Analisa, Cerpen, Sumiati Al Yasmine

Full Moon

0
(0)

“Jangan sakiti ayahku. Aku sudah kehilangan orang yang paling aku cintai. Aku tak ingin kehilangan untuk yang kedua kalinya.”

“Jangan mendekat Quin, larilah, pergi sejauh mungkin.”

“Aku tak mungkin meninggalkan ayah sendirian.”

“Quin pergilah!!!” Suara ayah terdengar lantang, darah segar telah merembes dari tubuhnya, perlahan seluruh tubuh ayah terlilit reranting perdu.

Beberapa siluman berkepala serigala mendekatiku, seluruh tubuhnya dipenuhi dengan belatung dan nanah yang busuk, dengan sekuat tenaga aku berlari, kekuatan berlariku tak bisa menyamai kecepatan reranting perdu yang terus mengejarku, sebagian kakiku telah terlilit, siluman berkepala serigala membuka rahang mulutnya dengan lebar, kuraih benda terdekat yang ada di sekelilingku, kedua kakiku telah mati rasa, belatung-belatung menjijikan itu berjatuhan ke arahku, dengan tertatih-tatih aku terus memberontak, kuraih keris yang ada di dalam lemari, kuhunuskan berulang kali tepat di kepala monster tersebut, bukannya cidera tapi siluman tersebut semakin murka, ia kembali membuka rahang mulutnya dengan begitu lebar, ular-ular berbisa berhamburan keluar dari mulutnya, aku terus berlari menyusuri ruangan tamu. Aku menjerit, berharap ada seseorang yang menolongku, kedua mataku menatap tajam ke arah pintu, aku tercekat, kulihat gambar ukir-ukiran di atas pintu sama persis dengan ular-ular yang kini tengah memburu dan menyerangku. Kutancapkan keris yang ada di tanganku tepat di atas pintu, darah kental berwarna merah saga telah merembes dari permukaan pintu, aromanya begitu amis dan anyir, kutarik kembali kerisnya lantas kutancapkan ke atas pintu dengan berulang kali, darah kental muncrat mengenai seluruh tubuhku bahkan membanjiri seluruh ruangan tamu, kulihat siluman-siluman berkepala serigala dan ular-ular berbisa yang tadinya memburuku kini mereka telah hancur lebur menjadi puing-puing abu.

Baca juga  Wingit

Aku berlari sembari terisak dalam tangisan, tangisan yang tertahan karena ketakutan, aku mencari ayah, aku ingin segera memeluknya. Biar ketakutan yang ada di hatiku segera terkikis dan lambat laun akan menghilang.

“Ayah…!”

“Ayah…!”

Kulihat ayah telah tergeletak tak berdaya dengan usus terburai, biji mata sebelah kirinya mendosol keluar, tubuh ayah tercabik bahkan koyak menganga lebar, aku menangis histeris bagai orang gila.

Loading

Average rating 0 / 5. Vote count: 0

No votes so far! Be the first to rate this post.

1 Comment

  1. Baguss. By the way kalau kita ingin menerbitkan cerpen ke sini, gimana caranya ya?

Leave a Reply

error: Content is protected !!