Cerpen Hary B Kori’un (Jawa Pos, 15 September 2019)
LALU, ketika angin datang dan hujan yang lama tak berhenti tinggal rintik, kau berjalan menuju ujung jalan gelap itu. Mereka bilang, kau mencari cintamu yang tercecer di trotoar ketika turun dari kereta. Seorang pedagang asongan yang kau temui menjelaskan, cintamu yang tercecer itu dipungut seorang penjual asam keliling. Cintamu dicampurnya dengan asam jawa, dan dijual ke hampir semua penjuru mata angin.
Lalu, dalam basah dan lelah, dan sambil bersandar di salah satu dinding stasiun, kau bergumam, “Tak apa, Sayang, cinta kita dinikmati oleh semua orang. Dia masuk dalam bumbu masak, dan pasti masakan itu akan dimakan banyak orang. Cinta kita akan abadi dalam diri banyak orang.”
Dini hari, seseorang membangunkanmu. Mungkin itu suara kekasihmu dari alamnya. Dia berbisik, “Cinta, bangunlah, kereta sebentar lagi akan berangkat.”
Namun, meskipun berkali-kali beli tiket dan mau pergi entah ke mana, pada akhirnya kau tak pernah pergi dari stasiun itu setelah kembali dari perjalananmu mencari siapa peracik bumbu itu.
Tetapi, bukankah semua memang sudah terlambat? Cintamu yang tercecer di trotoar dan kemudian dipungut oleh penjual asam jawa itu telah menimbulkan akibat. Tiba-tiba penjual asam jawa itu menjadi terkenal di seantero kolong langit. Orang-orang yang mendengar cerita dari orang yang sudah membeli asam jawa bercampur cintamu itu, banyak yang penasaran dan kemudian memburu si penjual asam jawa itu. Mereka ingin membelinya dan menggunakan racikan itu sebagai bumbu masakan.
Yang mereka dengar dari mulut ke mulut, asam jawa yang dicampur dengan cintamu itu adalah obat mujarab untuk keharmonisan cinta para pasangan, tentu setelah memakan masakan yang menggunakan racikan bumbu itu.
Obat mujarab untuk keharmonisan cinta?
Tiba-tiba kau menangis di dini hari itu di stasiun itu. Beberapa orang yang berada di bangku dekat tempat dudukmu heran. Kau kemudian memandang mereka satu per satu dengan wajah pedih.
Kepada seorang anak muda yang sedang memeluk kekasihnya yang tertidur, kau bertanya dengan suara serak. “Bagaimana mungkin asam jawa yang dicampur cinta yang dianggap terlarang yang tercecer itu bisa menjadi obat mujarab untuk keharmonisan cinta banyak pasangan? Coba jelaskan padaku, mana mungkin, Anak Muda?”
“Lalu, cintamu itu kau dapatkan dari mana?” tanya si anak muda.
“Dari seseorang yang kucintai dan sangat mencintaiku. Tetapi, kata orang, Tuhan kami berbeda,” katamu dengan air mata yang masih meleleh di pipi indahmu.
“Asem,” kata anak muda itu. “Aku dan kekasihku sudah memakan masakan yang diberi bumbu racikan cintamu dan asam jawa itu,” sambungnya lagi.
***
CINTA kadang datang dengan berbagai kerumitannya.
Kau menjadi sangat penasaran, siapa sesungguhnya penjual asam jawa yang kemudian begitu terkenal dengan ramuan campuran bumbu cinta itu. Kau pergi ke ranah Minangkabau, menelusuri alur bumbu itu ke banyak rumah makan Padang yang menjual masakan dengan bumbu cinta asam jawa itu. Kau sampai di Padang, bertanya ke hampir semua rumah makan besar di Pasar Raya, Kampung Cina, Air Tawar, Ulak Karang, Bandar Buat, dan sebagainya.
Kau juga sampai ke Bukittinggi. Ke Pasar Lereng penjual nasi kapau yang sangat lezat itu, ke beberapa rumah makan Itiak Lado Mudo di Ngarai Sianok, atau ke Pasar Aur Kuning. Kau juga sampai ke Solok, Padangpanjang, Padangpariaman, dan semua kota-kota kecil di sana. Kau selalu bertanya kepada pemiliknya, bahkan kepada beberapa tukang masaknya di belakang, dari mana pasokan bumbu itu. Tapi, tak satu pun dari mereka yang mau memberi tahu.
Lalu, kau juga sampai ke Medan, dan kota-kota kecil maupun daerah terpencil lainnya di sana seperti Barus, Sibolga, Tanjungbalai Asahan, Binjai, dan banyak lainnya. Kau bertanya ke banyak rumah makan BPK atau rumah makan halal lainnya, tapi juga tak ada jawaban. Kau juga sampai ke Kutaraja di Banda Aceh, Pidie, Bireuen, Meulaboh, Kutacane, dan yang lainnya. Kau bertanya kepada banyak penjual mi aceh yang bumbu rempahnya sangat menggiurkan itu, juga kepada banyak rumah makan khas Aceh lainnya. Namun, mereka menjawab tak mengerti.
Kau pergi ke Palembang, Prabumulih, Lubuklinggau, dan kota-kota lainnya. Kau temui para pembuat pempek atau pindang patin atau pindang baung dan masakan khas lainnya di sana, mereka menggelengkan kepala.
Kau juga pergi ke Makassar, Bali, Manado, Lombok, Kupang, Ambon, Balikpapan, Pontianak, Singkawang, Pangkalan Bun, Bone, Matak, Pekanbaru, Selatpanjang, Tanjungpinang, Sorong, dan kota-kota lainnya. Kau tanya tentang hal yang sama, tapi tetap tak ada jawaban. Seluruh kota besar hingga kota kecil dan desa-desa di Jawa juga kau telusuri. Mereka hanya menggelengkan kepala.
Kau akhirnya putus asa. Kau putuskan kembali ke stasiun itu, menunggu kekasihmu yang katamu berbeda Tuhan dengan dirimu itu. Padahal, kau sudah tahu bahwa kekasihmu tak akan pernah kembali lagi. Lalu, seseorang, yang entah siapa, bertanya kepadamu. “Jika cinta kalian terpisah karena beda Tuhan, beda iman, mengapa ketika ia disatukan dengan asam jawa dan dijadikan bumbu masakan bisa menjadi obat mujarab untuk keharmonisan cinta?”
Kau memandang nanar pada wajah itu, yang tak bisa kau bedakan apakah dia perempuan atau lelaki. “Benarkah?” tanyamu kepadanya seakan tak percaya. Pertanyaan yang sama yang pernah kau tanyakan kepada orang lain, ketika itu.
“Iya. Apakah kau tak baca berita di koran-koran dan media online atau nonton di televisi? Sejak campuran itu dipakai sebagai bumbu masakan di hampir rumah makan di negara ini, jumlah rumah tangga dan pasangan yang hidup bahagia naik pesat. Tingkat kebahagiaan keluarga naik drastis. Bumbu campuran cintamu dan asam jawa itu diburu di mana-mana. Diekspor ke hampir semua negara dan memberikan efek yang sama.”
“Apakah ada cinta yang bisa memberi rasa aman dan rasa bahagia?” tanyamu seperti sebuah gumaman.
“Itu seperti yang saya ceritakan tadi. Resep bumbu itu membuat bahagia semua orang yang memakan masakannya. Kau harus bangga.”
“Tapi, kami tak hidup bahagia. Cinta kami merepotkan banyak orang. Membuat sedih keluarga kami, keluarga dia dan keluargaku.”
“Kenapa?”
“Karena mereka tak saling setuju. Karena berbeda iman itu tak bisa menyatukan sebuah cinta. Mereka melaknat kami akan masuk dan menjadi kerak neraka jahanam. Dan mereka menculik kekasihku.”
Lalu, air matamu menetes dan membasahi kedua pipimu. Dan seseorang yang kau masih ragu apakah dia lelaki atau perempuan itu berusaha menghapusnya dengan sapu tangannya. Namun, tiba-tiba sapu tangan itu terbang terbawa angin.
***
LALU, kau ceritakan kepada orang itu kisah yang terjadi. Malam itu, saat hujan badai yang sangat deras, beberapa orang berhasil menculik kekasihmu. Dia dibawa entah ke mana. Pelarian kalian berhasil dilacak oleh sistem satelit yang mengikuti nomor IMEI telepon genggam kekasihmu. Padahal, dalam beberapa kali penyergapan, kalian berhasil lolos. Mulai ketika masih tinggal di sebuah gubuk tua di pedalaman Rimbo Bujang, di rumah kumuh pinggir rel kereta api di Petamburan, hingga di berbagai tempat persembunyian lainnya. Kalian hidup berpindah.
Lalu, kalian tak bisa lari lagi dari kepungan para pemburu itu di rumah bambu dekat ratusan kuburan masal pengikut organisasi terlarang di lereng Gunung Merbabu.
Kalian tahu, cinta memang harus diperjuangkan hingga batas kemampuan. Tapi akhirnya, malam itu, saat hujan badai yang sangat deras, kau dan kekasihmu harus memilih salah satu yang tertangkap. Kekasihmu menyuruh kau masuk ke sebuah lubang yang tertutup papan sebagai alas tikar tidur.
“Kau harus tetap hidup. Biar aku yang menjalani ini,” kata kekasihmu. Sementara di luar, tim buru sergap sudah berhasil menjebol pintu bambu di depan.
“Kita masuk lubang ini bersama.”
“Tidak bisa. Lubang ini hanya bisa menyelamatkan satu orang. Tanah akan langsung menutup dari atas begitu seseorang masuk. Kau harus tetap hidup, demi cinta kita, agar bisa kau ceritakan kepada banyak orang betapa besar cinta kita.”
Tak ada waktu untuk berdebat lagi. Kekasih tercintamu kemudian mendorongmu masuk ke lubang, kemudian ditutupnya lagi dengan papan dan tikar lusuh di atasnya. Bersamaan dengan itu, dua orang penyergap berhasil meringkus kekasihmu tersebut dan membawanya entah ke mana.
Kau terus mengikuti lubang itu. Sebuah lubang sebesar tubuhmu yang sangat licin. Kau seperti seekor belut yang mengikuti lubang licin itu hingga keluar di sebuah dataran yang tak terlalu luas di sebuah tebing yang tak terlalu curam di luar desa. Bertepatan dengan itu, kau melihat sebuah mobil jenis pikap, bak terbuka, dan melihat kekasihmu berada di belakang dengan tangan terikat, dipegang oleh dua orang berbadan kekar.
Mobil itu berhenti di tebing tak jauh dari tempat kau keluar dari lubang tadi. Jaraknya sekitar sepuluh meter, tetapi rimbunnya semak perdu membuat kau tak terlihat oleh lima lelaki yang kini memegang kekasihmu itu. Lalu, kekasihmu diturunkan dan dihadapkan ke dinding dengan disinari lampu sorot mobil. Kau terkejut ketika melihat seorang lelaki kurus agak tinggi turun dari pintu depan sebelah kiri. Bernhard! Itu kakak kandungmu. Lelaki yang mengatasnamakan keluargamu, menentang cinta kalian. Namun, belum hilang keterkejutanmu, sebuah suara keluar dari mulut lelaki kurus agak tinggi itu. “Habisi!”
Lalu, sebuah jeritan pendek terdengar dan kepala kekasihmu sudah terpisah dari tubuhnya. Kau nyaris berteriak, namun akhirnya kau kehilangan kesadaran saat melihat kejadian mengerikan itu.
Kau terbangun saat hujan mulai reda. Keadaan sudah sepi. Kau berjalan ke arah mayat kekasihmu yang kini terpisah antara badan dan kepalanya. Kau histeris, tetapi tanpa suara. Kau peluk kepala yang terpotong dan penuh darah itu. Kemudian, kau dekatkan kepala itu dengan lehernya. Kau satukan. Lalu, kau berusaha menggali tanah yang terlihat empuk karena basah itu. Hampir satu jam, dengan peluh dan tangis, kau menggali tanah itu dengan sebuah dahan kayu yang terlihat sudah lancip di ujungnya. Setelah kau rasa cukup dalam untuk memendam tubuh kekasihmu, kau berhenti. Kau tarik tubuh kekasihmu dan kau masukkan ke dalam lubang. Kemudian kepalanya. Kau peluk kepala yang terpenggal itu. Kau cium keningnya. Setelah itu kau masukkan ke lubang, kau sambungkan ke leher yang terpenggal itu lagi.
Malam itu, dengan darah kekasihmu dan lumpur tanah yang bercampur menempel di sekujur tubuhmu, dengan gontai kau berjalan menuruni jalan setapak. Kau tetap menghindari orang ramai dan terus berjalan mencari jalan setapak. Hingga di sebuah pagi kau sampai di sebuah stasiun kereta api kecil yang kemudian membawamu ke kota ini. Kau tinggal di stasiun itu. Darah dan lumpur yang menempel di tubuhmu itu, tercium wangi bunga melati oleh semua orang yang datang dan pergi di stasiun itu. Lama-lama, orang-orang di sana memanggilmu Cinta karena kau tak pernah memberi tahu namamu sebenarnya. Lama-kelamaan juga, darah dan tanah yang menempel di baju yang kau pakai itu berubah menjadi seperti lukisan berbentuk daun waru yang menjadi simbol cinta yang diagungkan itu.
Dan di sebuah malam, tiba-tiba lukisan-lukisan itu berjatuhan dari badanmu. Kau kerepotan. Kau berusaha mencari satu per satu sesuatu yang kau anggap cintamu itu. Namun, seseorang telah berhasil lebih dulu mengambilnya. Seorang penjual asam jawa keliling. Dan kini, kau kehilangan cintamu karena sudah disatukan dengan asam jawa olehnya dan dijadikan bumbu masak. Bumbu itu dijual ke mana-mana, yang kata banyak orang menjadi obat mujarab untuk keutuhan cinta siapa pun yang pernah memakan masakan yang menggunakan bumbu itu.
Sejak bumbu masak yang terbuat dari campuran cintamu dan asam jawa itu menyebar ke seluruh dunia, tak ada lagi kisah cinta yang muram. Tak ada perselingkuhan. Tak ada perceraian. Tak ada pembunuhan atau penganiayaan atas nama cemburu dan dendam.
Semua orang hidup bahagia.
Kecuali kamu!
.
.
Pekanbaru, 20 Februari 2019
.
.
aqilaziz
Ha ha.. benar-benar fiktif. Mestinya meskipun fiktif, tetap harus masuk akal.
“Lama-kelamaan juga, darah dan tanah yang menempel di baju yang kau pakai itu berubah menjadi seperti lukisan berbentuk daun waru yang menjadi simbol cinta yang diagungkan itu.”
Cerpen ini terinspirasi dengan cerita kapal Titanic, pelampung yang hanya bisa menyelamatkan 1 orang.