Cerpen Alim Musthafa (Republika, 27 Oktober 2019)

Shalawat Ilalang ilustrasi Da’an Yahya/Republika
Selalu terdengar senandung shalawat dari atas bukit. Begitu merdu dalam suasana senja dan kesiur ilalang yang saling bergesek. Berayun-ayun di antara rumah-rumah warga bersama angin sepoi yang berembus. Itu berlangsung setiap sore hari, semenjak seorang pemuda setempat menyepi di bukit itu, berdiam di antara ilalang dengan wajah muram.
Meski terdengar aneh, senandung puji-pujian pada nabi itu telah membuat warga lereng bukit merasakan kedamaian. Seperti ada sepasang tangan sejuk yang mengelus ke dalaman hati mereka. Menying kirkan beban-beban akibat begitu peliknya menjalani hidup ini. Tak sebagaimana lagu-lagu pop atau dangdut yang justru menggiring angan-angan mereka pada keinginan yang panjang.
Sebab itulah, warga lereng bukit tak ingin mengusik. Kalaupun mereka penasaran dengan apa yang dilakukan pemuda itu, mereka hanya mengintip dari jauh, dari balik batang-batang pohon yang tumbuh di pinggiran bukit. Namun, tetap saja keingintahuan mereka menyisakan satu pertanyaan: kenapa pemuda itu jadi suka menyendiri, berdiam di tengah ilalang sambil menyenandungkan shalawat dengan sepasang mata yang selalu basah?
Warga lereng bukit tahu, semula pemuda itu suka keluyuran malam, mendatangi diskotik, lalu menenggak miras bersama perempuan-perem puan nakal. Tak ada yang berani menegur atau pun mencegah, tak terkecuali ayahnya yang sudah menua dan mulai putus asa. Sebab, ia tak segan-segan menyakiti siapa pun yang berani mengusik hidupnya. “Mau mengurusi hidupku atau mau hilang nyawa, ha?” Begitu gertaknya saat ada orang yang sok-sokan di hadapannya.
Pemuda itu sebanarnya pernah mengenyam pendidikan pesantren selama beberapa tahun. Ia pernah mengaji kitab kuning pada beberapa kiai, terlibat diskusi keagamaan di forum-forum pesantren, juga dilatih istiqamah melaksanakan amaliyah ubudiyah selain kewajiban yang lima waktu. Namun, tak sampai pendidikannya tuntas, ia dihadapkan pada sebuah musibah yang membuatnya harus kehilangan harapan. Ibunya meninggal setelah mengalami kecelakaan yang mengerikan.
Baca juga: Penabur Bunga – Cerpen Maya Sandita (Republika, 20 Oktober 2019)
Pemuda itu pun boyong dari pesantren dan tak pernah mau kembali lagi. Sejak saat itu, hidupnya jadi tak karuan. Mula-mula ia suka hidup di luar, nongkrong bersama pemuda-pemuda pengangguran di gardu-gardu persim pangan jalan. Tak ada yang ia lakukan selain bermain domino, mendengarkan lagu-lagu sumbang dari temannya yang membawa gitar, atau menggoda gadis-gadis cantik yang kebetulan lewat. Sesekali ia pulang hanya untuk meminta uang pada ayahnya, tapi sebentar kemudian pergi lagi dengan rencana-rencana yang lain, semisal mencari hiburan.
Sebagai anak satu-satunya dari keluarga kaya, pemuda itu memang sudah dimanja sejak kecil. Apa yang diinginkannya selalu dipenuhi. Akibatnya, ia pun tumbuh sebagai pemuda yang susah diatur. Bahkan, sebutan nakal kemudian disematkan pada dirinya setelah ditinggal pergi sang kekasih hingga membuatnya terjerumus dalam dunia kelam. Sejak saat itu, ia tak pernah lagi menginjakkan kakinya ke masjid, mushala, atau tempat-tempat ibadah lain. Sebab, klub-klub malam telah membuatnya percaya bahwa tiada kesenangan selain berbaur bersama hingar binger musik, denting botol minuman, dan desahan-desahan perempuan dalam belaian.
Sementara itu, semua warga lereng bukit sudah muak dengan tingkahnya. Kemunculannya selalu membuat mereka terusik. Bagaimana tidak, ia selalu membonceng gadis yang berlainan setiap harinya, sengaja lewat di depan rumah-rumah warga dengan bunyi sepedanya yang maraung-raung memekakkan gendang kuping. Apalagi di malam hari, warga menjadi sangat geram karena membuat tidur mereka tidak pernah nyenyak. Namun, mereka hanya mengumpat di dalam hati, selebihnya hanya diam dengan menahan kekesalan yang dalam.
Itu terus berlanjut sampai suatu Sore pemuda itu dicegat beberapa lelaki tak dikenal di tengah jalan, satu di antara lelaki itu tiba-tiba mengalunginya celurit, memintanya turun lalu merampas semua apa yang menjadi miliknya, termasuk sepeda yang menjadi kebanggaannya itu. Sempat ia mencoba melawan, tapi gerombolan lelaki itu sigap membekuk dan mengoroyoknya hingga tak berdaya. Darah mengalir dari mulut dan hidungnya, tapi untungnya ia masih diberi kesempatan hidup. Sekuat mungkin ia berusaha bangkit dan membawa tubuhnya pulang meski dengan langkah sempoyongan. Ia pikir akan kuat sampai rumah, tapi tiba-tiba ia ambruk ketika hendak melewati sebuah rumah kecil di pinggir jalan.
Baca juga: Jejak Cinta Asmarandana – Cerpen Ahla Jennan (Republika, 13 Oktober 2019)
Pemuda itu terpaksa duduk bersandar pada sebatang pohon yang tumbuh tak jauh dari rumah itu. Wajahnya meringis seolah tak kuat menahan sakit di sekujur tubuhnya. Saat itu ia merasa sangat membutuhkan pertolongan orang lain untuk sekadar bangkit dan meneruskan langkah nya. Namun, hingga petang jatuh di sepanjang jalan, tak ada siapa pun yang lewat, sementara rumah di seberang jalan itu tak mununjukkan ada orang beraktivitas di dalamnya, seperti rumah kosong meski tampak terang.
Ia pun pasrah dan perlahan sepasang matanya memejam. Angin yang berembus sepoi-sepoi menyapu wajah dan rambutnya yang awut-awutan.
Dalam setengah sadar, telinganya lamat-lamat menangkap sebuah senandung yang mendayu-dayu dari rumah itu, seperti lantunan shalawat yang selalu ia dengar selama masih tinggal di pesantren dulu. Anehnya senandung itu membuat hatinya bergetar, merasakan kedamaian, bahkan lebih dari itu, sakit di sekujur tubuhnya mendadak hilang, dan tenaganya pulih seperti sediakala.
Sesampainya di rumah, pemuda itu merasa heran karena senandung puji-pujian itu terus terngiang-ngiang di telinganya, melekat kuat pada ingatannya, membuatnya hafal di luar kepala. Iseng-iseng ia pun menirukannya, menyenandungkannya dengan suaranya yang lambut. Hingga tanpa sadar matanya terpejam. Tertidur dengan perasaan yang begitu tenang.
Di dalam tidurnya itu, pemuda itu tiba-tiba bermimpi didatangi seorang lelaki berjubah putih. Wajah lelaki itu begitu tampan. Bersinar melebihi rembulan. Aroma wangi menguar dari sekujur tubuhnya, aroma yang belum pernah ia baui dari segala merek parfum di dunia ini.
“Anak muda, kau telah memanggilku, sekarang aku datang, dan kau berhak atas syafaatku,” kata lelaki yang penuh wibawa itu.
Baca juga: Pedas Manis – Cerpen Daud Farma (Republika, 06 Oktober 2019)
Pemuda itu hanya terdiam, menunduk segan. Sementara, lelaki itu semakin mendekat, lalu meraih tangannya. “Mari ikut aku! Aku ingin menunjukkan sesuatu padamu!” ajaknya.
Dalam sekejap, lelaki itu sudah berhasil membawa pemuda itu pada sebuah tempat yang gelap dan mengerikan. Nyala api ber kobar-kobar. Suara jeritan ada di mana-mana. Manusia-manusia berbentuk aneh dan tak lagi utuh. Itu membuat hati pemuda itu bergetar seolah tak kuasa menyaksikan bermacam-macam siksaan yang ditimpakan.
Lelaki itu kemudian membawa pemuda itu pada tempat yang lain. Sebuah tempat yang sempit dan hanya dihuni oleh tiga sosok makhluk. Sosok pertama bertubuh dekil, penuh memar, dan diikat pada sebuah tiang, sementara dua sosok lainnya berpakaian serba hitam, berwajah sangar dengan mulut menyemburkan api, mereka berdua tak berhenti memukul tubuh tak berdaya itu dengan sebuah tongkat besi yang tampak membara. Dari wajahnya yang tampak menderita luar biasa, pemuda itu tahu bahwa orang yang disiksanya itu adalah ibunya. “Ibu, ternyata kau sangat menderita di tempat ini,” serunya lalu tiba-tiba tersadar.
Begitulah, sejak mengalami mimpi aneh itu, pemuda itu berubah. Ia tidak lagi meng ganggu dan mencari gara-gara dengan orang lain. Ia mulai menyesali segala kesalahannya dan barusaha memperbaiki diri. Namun, anehanya ia tiba-tiba menjadi manusia yang tertutup. Ia hanya keluar rumah pada sore hari, menyepi di atas bukit, dan menyenandungkan shalawat bersama ilalang yang meliuk-liuk diterpa angin sepoi-sepoi.
Dari hari ke hari, pemuda itu semakin menunjukkan perubahan yang aneh. Wajahnya muram, tubuhnya kurus kering. Dan, setiap kali menyenandungkan shalawat, air matanya selalu jatuh seperti embun yang luruh dari selembar daun setelah subuh. Apakah ia sedang menahan kerinduan yang begitu dalam pada seseorang? Atau kah mungkin terjebak dalam penyesalan yang tak berujung setelah melakukan banyak keburukan? Begitulah warga lereng bukit mulai bertanya-tanya.
Baca juga: Air Mata Jingga – Cerpen Azwim Zulliandri (Republika, 29 September 2019)
Pada suatu hari, pemuda itu tiba-tiba berkeliling kampung, mengunjungi rumah-rumah warga, lalu minta maaf atas segala kesalahan yang pernah ia perbuat. Waktu itu semua warga lereng bukit merasa begitu terharu karena ia datang dengan terisak-isak menahan tangis. Dan, beberapa hari setelah itu, ia pun dikabarkan meninggal setelah tak berhenti menyenandungkan shala wat sehabis Subuh yang masih lengang.
Warga lereng bukit pun berduka. Mereka merasa begitu kehilangan atas kematiannya. Namun, mereka tak bisa berbuat banyak selain hanya menguburkannya dengan layak dan mendoakannya agar diampuni segala dosa dan mendapatkan derajat yang tinggi di sisi Tuhan.
Apakah senandung shalawat itu juga akan tiada? Begitulah warga lereng bukit mulai bertanya-tanya sepulang dari menguburkan pemuda itu. Tapi, tentu itu pertanyaan yang sia-sia. Sebab, mereka begitu yakin senandung shalawat itu mustahil akan ada lagi.
Namun, mereka salah. Sore itu senandung shalawat itu terdengar lagi. Membuat warga lereng bukit terheran-heran, hingga berbondong-bondong mendatangi puncak bukit. Tapi aneh, tak ada siapa pun di sana, hanya ilalang yang meliuk-liuk sempurna, berkesiur seolah-olah senandung puji-pujian pada nabi itu bersumber dari sana.
Kota Ukir, Oktober 2019
Alim Musthafa lahir dan tinggal di Sumenep Madura. Alumnus PBA di Institut Ilmu Keislaman Annuqayah Guluk-Guluk. Selain mengajar, ia menulis fiksi dan menerjemah karya-karya berbahasa Arab. Karya-karyanya telah tersiar di sejumlah media nasional dan lokal, seperti Media Indonesia, Republika, Solopos, Rakyat Sultra, Banjarmasin Post, Denpost, Analisa, dan Radar Malang.
Leave a Reply