Cerpen Mahfud Ridwan (Minggu Pagi No 23 Th 72 Minggu II September 2019)
Mataku belum terbuka sepenuhnya. Dari jauh, banyak langkah kaki berjalan buru-buru. Sepertinya orang-orang sedang saling berkejaran. Namun, apa yang mereka kejar?
“Awas! Dia masuk ke semak! Jaga dari depan, samping, dari mana saja. Kepung!” teriakan itu terdengar pelan, tapi sanggup membuat tubuhku terjaga.
Aku berpikir kalau ada maling ternak yang kepergok, atau mungkin kampung ini mulai tidak aman lagi setelah dua dekade yang lalu, isu Ninja ramai dan sempat membuat orang-orang di sini was-was. Dulu, priode 1999 sampai 2000, di Jawa Timur, khususnya daerah tapal kuda pernah ramai dengan maraknya represi pada tokoh-tokoh spiritual. Mereka—para tokoh itu—dituduh sebagai pemilik ilmu santet. Salah satunya di Banyuwangi, ada yang sampai terbunuh. Pelakunya sekelompok warga dan oknum misterius yang kabarnya memakai baju serba hitam, tangkas, serta bisa bergerak cepat. Orang-orang menyebutnya, Ninja.
***
“Jancuk! Kijangnya ngeloyor lewat selangkanganku! Ayo, kepung terus!”
“Apa perlu ditembak saja? Kuambilkan senapan.”
“Jangan! Nanti nyasar, kena orang.”
Aku berlari ke halaman. Kusapukan pandangan ke sekitar. Namun tidak ada seorang pun kujumpai. Belukar yang menjadi pagar alami bagi kebun depan rumahku terlihat seperti bekas tergilas sesuatu. Dari arah timur, kudengar sayup teriakkan orang-orang. Belum sempat melangkah ke jalan, ibu muncul dari pintu dapur.
“Koe mau ke mana? Ndak usah ikut ngejar! Nanti diseruduk kijang. Bangunkan masmu saja, biar dia yang ngejar.”
Dengan muka masam, aku melenggang menuju kamar. Kugoyangkan tubuh kakakku yang masih terbungkus sarung. Setelah beberapa goyangan, dia bangun, dan kujelaskan apa yang terjadi.
“Wah, kita bakal makan enak! Gulai kijang!” pekiknya seraya bangun, menyilangkan sarungnya di bahu, dan kemudian bergegas.
***
Leave a Reply