yang telah terbawa ke masa lalu yang kelam,

“Salahsatu jalan yang masih terbuka untuk kamu adalah berusaha menjadi pribadi yang taat kepada agama dan selalu mendoakan kedua orang tuamu agar ditempatkan yang terbaik di alam sana.” Ujarku.

Aku mencoba mengalihkan pembicaraan agar Windi tidak larut dalam kesedihan masa lalu. Hampir satu jam kita bicara basa-basi, hingga pada akhirnya adzan dzuhur dikumandangkan.

Loading

Average rating 0 / 5. Vote count: 0

No votes so far! Be the first to rate this post.

1 Comment

  1. aqilaziz

    Alhamdulilah, ada cerpen Islami. Meski alurnya agak klise dan mudah ditebak, tapi tetap matoh. Saya suka. Semoga cerpen selanjutnya lebih baik lagi. Amiin.

Leave a Reply

error: Content is protected !!