“UNTUNG gerimis ya, Kang. Tanahnya jadi amoh,” kata Mad. Tangannya menacap-nancapkan gejig ke lubang tanah sedalam setengah meter. Sedang mulutnya menjepit rokok kretek yang ujungnya menyala dan berasap.
“Iya, Kang, jadi tidak kesulitan menggalinya,” sahut Dul Komed, sembari menyerok tanah di dalam lubang dengan skop. Tanah itu kemudian dilempar ke atas.
Sementara di atas, Paino dan Pawit mengumpulkan tanah yang dilempar Dul Komed ke satu lokasi, tak jauh dari lubang yang digali kedua rekannya itu. Terkadang, tanah yang dilempar dari dalam lubang itu mengenai kepala salah satu dari mereka.
Sekitar pukul setengah tiga sore, keempat lelaki itu sedang menggali tanah di pemakaman dusun untuk menguburkan salah satu warga di RT sebelah. Eyang Nas, meninggal sejam yang lalu.
Sebenarnya menjadi penggali kubur bukan profesi mereka. Mereka bekerja sebagai penyadap nira kelapa di kebun juragan masing-masing. Hanya saja, sejak beberapa tahun lalu, para ketua RT di dusun itu sepakat menunjuk mereka menjadi tukang gali kubur. Tentu saja ada imbalannya, setidaknya sebesar upah kerja sehari. Walaupun kadang mereka menolak imbalan itu.
Selama menjadi penggali kubur, sebenarnya tidak ada hal-hal ganjil yang mereka alami. Tidak ada cerita soal diikuti roh orang yang sudah meninggal, rasat yang tidak baik, atau hal aneh lainnya. Tidak seperti dalam cerita-cerita di televisi atau di film-film misteri yang kadang mereka tonton saat istirahat usai memasak gula kelapa.
Paling dalam beberapa tahun terakhir, mereka sering menemukan tengkorak atau tulang manusia saat menggali. Itu karena area pemakaman sudah sesak oleh orang meninggal. Memang, awalnya khawatir terjadi sesuatu yang buruk kalau mata cangkul atau skop yang mereka pakai mengenai tengkorak atau tulang orang yang sudah mati. Namun karena tidak terjadi apa-apa, rasa khawatir itu hilang dan lama-lama menjadi biasa saja. Bahkan kadang mereka cengenesan saat menemukan tengkorak kepala itu. Kalau sudah begitu, paling mereka membuat lubang kecil di sudut lain lubang kubur yang sedang digali. Tengkorak atau tulang itu dikuburkan lagi.
Oh ya, selama menggali kubur, pantang bagi mereka membicarakan kejelekan si mayit yang akan dikubur. Walaupun mungkin orang itu memang dikenal bertabiat jelek. Mereka sudah diwanti-wanti oleh Kiai Imron untuk tidak ngomong sembarangan. Ghibah pada orang yang masih hidup saja tidak boleh, apa lagi pada orang yang sudah mati. Sebab, menilai baik atau tidaknya si mayit, kata Kiai Imron, itu hak prerogratif Allah, bukan manusia, apa lagi sekelas penggali kubur. Kalau toh mau membicarakan si mayit, mereka akan mengatakan hal-hal yang baik-baik saja. Karena siapa tahu, dengan ucapan yang baik itu, dosa si mayit bisa diampuni dan siksa kuburnya bisa dikurangi bahkan dihilangkan. Tentu mereka berempat mendapat pahala.
Kalau bahan pujian untuk si mayit sudah habis, biasanya mereka bercerita tentang pekerjaan sebagai penyadap nira kelapa. Harga gula kepala yang murah, nira di pongkor yang dibuang oleh kawanan monyet, badheg yang tercampur air hujan, cicilan sepeda motor yang telat, bahkan perihal buntutan nomor togel yang tidak keluar yang mereka pasang tadi malam. Keluh kesah soal hidup, mereka ceritakan selama menggali kubur dengan santai, bahkan sambil bergurau. Seolah, masalah itu bukanlah sebuah masalah.
Hal itu pula mereka lakukan saat menggali kubur untuk Eyang Nas yang meninggal tadi siang selepas Dzuhur. Selain usianya sudah renta, sebelum meninggal, Almarhum juga sudah sakit-sakitan sejak tujuh bulan terakhir. Dia meninggal setelah dirawat di rumah sakit daerah selama empat hari. Kebaikan-kebaikan Eyang Nas yang diingat, mereka sebutkan satu per satu.
“Besok malam, anakku ngajak ke alun-alun kota. Pengin tahun baruan di sana koh,” kata Dul Komed, mengalihkan materi pembicaraan.
“Lah buat apa tahun baruan di kota. Paling hujan. Enakan di rumah saja,” sahut Pawit.
“Sekali-kali tahun baruan di kota, Kang. Kembang apinya semanger koh,” jawab Dul Komed.
“Inyong tah mau bakaran ayam di rumah saja sama bocahan,” kata Paino sambil klepas-klepus.
Hampir dua jam, lubang kuburan Eyang Nas selesai mereka buat. Tiba-tiba Mad nyeletuk, “Kayaknya besok malam kita nggali kuburan lagi lho di sebelah ini.”
“Lah jan, jangan bilang kaya gitu lah, Kang. Saya mau tahun baruan di alun-alun koh. Anakku sudah ngedres dari tadi pagi pengin nonton kembang api,” sambar Dul Komed.
“Ha ha ha, bercanda koh. Sudah sana, bilang sama keluarganya Eyang Nas. Luwangan-nya sudah selesai,” timpal Mad sambil cengengesan.
“Iya Kang, he he…” Dul Komed lalu keluar dari lubang kubur berjalan ke gerbang pemakaman. Tak berapa lama terdengar suara motor menjauhi pemakaman.
***
Selepas Isya, hujan turun cukup deras di dusun. Mad, Dul Komed, Paino dan Pawit duduk melingkar bersama warga lain di rumah almarhum Eyang Nas. Tahlilan malam pertama untuk Eyang Nas.
Dul Komed sempat maras, kalau hujan tidak juga reda, dia tidak bisa pergi malam tahun baruan di alun-alun kota bersama anaknya. Sebab sejak petang, sebelum berangkat tahlilan, anaknya sudah dandan rapi dan memakai baju yang bagus. Dul Komed janji ke anaknya akan berangkat ke alun-alun setelah tahlilan. Sebab kalau terlalu gasik, nanti di sana sudah ngantuk. Toh sekarang juga masih hujan. Biasanya sekitar jam 10 malam, hujan reda. Perjalanan ke alun-alun dari rumahnya paling 45 menit naik motor.
Kiai Imron mulai membuka acara tahlilan. Belum lima menit bicara, tiba-tiba terdengar pengumuman dari speaker masjid.
“Assalamualaikum warohmatullohi wabarokatuh. Innalillahi wa innailaihi rojiun. Telah meninggal dunia, bapak Nun, tadi pukul tujuh malam di rumah sakit.”
“Innalilahi wa innailaihi rojiun,” para jamaah yasin tahlil di rumah almarhum Eyang Nas serentak berucap.
“Kita selesaikan tahlilannya dulu, setelah itu kita urus pemakaman bapak Nun,” kata Kiai Imron.
Begitu tahlilan selesai, para jamaah langsung pamit dan menuju ke rumah Almarhum Nun untuk mengurus pemakaman.
Namun tidak dengan Dul Komed. Dia malah tergesa pulang. Di rumah, Dul Komed ganti baju. Diambilnya sekop di belakang rumah.
“Mas, ada orang ninggal, bapane ke kuburan ya. Nanti kalau sudah selesai ngubur, kita ke alun-alun tahun baruan,” kata Dul Komed ke anaknya.
“Iya pa,” anak laki-lakinya itu menjawab singkat sambil menunduk.
Dul Komed lalu keluar rumah. Anaknya menatap nanar ke bapaknya. Keinginannya untuk malam tahun baruan di alun-alun terancam gagal. (*)
Kaki Gunung Slamet, Purbalingga 2020
RYAN RACHMAN. Lahir di Kebumen, 12 Januari 1985. Kini tinggal di Desa Bumisari, Desa Bojongsari, Purbalingga. Bergiat di Komunitas Teater dan Sastra Perwira (Katasapa) Purbalingga. Cerpennya tersiar di sejumlah surat kabar dan antologi bersama.
Leave a Reply