Cerpen Abul Muamar (Republika, 03 November 2019)

Dia Menyentuh Pipi Orang-Orang ilustrasi Rendra Purnama/Republika
“Bolehkah kusentuh pipimu?”
Lelaki itu mengajukan pertanyaan itu dengan dua tangan yang sudah terangkat setinggi bahu perempuan di hadapannya. Waktu seperti terhenti saat ia menunggu jawaban dari si perempuan, sebelum lekas-lekas ia turunkan tangannya.
“Maaf, saya tak bermaksud…,” katanya. Matanya segera berpaling ke bawah, mondar-mandir tak menentu arah.
Suaranya saat menyampaikan pertanyaan tadi rupanya cukup nyaring. Orang-orang di dekat mereka yang mendengar pertanyaan lelaki itu, untuk beberapa saat menoleh, mengawasi gerak-gerik si lelaki bagaikan polisi yang siaga untuk bertindak. Mereka baru kembali meneruskan urusan mereka masing-masing ketika melihat perempuan di hadapannya justru memungut kedua tangan lelaki itu dengan hangat, menuntunnya menyentuh pipinya.
“Tentu saja boleh,” jawab perempuan itu seraya melekatkan kedua telapak tangan si lelaki ke pipinya.
Pertemuan antara lelaki dan perempuan itu bukanlah yang pertama kali. Sebulan terakhir sebelum mereka kencan di kafe tertutup itu, mereka setidaknya sudah bertemu empat kali. Lelaki itu adalah dosen filsafat di Universitas A untuk program pascasarjana, dan perempuan itu adalah mahasiswanya. Di luar pertemuan di kelas, keduanya beberapa kali berpapasan di lorong kelas dan beradu pandang saat makan di kantin kampus. Pada perjumpaan kesekian, perempuan itu memberanikan diri mendekati lelaki itu lebih dulu.
“Kau bermaksud mengajakku kencan?”
Tidak ada jawaban dari perempuan itu, tapi gestur yang ditunjukkannya, terutama melalui alisnya yang terangkat sebelah, memberi jawaban yang cukup asertif bagi si lelaki.
Dari sanalah hubungan mereka berawal. Sesudah kencan singkat di kafe itu, si lelaki mengantar si perempuan pulang sampai di depan rumahnya. Dalam keterpisahan selepas melambaikan tangan, keduanya saling memikirkan satu sama lain. Di kamarnya, si perempuan jantungnya berdegup kencang, sulit percaya bahwa dirinya baru saja mengencani dosennya. Sementara itu, dalam keadaan menyetir sendirian, lelaki itu masih terbayang-bayang wajah si perempuan; tak yakin ia apakah perempuan yang barusan dikencaninya benar-benar nyata adanya.
***
Lelaki itu punya kebiasaan aneh: selalu ingin menyentuh pipi orang-orang yang baru ditemuinya. Kebiasaan itu muncul sejak ia masih mahasiswa magister tingkat akhir. Ia pernah ditinju oleh pacar teman sekelasnya yang ia sentuh pipinya. Setamat kuliah, kebiasaan itu bukannya hilang, malah semakin parah ketika ia mulai mengajar. Di kampus, ketika seorang mahasiswa mendatanginya dan memuji tulisannya yang terbit di surat kabar nasional, ia langsung menyentuh pipi mahasiswa itu, dan mahasiswa itu langsung lari tunggang-langgang, mengira ia seorang homoseksual.
“Jika kau sedang bersama seseorang yang kau kenal, mintalah tolong padanya untuk memastikan keberadaan orang itu tanpa harus menyentuh pipinya,” demikian pesan istrinya.
Pesan istrinya itu dipahaminya dengan baik. Setiap kali ada orang baru yang datang padanya, lelaki itu akan bertanya pada orang yang berada di dekatnya yang sudah ia kenal, “Apakah kau bisa melihat dia?”
Kenalan-kenalannya akan tertawa sebelum dengan senang hati membantunya. Mereka sudah tahu belaka penyakit apa yang dideritanya. Sedangkan, kepada orang baru yang muncul di hadapannya, ia akan memberi penjelasan untuk menghindari mereka tersinggung.
“Sampai sekarang, aku masih sering melihat hal-hal yang tidak ada di sini. Kuharap Anda mengerti.”
***
Meski pembawaannya seperti orang linglung dan cara berjalannya mirip orang idiot, lelaki itu pada dasarnya genius. Sejak menamatkan pendidikan sarjananya, ia terus berupaya mencari validitas pernyataan bahwa alam semesta tidak terbatas. Namun, setiap kali ia merasa bahwa jawaban itu sedang datang ke kepalanya, setiap kali itu pula sosok-sosok tak nyata datang meng hampirinya. Semakin sering jawaban itu datang, semakin sering sosok-sosok itu muncul.
Sering kali sosok-sosok tak nyata itu hanya melintas dalam pandangannya, lalu menghilang begitu saja. Namun, ada tiga sosok yang selalu hadir dalam keseharian nya secara rutin. Yang pertama adalah seorang pria yang selalu menenteng bayonet, dengan topi bergambar logo bintang merah di bagian depannya. Pria itu, yang mem perkenalkan dirinya dengan nama Bung Che Pott, memberitahunya bahwa ia adalah keturunan korban genosida. Bung Che Pott selalu menghasutnya untuk melakukan pembalasan dendam atas pembantaian orang-orang tak bersalah yang dituduh simpatisan komunis di masa lalu.
“Dengar, Kamerad, di antara ratusan orang yang dibantai itu, ada kakekmu, nenekmu, pamanmu, bibimu, dan ayahmu sendiri. Kau harus membalas, Kamerad! Kau harus membalas!”
Bung Che Pott selalu berkata demikian pada setiap kemunculannya. “Permintaan maaf saja tidaklah cukup, Kamerad, sekali pun itu disampaikan oleh presiden. Retorika basa-basi semacam itu jangan kau dengar!”
Sosok yang kedua adalah perempuan Amerika berdarah Kuba bernama Camila Cabello. Tidak hanya muncul di kamarnya, Camila juga selalu hadir saat ia galau dan pikirannya buntu, mendengarkan keluh kesahnya, bernyanyi untuknya dengan suara yang nakal, dan kadang-kadang kejar-kejaran dengannya di taman kampus. Bahkan, ketika ia telah memiliki istri yang tak kalah binalnya, sosok Camila tetap selalu hadir dalam hidupnya.
Tentu saja itu semua bukannya tanpa konflik. Bahkan, sejak kencan pertamanya dengan istrinya di kafe tertutup itu, Camila sudah begitu cemburu. Hingga akhirnya, ketika ia menikahi mantan mahasiswanya itu, mereka pun bersepakat, bahwa Camila juga boleh mengencani pria lain selain dirinya agar keadaan menjadi impas. Tak lama setelah itu, ia pun mendapati bahwa Camila bergandengan tangan dengan Shawn Mendes, seorang penyanyi muda asal Kanada.
Lalu, sosok ketiga adalah seorang kakek tua yang kepadanya ia belajar tentang banyak hal, mulai dari perkara cinta, hubungan sosial, sampai metafisika, dan epis temologi. Kakek yang kepadanya mengaku bernama Plato inilah yang selalu meyakinkannya bahwa ia tidak sedang berfantasi, ketika orang-orang di sekelilingnya, terutama para dokter dan penjaga di rumah sakit tempat ia dirawat, mengatakan kepadanya bahwa mereka semua tidak nyata.
“Lihat, kau bisa melihatku. Kau bisa bicara denganku. Jangan dengarkan apa kata mereka. Kau tidak sedang berhalusinasi, Nak,” kata si kakek, setiap kali ia mencoba mengenyahkannya dari pikirannya.
Suatu malam, saat ia tengah berpikir keras soal kenapa waktu bisa melengkung, tiba-tiba Bung Che Pott masuk ke kamarnya, mengajaknya keluar. Coretan pemi kirannya pun ditinggalkannya begitu saja. Ia bergegas mengikuti Bung Che Pott. Begitu keluar dari rumahnya, dilihatnya di sepanjang jalan mayat-mayat bergelim pangan. Sebagian yang masih hidup meminta pertolongannya, mengesot-ngesot merengkuh betisnya.
Bung Che Pott mempercepat langkahnya sebelum berhenti di depan markas sebuah organisasi kepemudaan yang berada tak jauh dari rumahnya. Lelaki itu juga berhenti, menatap markas itu dengan penuh kebencian dan dendam.
“Ini markas para pembunuh itu. Masuklah. Habisi siapa pun yang ada di dalam,” perintah Bung Che Pott.
Lelaki itu langsung masuk ke dalam, memukuli tiga orang berpakaian loreng merah-hitam yang saat itu sedang tidur dengan sebuah balok hingga mereka tewas. Sebelum keluar, dilihatnya sebuah foto yang tergantung di sudut ruangan, foto pem bantaian orang-orang tertuduh simpatisan komunis. Pada foto itu dilihatnya sosok-sosok yang ia yakini sebagai kakeknya, neneknya, pamannya, bibinya, dan ayahnya. Semakin geramlah ia setelah melihat foto itu. Lalu, dihancurkannya seluruh perkakas yang ada di dalam markas itu dengan balok yang masih dipegangnya. Setelah habis tenaganya, ia jatuh tersimpuh, lalu menangis keras-keras.
Sementara itu, kehadiran Camila yang semakin sering di rumahnya membuat istrinya curiga ada yang ganjil, terutama ketika mereka sedang berkasih-kasihan. Pada tahun ketiga pernikahan mereka, karena tak tahan lagi dengan segala tingkah laku aneh suaminya yang kerap didapatinya seperti seseorang yang sedang berdialog dengan hantu, istrinya mengantarkannya ke rumah sakit jiwa dan sejak saat itu mulai sering bertemu dengan pria-pria lain.
***
Saat mulai terbiasa mengendalikan diri untuk tidak berinteraksi dengan sosok-sosok khayalannya, setelah dirawat selama lima tahun dengan pengawasan intensif, pihak rumah sakit mengizinkan lelaki itu pulang. Namun, sosok-sosok khayali itu masih tetap sering muncul di hadapannya, terus mencoba mengajaknya bicara, mengejek usahanya untuk mengabaikan mereka.
“Setiap upayamu menyingkirkanku dari pikiranmu adalah sia-sia belaka. Sebab, aku ini ada. Aku ada, tanpa terbatas ruang dan waktu,” ujar Kek Plato.
“Beginikah caramu mencampakkanku, Sayang?” kata Camila.
“Dengar, Kamerad, misimu belum tuntas. Orang-orang loreng hijau belum kau balas. Jika tak kau lakukan, hantu-hantu korban genosida itu akan terus mengganggumu. Hantu-hantu komunis, Kamerad! Hantuhantu komunis!” kata Bung Che Pott.
Sosok Bung Che Pott, Camila, dan Kek Plato yang tetap muncul meski diabaikannya, membuatnya tetap curiga terhadap orang-orang baru yang datang menghampirinya. Namun, saat itu kebiasaan menyen tuh pipi orang sudah lama ditinggalkannya. Yang ia lakukan untuk memastikan kenyataan orang-orang itu adalah mengikuti saran istrinya.
“Bisakah kau lihat pria yang sedang bersama istriku ini? Apakah dia nyata?” begitulah suatu hari ia meminta bantuan kepada salah seorang mahasiswanya selepas mengampu perkuliahan, ketika dilihatnya istrinya bergandengan tangan dengan seorang pria.
“Ya, dia nyata. Aku bisa melihatnya,” kata mahasiswanya.
“Maaf, aku selalu curiga pada orang baru,” katanya kepada pria itu. “Kalau aku boleh tahu, Anda siapa dan untuk keperluan apa ke sini?”
Pria itu tersenyum, menyodorkan tangannya untuk menjabat tangan lelaki itu. “Saya suaminya,” ucap pria itu, merangkul perempuan di sampingnya.
“Kami menikah seminggu yang lalu. Maaf baru memberi tahumu sekarang,” timpal istrinya.
Seperti apa ekspresi lelaki itu barang kali bisa kita bayangkan bersama. (*)
Abul Muamar lahir di Perbaungan, 6 November 1988. Bergiat bersama komunitas Sahabat Gorga
Leave a Reply