Royhan menghadap ke luar jendela, menatap kepergian Aminah dengan raut kesal. Aminah melangkah terburu-buru, menyusuri jalan perempatan dengan tangan menenteng bungkusan plastik hitam cukup besar. Royhan tahu, wanita yang telah melahirkannya itu akan mengunjungi salah seorang teman mengobrolnya yang dikabarkan jatuh sakit dan tidak bangun-bangun selama dua hari itu.
Sebelum kepergiannya, Aminah sempat beradu mulut dengan Royhan. Royhan sebenarnya tak bermaksud berbuat lancang begitu. Ia hanya ingin mengingatkan ibunya agar tidak terlalu menuruti keinginan tetangga. Namun, Aminah malah tak terima dan mengomel, “Ini urusan orang tua, Nak. Kamu tak perlu ikut campur. Lagi pula ibu tak mau menanggung malu jika tidak sama dengan tetangga.”
Saat adu mulut berlangsung, Aminah sebenarnya baru saja pulang dari warung seberang jalan. Itu terbukti dengan adanya sebungkus gula pasir dan sebungkus kopi yang tergeletak begitu saja di atas meja kamar depan. Royhan yakin bahwa ibunya pasti berutang lagi seperti sebelum-sebelumnya. Dan tentu saja, sebelum itu, ia telah mengadakan janjian dengan para tetangga.
Royhan mendesah mendapati kenyataan itu. Ia lantas mengalihkan pandangan ke luar batas jalan, tepatnya ke arah ladang di lereng perbukitan. Di lahan miring itu, ia melihat seorang lelaki paruh baya bergumul dengan timba seng di bawah terik panas, mengairi tembakau-tembakau miliknya yang masih sejengkal. Dan lelaki yang tidak peduli dengan tubuhnya sendiri itu tak lain adalah Masduki, ayah Royhan.
Royhan masih ingat, sebelum memutuskan bertani tembakau, sebulan yang lalu, Masduki pernah berujar, “Nak, utang keluarga kita sudah menumpuk. Dan ayah ingin bertani tembakau untuk melunasi utang-utang itu. Ayah yakin, harga tembakau tahun ini pasti akan melambung tinggi. Doakan ayah agar sukses!”
Sebenarnya keluarga Royhan bukanlah keluarga tidak punya. Pun dengan para tetangga. Di kampung mereka, Topoar, mata pencaharian sebenarnya tidak sesusah di kota-kota. Mereka bisa memperoleh banyak penghasilan dari berbagai macam pekerjaan yang tersedia di sana, seperti menganyam tikar, menyadap lahang, membuat kerajinan mebel, juga mengisi ladang dengan aneka tanaman yang menguntungkan. Belum lagi jika punya hewan ternak, seperti sapi, kambing, juga ayam.
Namun, ada satu kebiasaan yang membuat warga kampung tetap dalam kekurangan, yaitu tengka. Ya, tengka telah mencekik kehidupan mereka, sampai mereka jatuh miskin, sampai kebutuhan sehari-hari pun kerap tak terpenuhi kecuali berutang di warung-warung.
Sialnya, tengka itu semakin berkembang dari hari ke hari. Yang sedianya hanya berlaku pada resepsi pernikahan, akikah kelahiran, dan istighatsah kematian, kemudian merambat pula kepada hal-hal lain yang sebenarnya tidak penting, seperti acara selamatan pembangunan rumah, selamatan wisuda kelas akhir bagi sang anak, juga acara duka bagi tetangga yang jatuh sakit atau mengalami kecelakaan.
Mula-mula, sebelum tengka terjadi, para tetangga biasanya nongkrong di suatu tempat, entah di gardu atau di emperan rumah. Mereka duduk berbanjar dengan tangan menelisik kutu pada rambut teman yang duduk di hadapannya. Tak jarang sambil bergosip tentang masalah apa saja yang ada di kampung. Dari sanalah kerap terjadi kesepakatan untuk berkunjung ke rumah siapa, dalam rangka apa, dan tentunya tidak datang dengan tangan kosong, melainkan dengan bawaan, entah beras, gula pasir, kopi, atau sembako lain seperti yang Royhan lihat pada kepergian ibunya di pagi menjelang siang itu.
Royhan terkesiap. Daun pintu tiba-tiba diketuk dari luar. Berkali-kali dan semakin keras. Buru-buru ia meninggalkan jendela dan beranjak menuju pintu. Ia pikir ayahnya sudah pulang dari ladang. Namun, ternyata seorang wanita tambun dengan raut wajah yang tak bersahabat.
“Ada ibumu?” tanyanya begitu berhadapan dengan Royhan.
“Maaf, ibu sedang keluar. Kalau boleh tahu, Ibu ini siapa, ya?” Royhan balik bertanya.
“Bilang saja pada ibumu kalau Bu Marni datang ke sini,” ujarnya ketus lalu berbalik dan pergi.
Sebentar Royhan menatap punggung wanita paruh baya itu. Ia yakin, wanita itu pasti mau menagih utang kepada ibunya. Ah, kenapa ibu membuat hidup keluarga ini jadi begitu rumit? Desah Royhan sebelum akhirnya kembali ke kamar.
***
Selama sebulan terakhir, Royhan sebenarnya dihadapkan pada sebuah dilema. Aisyah, kekasihnya, tak berhenti mendesak dirinya agar cepat-cepat mendatangi rumahnya dan melamarnya. Namun, hingga kini ia tak juga memenuhi permintaan kekeluargaan itu. Tampaknya ia masih belum siap. Sebab pikirannya masih dikacaukan oleh masalah-masalah yang terjadi di dalam keluarganya.
Royhan dan Aisyah sudah menjalani hubungan selama kurang lebih tiga tahun. Hubungan mereka bermula saat mereka sama-sama menghabiskan liburan pesantren. Waktu itu, Aisyah hendak mengunjungi temannya yang tinggal di desa lain. Namun, motor yang ia kendarai tiba-tiba mogok di tengah jalan. Ia sempat kebingungan karena mesin motor tak juga menyala. Namun, untungnya Royhan lewat dan mencoba membantunya. Dari sanalah mereka bertukar kontak dan kemudian memilih berkomitmen satu sama lain.
Hubungan mereka terus berlanjut hingga mereka sama-sama boyong dari pesantren. Royhan kembali ke desa asalnya, Karduluk, sementara Aisyah pulang ke Pakamban. Dua desa yang berbeda dan berjauhan. Namun, hubungan mereka tetap baik-baik saja, sampai suatu hari, tepatnya sore itu, Aisyah mengajak Royhan untuk bertemu berdua di Dermaga Aeng Panas. Dermaga yang terletak di desa sebelah Karduluk.
“Aku tahu, ini pasti ada hal penting hingga kamu memintaku ke sini, Aisyah,” ujar Royhan dengan raut penuh tanda tanya. Royhan sepertinya sudah bisa menebak akan ada hal yang tidak diinginkan terjadi.
“Betul, ini menyangkut hubungan kita, Royhan. Maaf, aku tak punya pilihan lain. Aku harus mengakhiri ini,” jawab Aisyah dengan wajah menunduk.
“Apa maksudmu, Aisyah?”
“Orang tuaku terpaksa menjodohkan aku dengan lelaki lain karena kamu tak kunjung memberi kepastian.”
Mendadak Royhan bergeming. Air matanya meleleh seiring kepergian Aisyah yang makin jauh. Ia mengakui memang salah dirinya, tapi apakah penyesalan akan mengembalikan keadaan?
***
Semenjak cintanya kandas, Royhan suka menghabiskan waktunya di jendela, termenung sambil sesekali melihat ibunya keluar-masuk rumah, nongkrong bersama tetangga, dan menggosipkan apa saja yang menurut mereka pantas digosipkan.
Meski perasaannya sedang kacau, selama beberapa hari itu Royhan masih bisa menangkap dengan jelas obrolan beberapa tetangga yang lewat di jalan tak jauh dari rumahnya. Tetangga-tetangga itu menggosipkan salah seorang tetangga yang tidak ikut adat tengka yang mereka pegang teguh selama itu. Kabarnya, si tetangga tidak keluar rumah saat tetangga lain kompak mengunjungi salah seorang tetangga yang baru saja melahirkan. Sebagaimana pelanggar adat pada umumnya, tetangga itu pun mendapatkan sanksi sosial: jadi buah bibir orang sekampung.
Lagi-lagi Royhan hanya bisa mendesah mendapati kenyataan itu. Ia pikir adat tengka di kampungnya sudah melampaui batas kewajaran. Hal itu juga dibenarkan oleh Masduki. Bahkan, lelaki yang telah menghidupinya itu berkali-kali mengingatkan agar Aminah tidak terlalu menuruti adat tengka. Namun, wanita itu selalu menyahut sinis, “Lebih baik berutang daripada dipermalukan, Pak.”
Begitulah, percekcokan rumah tangga itu terus berlangsung, sampai akhirnya, pada suatu hari, Aminah mengalami nasib apes. Ia diserempet mobil pikap di sebuah jalan saat hendak mengunjungi salah seorang tetangga yang mengadakan resepsi pernikahan. Akibatnya, ia tidak bisa ke mana-mana karena kaki kanannya mengalami cedera parah. Ia hanya tergolek lemah di atas ranjang. Meratapi nasibnya sendiri yang tidak bisa lagi ber-tengka kepada siapa pun. Sementara itu, tak ada satu pun tetangga yang mengunjunginya dengan bawaan sebagai mana yang biasa ia lakukan saat ada tetangga yang mengalami nasib nahas seperti dirinya.
“Royhan, kenapa tak pernah ada tetangga yang membesuk ibu?” tanya Aminah heran pada suatu hari.
“Mungkin tetangga lagi sibuk, Bu.”
“Ibu tak percaya itu. Ini pasti ada yang salah.”
“Kalau begitu, berarti tetangga sudah tidak peduli lagi kepada Ibu.”
“Semoga itu hanya pikiranmu.”
“Sudahlah, Bu! Berhenti memikirkan tengka! Jelas-jelas tetangga memang tidak peduli kepada Ibu.”
Aminah mendadak bergeming. Wajahnya berubah cemas, seolah tak rela para tetangga melupakan dirinya begitu saja. Sementara, Royhan cepat-cepat keluar kamar. Meneteskan air mata. Merasa bersalah karena telah berani berbohong kepada ibunya. Sebab, dialah yang diam-diam mencegat para tetangga agar tidak sampai mengunjungi ibunya yang keras kepala. ■
Kota Ukir, 2020
Catatan:
Tengka: adat kampung di Madura, seorang tetangga mengunjungi tetangga lain yang memiliki hajat atau yang berduka dengan menenteng bawaan berupa beras, gula, kopi, ataupun uang.
Alim Musthafa, lahir dan tinggal di Sumenep, Madura. Alumnus PBA di Institut Ilmu Keislaman Annuqayah Guluk-Guluk. Selain mengajar, ia menulis fiksi dan menerjemahkan karya-karya berbahasa Arab. Karya-karyanya telah tersiar di sejumlah media nasional dan lokal.
Leave a Reply