Cerpen Adinda Febriana Putri Pangerang (Rakyat Sultra, 09 Oktober 2019)

Payung Merah ilustrasi Istimewa
Mega mendung kelabu yang menghalau cahaya langit yang seharusnya jingga kiranya tak membuat dua muda-mudi dalam sebuah ruang hening beranjak. Sang gadis berambut hitam lurus terurai, dengan sweater rajut putih polkadot merah-hitam, duduk di sebuah kursi dekat jendela. Pemuda dengan kemeja merah kotak-kotak memperhatikan gadis tersebut dari sebuah meja di sudut yang berseberangan.
Gadis itu membaca buku yang diambil dari salah satu rak, begitu khidmatnya ia. Perpustakaan, begitu mereka menyebutnya. Waktu menjelang malam tetapi tak ada dari keduanya yang bergegas. Sang gadis begitu larut dalam bacaannya sementara pemuda itu khusyuk membaca air muka sang gadis. Sesekali mereka bertukar pandang dan saling membalas senyum. Pemuda itu menyeruput sedikit-sedikit kopi panasnya untuk menyembunyikan kegugupan. Diambilnya secarik kertas dan sebuah bolpoin untuk mengguratkan garis, membentuk huruf, merangkai kata, menjadikannya bait, melahirkan puisi:
Teruntuk gadisku di sudut sana
Kelabu senja tak lagi sendu
Remang yang sedikit berubah terang
Pekatnya gelap tiada kurasa pahit
Kutebak dan kuterka
Dikaulah menjadi sebab;
Kulitmu yang cerah merona
Sorot matamu tajam menyilaukan
Serta rekahan senyummu semanis madu
Lalu tak ada lagi alasan tersisa untukku merasa sedu sedan.
Kerut keningnya kentara, memikirkan kata-kata untuk puisi selanjutnya. Dicurinya waktu sedetik untuk melihat gadis pujaan di sudut sana. Menggerutu hatinya saat melihat kursi itu telah kosong; Betapa! Hari sudah malam dan sudah sewajarnya perpustakaan itu tutup. Dirapikannya kursi tempat gadis itu duduk. Ditutuplah pintu ruangan itu dengan kesal; Ah, harus merindu pula aku malam ini.
Baca juga: Segelas Air yang Mirip Perasan Lemon – Cerpen Priyo Handoko (Rakyat Sultra, 16 September 2019)
Jika di malam yang mendung ini kau bertanya pada pemuda itu di mana gadis itu maka jawabannya hanyalah sebuah delik bahu dan segaris senyum. Namun, jika kau tanya padaku ke mana gerangan gadis itu pergi? Maka kuberi kau jawaban saat bulan sudah purnama.
Untuk hari ini pemuda itu telah bersuka walau sebentar. Syukur ia lontarkan kepada langit saat langkah terus membawanya ke sebuah tempat untuk beristirahat. Diletakkan tasnya di lantai dekat pintu, tetapi belum pula ia buka daunnya. Diputuskannya untuk menunggu hujan turun malam ini di teras rumahnya. Sementara jarum jam terus berputar, enggan berhenti sebab belumlah kehabisan tenaga. Langit mendung belum menjawab keinginan pemuda itu; hujan. Berjam-jam pemuda dengan sang Langit hanya saling bertatapan tanpa bersua.
Pemuda itu terus menghitung waktu sambil menatap langit. Tak pernah ia lontarkan celaan ke atas sana, hanya sabar ia lakukan.
11.11
Ia pejamkan matanya, memohon dengan khidmat kepada langit.
Tik.
Setetes air jatuh dari langit.
Tik Tik
Kemudian dua
Tik Tik Tik
Disusul tiga
Tik Tik
Tik Tik Tik Tik
Tik Tik Tik Tik Tik Tik
Tik Tik Tik Tik Tik Tik Tik Tik Tik
Tik
Tik
Tik
Tik Tik
Tik
Ribuan tetes air akhirnya membasahi bumi di malam pemuda itu merindu. Dengannya ia berharap bara api rindu dalam dadanya dapat padam. Ia bergegas berdiri mendekati koloni-koloni air itu. Satu lagi pintanya belum dikabulkan langit; gadisnya. Ia tengok ke kanan lalu ke kiri. Ia susuri apa-apa yang ada di sekitar rumahnya. Basahlah sudah kemejanya, rambutnya, celananya, sepatunya.
Baca juga: Rantas Asa – Cerpen Musrida (Rakyat Sultra, 09 September 2019)
Berdirilah pemuda itu di pinggir jalan. Dilihatnya di seberang sana gadisnya memegang sebuah payung merah yang tidak dimekarkan di tangannya yang gemetar karena menangis. Gadis itu menangis menatap tiap inci wajahnya. Ia bergegas memeluk gadisnya itu, sementara gadis itu meronta.
Tolong hentikan. Tak bisakah kau lepas aku?
Serak suara gadisnya memohon.
Pemuda itu hanya sanggup menjatuhkan diri, berlutut di hadapan gadisnya. Tiada lagi yang bisa ia lakukan, bahkan menangis. Diambilnya payung merah itu dari gadisnya, diguratkan seutas senyum yang dipaksakan sambil mengangguk pelan. Bergegas ia pulang, meninggalkan gadis di belakangnya yang pelan-pelan berubah menjadi bayang lalu menghilang menyisakan kenang.
Pada sepertiga malamnya, hanya doa yang mengantar rindunya menuju pintu langit. Entah akan sampai atau tidak, namun tetap diusahakannya. Ia sendirian di dunia fana ini. Namun berbahagia ia, sebab keyakinannya bahwa langit menemani gadisnya di sana.
Langit pagi ini masih mendung. Berteman kabut tebal dan udara dingin. Pemuda dengan payung merah melintas menyeberangi jalan. Kemeja biru kotak-kotak dibalut dengan jumper kelabu, dengan celana krem, tatanan rambut yang klimis serta senyum yang merekah. Tetes air satu per satu berjatuhan membuatnya harus segera berteduh ke sebuah halte. Hujan ini mengingatkannya kepada gadisnya. Payungnya tidak akan ia gunakan, jika bukan bersama gadisnya, sehingga ia tak membukanya.
Dilihat di sampingnya, berdiri seorang gadis sekolah, terlihat dari seragamnya. Gadis itu tampak sesekali memperhatikan keberadaannya. Di halte itu hanya ada mereka berdua. Aneh memang.
Belajarlah dari hujan, yang tetap bersedia hadir walau sudah tahu rasanya terjatuh berkali-kali, ucapnya kepada gadis sekolah itu, yang kemudian dibalas dengan tatapan yang amat serius. Dimintanya agar gadis sekolah itu tidak usah terlalu serius menatapnya, dan membuat gadis itu menjadi salah tingkah.
Dasar anak sekolah, batinnya.
Aku suka hujan. Kau mungkin bosan dengan kalimatku sebelumnya. Aku juga dulu seperti itu. Tetapi, bukankah seharusnya kita mensyukuri setiap pemberian Tuhan? Hujan diturunkan-Nya ke bumi untuk kelangsungan hidup kita.
Pemuda itu kemudian terdiam dan menghayati desir angin dan deras hujan. Sementara gadis sekolah itu mengharapkan ia melanjutkan perkataannya.
Baca juga: Ustaz Abidin dan Corong Masjid – Cerpen Yudik W (Rakyat Sultra, 26 Agustus 2019)
Manusia mengidentikkan hujan dengan kesedihan. Tapi sebenarnya tak selalu seperti itu. Tidakkah mereka melihat betapa bahagianya tumbuhan-tumbuhan itu ketika hujan turun? Mereka berbahagia dan merayakannya dengan tumbuh subur. Pun dengan tanah. Manusia terlalu egois dengan mengutuk hujan.
Angin kembali berembus. Dan pemuda itu lagi-lagi menikmati angin sebelum melanjutkan kalimatnya. Ia kembali mengingat-ingat kalimat yang diucapkan gadisnya yang membuatnya mencintai hujan. Dan angin seperti membawakan kembali memori itu.
Tetapi aku juga tak menyalahkan seluruh manusia. Aku yakin di luar sana banyak juga yang mensyukuri hujan.
Secara ajaib, hujan telah berhenti, namun angin masih berembus. Pemuda itu pamit kepada gadis sekolah itu dengan sebuah senyuman. Ia harus segera ke perpustakaan. Pekerjaan menantinya.
Tiap buku yang tersusun rapi di barisan rak mengingatkannya kepada gadisnya. Kursi di sudut dekat jendela, adalah kursi milik gadisnya. Gadis manis itu, selalu saja membawa teduh di kala terik, membawa sejuk di saat hujan, membawa terang di tengah redup, menghidupkan semangat yang telah lama mati, bahkan ketika hanya bayangannya yang tersisa.
Waktu telah membawa senja kelabu datang dengan cahaya yang bahkan tak cukup untuk disebut remang. Mengem-balikan segala kenang yang seharusnya dikubur dalam liang. Senja kali ini ia segerakan untuk pulang, menghilangkan gadisnya yang kini hanya bersisakan bayang.
Biru pekat yang hampir kehitaman menghias langit malam. Ketika malam ini telah purnama, sudah saatnya aku memberitahukanmu ke mana gadisnya itu pergi. Purnama telah terjadi kedua kalinya dalam sebulan ini. Bulan pun terlihat amat sangat besar seperti telah dicabutkan jaraknya oleh langit. bumi, bulan, dan matahari telah berbaris berbanjar satu malam ini, menjadikan bulan bercahaya merah. Kejadian ini, sungguh, tak bisa kau dapatkan semudah itu, tak bisa kau saksikan di tiap malamnya. Dunia heboh akan fenomena yang disebut sebagai lunar eclipse ini. Dan, pada kejadiannya sebelum ini, dunia pun sama hebohnya, terpukau, terbuai, oleh penampakan yang amat sangat indah. Hanya pemuda ini yang berkabung dalam sedih bahwa sang Langit membujuk gadisnya. Langit memohon, agar pulang gadis itu ke sisinya, menyudahi cintanya dengan pemuda itu. Muda-mudi itu tak punya banyak pilihan.
Baca juga: Nenek Pakande – Cerpen Nur Inayah Syar (Rakyat Sultra, 19 Agustus 2019)
Sekarang, setelah sekitar seratus lima puluh tahun, gadisnya datang memohon agar pemuda itu melepaskan bayangnya, menitipkan sebuah payung merah pemberian sang Langit agar ia tidak bersedih, di saat fenomena yang dapat mengembalikan semua memori mengenai gadisnya akan kembali terjadi. Langit tak mau ia berkabung untuk kedua kalinya, namun menyadari lunar eclipse kembali terjadi, tak bisa ia membendung air matanya. Terbujur ia jatuh di jalanan sembari bersedih, bersedu, bersedan. Sujud ia sembahkan kepada Langit, memohon agar ia dapat menyusul gadisnya. Bahwa bertahan bukanlah pilihan untuknya. Bahwa berpisah bukanlah yang terbaik bagi mereka berdua.
Malam itu, sang Langit tengah berkasih, membukakan pintunya bagi siapa pun. Maka dibiarkan pemuda itu masuk dan bertemu dengan gadisnya, kekasihnya. Gadis itu, dengan senyuman merekah, bergegas dengan beringas meringkuk dalam peluknya. Ada terbesit rasa enggan untuk saling melepaskan peluk itu. Keduanya berbahagia malam itu. Melepas rindu yang telah lama merantai keduanya.
Hari itu hujan mengguyur bumi. Memberi kehidupan kepada semua makhluk di bawah sana. Dengan izin langit, muda-mudi itu turun ke bawah menikmati hujan di bawah naungan payung merah sang Langit.
Kendari, 30 September 2019
Catatan:
Puisi “Hujan” dan “Hujan 2” sudah dipublikasi sebelumnya oleh Pustaka Kabanti.
Adinda Febriana Putri Pangerang adalah penulis cerpen dan puisi. Ia baru saja menyelesaikan pendidikan di SMAN 4 Kendari dan aktif di Fraksi Sastra (Frasa), sebuah organisasi di bawah OSIS (ordibasis) di SMAN 4 Kendari. Ia bersama Muammar Qadafi Muhajir, mengikuti Akademi Remaja Kreatif Indonesia (ARKI) yang dilaksanakan Kemendikbud tahun 2018 di Jakarta, bidang penulisan syair. Sejak 2018, ia menjadi relawan-anggota Pustaka Kabanti Kendari. Tulisannya sudah tersiar di berbagai kanal media sosial yang dikelola Pustaka Kabanti.
Leave a Reply