Cerpen, Ida Fitri, Serambi Indonesia

Ia Menangis Bersama Malaikat

0
(0)

Cerpen Ida Fitri (Serambi Indonesia, 15 September 2019)

Malaikat ilustrasi Istimewa.jpg

Malaikat ilustrasi Istimewa

DALAM kitab Muqaddimah, Abdurrahman bin Muhammad atau yang lebih terkenal dengan nama Ibnu Khaldun menyebut; karya-karya ulama Hanafi dan as-Syafiiyah tentang Khilafiyat lebih banyak dari pada ulama Malikiyah, oleh karena itu golongan pertama disebut kaum rasionalis dan analis, golongan kedua dikatakan kaum atsar (berpegang pada pendapat para sahabat). Sebelum membahas lebih banyak tentang Khilafiyat—saat membaca ini mungkin kamu masih terlalu kecil untuk memahami istilah itu—ada baiknya saya ceritakan dulu apa yang terjadi di kampung kita baru-baru ini. Sebenarnya cerita ini berasal dari teman saya Mahazi Idris yang kebetulan berada di tempat yang tidak tepat pada saat yang tidak tepat. Sebagai orang yang jarang pulang, saya selalu ketinggalan peristiwa-peristiwa aktual di Kampung S; beruntung, Mahazi Idris selalu melaporkan hal-hal biasa dan hal-hal tidak biasa yang terjadi di kampung. Mahazi Idris adalah teman saya ketika menggembala sapi dan kambing dulu, hanya ia memilih terus melajang dan menetap di kampung. Saya dan teman lain sudah berkeluarga dan banyak yang merantau. Oleh karena itu, dalam cerita nanti, saya akan sering menyebut, “pemuda itu,” demi untuk menghormati pilihan Mahazi Idris. Saya menulis cerita ini sambil mendengar Für Elise, tapi cerita ini bukan untuk Elise atau Therese Malfatti, melainkan untukmu Jeumpa Keubiru, calon anak saya yang mungkin tidak akan pernah bisa saya tatap matamu. Cerita ini saya tulis pada suatu pagi libur di bulan Juni 2019, sementara ibumu terbaring cantik di atas tempat tidur di belakang saya. Saya tidak tahu, apakah kelak kamu akan mirip saya atau mirip ibumu. Baiklah kita kembali ke cerita yang ingin saya tulis untukmu.

Bulan masih tertutup awan saat Mahazi Idris melewati masjid kampung. Kebutuhan biologislah yang membuat pemuda itu membelokkan motornya ke halaman masjid, dan menghentikannya begitu saja. Ia berlari ke belakang menuju bangunan berbentuk trapesium, membuka salah satu bilik yang berjejer di sisi selatan, sebab di sisi utara tertulis “untuk wanita.” Belum selesai menunaikan hajatnya, telinga pemuda itu mendengar keributan yang datang dari arah depan masjid. Mungkinkah terjadi pencurian motor salah satu jamaah yang sedang mendengar ceramah dari ulama terkemuka yang didatangkan dari ibukota? Teringat pada motornya yang tidak terkunci, tanpa membasuh organ pentingnya terlebih dahulu, pemuda itu menarik kancut dan menutup ritsleting, kemudian berlari ke depan masjid. Betapa terkejutnya pemuda itu; mendapati orang-orang bersarung  berteriak dan berusaha menerobos masuk ke dalam masjid. Jumlah mereka sekitar ratusan, sepadan dengan yang di dalam. Mustahil mengambil motor dan kabur, Mahazi Idris mundur beberapa langkah ke bawah bayang-bayang dinding masjid yang membuat orang-orang tidak bisa melihat keberadaannya.

Loading

Leave a Reply

error: Content is protected !!