Cerpen Achmad Muchtar (Suara Merdeka, 30 November 2014)
DI Stasiun Tugu, ada seorang wanita yang selalu duduk di kursi panjang. Wanita itu membawa ransel dan berambut panjang. Ia selalu menatap ke barat, ke ujung rel arah kereta datang.
Malam, fajar, subuh, pagi, siang, sore, dan senja, saya selalu melihatnya duduk di kursi panjang itu. Bukan dalam sehari, tetapi berhari-hari. Saat saya mau ke Jakarta pada malam hari, saya melihatnya duduk di kursi panjang itu. Saat saya pulang dari Jakarta pada saat fajar atau subuh, saya juga melihatnya duduk di kursi panjang itu. Saat saya mau ke Surabaya pada pagi hari, saya melihatnya duduk di kursi panjang itu. Saat pulang dari Surabaya pada sore atau senja, saya juga melihatnya duduk di kursi panjang itu. Ia selalu menengok ke arah barat, ke arah kedatangan kereta api, seolah-olah ia sedang menanti kereta yang ia harapkan datang, atau barangkali ia sedang menanti seseorang yang sudah lama ia tinggalkan.
Suatu pagi, saat saya mau berangkat ke Jakarta untuk seminar, saya melihat wanita itu masih duduk di kursi panjang itu. Wajahnya murung. Saya dapat melihat wanita itu agak lama. Di tangan kanannya terkalung ransel ukuran sedang warna hitam. Di tangan kirinya ia memegang secarik kertas. Baru saja saya ingin mendekatinya, tetapi suara peluit dan petugas membuat saya harus segera naik kereta. Dan kemudian, wanita itu menjauh dari pandangan saya.
Di sebuah hotel di Jakarta, saya tidak bisa tidak memikirkannya. Hampir saja saya ingin menemuinya, tetapi tidak sempat. Barangkali, saat pulang nanti saya dapat menemuinya untuk sekadar berbincang-bincang atau minum kopi bersama. Menunggu memang sebuah pengorbanan waktu dan perasaan. Saya pernah sekali menunggu orang untuk waktu yang lama. Menunggu jawaban dari istri saya dulu sebelum kami menikah. Sama seperti wanita itu, saya menunggu berwaktu-waktu, berdetik-detik, bermenit-menit, berjam-jam, berhari-hari, berminggu-minggu, bahkan berbulan-bulan. Menunggu memang butuh kesabaran dan hati yang setenang danau. Jika hati tidak setenang danau, kita tidak mungkin dapat menerima kerelaan. Bagi saya, menunggu adalah sebuah kerelaan, dan bukan sebuah pengorbanan sebab rela adalah bersedia dengan ikhlas hati, dan bukan sikap, cara, atau pernyataan agar dianggap berjiwa kesatria oleh seseorang.
Leave a Reply