Cerpen Ihan Sunrise (Serambi Indonesia, 01 Desember 2019)

Arini Datang Sendiri ilustrasi Istimewa
HINGGA namanya dipanggil oleh MC, Arini belum melihat tanda-tanda kemunculan wajah kekasihnya di antara deretan kursi pengunjung. Sebagai undangan VVIP, Arini duduk di deretan kursi paling depan bersama tamu undangan khusus lainnya. Namanya masuk dalam daftar salah satu penerima anugerah kebudayaan yang dihelat oleh pemerintah.
Ia sudah datang sejak tiga puluh menit sebelum acara dimulai. Untuk acara sepenting ini, Arini tak ingin melewatkan sedetik pun rangkaian acara. Walaupun saat tadi ia tiba di gedung, baru ada beberapa saja tamu yang hadir. Baginya itu tidak masalah. Sejak kecil orang tua Arini selalu mengajarkannya agar selalu tepat waktu. Tak boleh terlambat bangun tidur. Tak boleh terlambat sarapan. Tak boleh terlambat berangkat ke sekolah. Sebenarnya itu terjadi karena kedua orang tuanya juga sangat sibuk. Semuanya serba terjadwal.
Beberapa hari sebelumnya, sesaat setelah menerima email pemberitahuan dari panitia, Arini langsung memberitahukan kekasihnya. Hatinya melonjak kegirangan. Tak menyangka kerja kerasnya mempromosikan kebudayaan selama ini berbuah manis.
“Kamu datang ya. Temani aku,” ujarnya penuh harap pada sang kekasih.
“Pasti. Pasti aku akan datang. Aku akan selalu mendukungmu. Kamu hebat, Arini. Perempuanku.”
Jawaban itu membuat hati Arini berbunga-bunga. Ia merasa menjadi perempuan paling berbahagia di dunia. Dukungan-dukungan kecil seperti itulah yang membuatnya merasa mampu melampaui banyak hal dibandingkan teman-teman sebayanya.
“Acaranya pada Sabtu malam. Pukul 20.00 WIB.” Arini seperti mengultimatum.
“Iya, nanti kita pergi sama-sama.”
“Janji?”
Kekasihnya tertawa. “Iya, aku janji.”
Namun, sembilan jam sebelum acara, Arini mendapat pesan pendek dari kekasihnya. “Aku tidak datang saja ya.”
Hati Arini mendadak kempis. Ia ingin bertanya mengapa. Tetapi kalimat itu sebuah pernyataan. Bukankah setiap orang berhak menentukan apa yang ingin ia lakukan untuk dirinya? Arini tidak merasa berhak menuntut kekasihnya terlalu banyak. Ia juga tidak ingin merengek-rengek atau memohon-mohon, bahwa kehadiran kekasihnya di acara itu begitu penting. Kadang-kadang Arini juga sangat keras kepala. Barangkali bila saja ia mau memintanya sekali lagi, kekasihnya akan mengubah keputusannya.
“Terserah kamu.” Arini membalas pesan itu singkat saja.
Meski begitu Arini tetap berharap kekasihnya akan datang. Ia bahkan sempat berpikir bila kekasihnya sedang ingin melakukan prank padanya. Sampai di sini ia merasa seperti orang yang kebanyakan menonton acara reality show di televisi.
“Arini Budiman!”
Lengking suara MC di atas panggung bergema. Arini segera bangkit dari duduknya, bersiap-siap naik ke atas panggung. Sebelum beranjak dari kursi, ia sempat membuang pandang ke seluruh ruangan. Matanya menjalar cepat mencari-cari sosok kekasihnya. Seorang pria dengan potongan rambut cepak dan garis-garis wajah yang tegas. Namun wajah itu sama sekali tidak ditemukannya. Arini naik ke atas panggung dengan hati yang kurang lengkap. Hatinya teriris oleh rasa kecewa.
***
Seingat Arini ini bukan pertama kalinya ia datang sendiri ke acara-acara penting seperti itu. Ia sudah terbiasa sejak masih duduk di bangku sekolah TK. Ibunya yang seorang pengacara lebih banyak mengurus para klien dibandingkan dirinya. Saban pagi ibunya selalu pergi dalam keadaan tergesa-gesa. Kadang-kadang tak sempat mencium pipinya yang montok dan kemerahan. Bekal sekolahnya selalu disiapkan oleh asisten rumah tangga yang merangkap mengantarkan Arini ke sekolah.
Ayahnya seorang pejabat teras di salah satu instansi pemerintahan provinsi. Bisa dipastikan sibuknya seperti apa. Hampir setiap malam pulang larut. Tak pernah sempat menemani Arini menggambar atau mewarnai. Arini mengenal huruf A, B, dan C dari Kak Jani, sang asisten rumah tangga yang sangat telaten mengurus dirinya. Kak Jani juga yang mengajarkan Arini mengenal huruf hijaiah dan bacaan salat.
Setiap sore di akhir pekan bisa dipastikan hampir selalu Kak Jani yang membawa Arini jalan-jalan ke taman kota. Kadang mereka sekadar berkeliling untuk berwisata kuliner. Ayah dan ibunya sudah terlampau lelah. Akhir pekan adalah waktu mereka untuk beristirahat, menikmati sofa atau kasur yang empuk di rumah. Itu pun kalau tidak ada tugas atau perjalanan dinas ke luar kota.
Saking sibuknya, ayah dan ibunya tak bisa menemani Arini diwisuda TK. Hari itu ibunya ada jadwal sidang di pengadilan. Sementara ayahnya harus menemani Pak Gubernur lawatan ke luar daerah. Arini yang sudah cantik dengan pakaian adat cukup puas hanya ditemani Kak Jani. Teman-teman dan gurunya bertanya di mana orang tuanya, tapi Arini cuek saja. Saat itu pikiran kanak-kanak Arini belum berkelana terlalu jauh.
“Ini cuma wisuda TK, Arini,” ujar ibunya saat itu. “Mama nggak bisa hadir pun tidak masalah, kan ada Kak Jani. Kecuali kalau kamu diwisuda sarjana nanti, pasti Mama datang,” bujuk ibunya sambil merapikan anak rambut Arini.
Arini bukan tipikal anak pemberontak. Ia menurut saja pada apa yang dikatakan ibunya. Ia riang-riang saja hari itu walau tidak ditemani ayah dan ibu sebagaimana teman-temannya.
Lama-lama Arini merasakan seperti ada yang ganjil dengan hidupnya. Seiring dengan bertambahnya usia dan pertumbuhannya, semakin banyak hal-hal yang bisa ia kerjakan sendiri. Seolah-olah semakin menghadirkan jarak antara ia dan orang tuanya. Ia terbiasa mengambil rapor sendiri saat selesai ujian semester. Terbiasa pergi ke sekolah sendiri naik kendaraan umum. Arini tidak mau lagi diantar oleh Kak Jani. Pergi dan pulang sekolah bersama teman-teman naik kendaraan umum lebih mengasyikkan baginya. Saat tamat SD dan mendaftar ke SLTP, Arini juga melakukannya sendiri.
Hal yang sama terus berulang hingga akhirnya Arini mulai duduk di bangku kuliah. Ia semakin mandiri. Di semester lima perkuliahan, Arini terpilih sebagai mahasiswa berprestasi di kampusnya. Pada malam penobatan kedua orang tuanya juga tidak bisa hadir. Padahal ada undangan khusus untuk mereka.
“Mama capek, Arini. Tadi seharian mendampingi klien yang menjalani sidang. Tidak apa-apa kan kalau Mama tidak datang?” ucap mamanya kala itu.
“Tapi ini momen istimewa, Mama. Dosen wali Arini juga minta Mama dan Papa datang,” Arini berusaha membujuk.
“Rin, please...”
“Anak Ayah sudah besar. Makin cantik dan mandiri. Ayah bangga sama kamu.” Ucapan ayahnya membuat hati Arini sedikit terhibur.
Tetapi itu bukan berarti ayahnya bisa menyaksikan penobatannya sebagai mahasiswa berprestasi tingkat universitas. Itu diucapkan sang ayah yang tergesa-gesa memakai dasi sebelum mengikuti rapat pembahasan anggaran di gedung DPR.
Arini merespons datar. Malam itu ia melewati rangkaian acara penobatan tanpa disaksikan oleh orang-orang terdekatnya.
***
Dari atas panggung mata Arini tampak liar. Matanya bak lampu tembak yang menyorot setiap sudut ruangan. Tidak juga terlihat ada wajah kekasihnya di sana. Kekasihnya benar-benar tidak hadir. Ia berusaha membesarkan hatinya sendiri. Menghalau semua rasa resah yang terasa sangat mengganggu. Mengenyahkan semua pikiran buruk yang menyela di rongga-rongga pikirannya.
Usai menerima piala dan sertifikat, Arini segera turun dengan emosi yang semakin teraduk-aduk. Ia berusaha sekuat hati agar air matanya tidak tumpah. Arini menggigit bibirnya yang bergetar. Ia tersenyum getir pada tamu-tamu lain yang duduk berdampingan dengannya. Arini menguatkan diri sendiri. Tak boleh bersedih. Tak boleh menangis. Bukankah ia sudah terbiasa datang sendiri ke acara-acara penting di hidupnya?
“Kepada siapa ingin kutunjukkan piala ini? Dengan siapa aku berbagi kebahagiaan ini?” batinnya berbisik.
Ya. Pertanyaan-pertanyaan seperti itu kerap kali muncul di benak Arini. Arini juga ingin seperti yang lainnya. Ada yang menyambut dengan uluran tangan dan pelukan hangat begitu turun panggung. Ada yang mengusap-ngusap pundaknya atau sekadar mengacungkan jempol dari kejauhan. Arini ingin ada yang mendukungnya secara langsung. Apakah harapan itu begitu berlebihan untuknya?
Arini mengeluarkan ponsel dari sakunya. Ia memeriksa beberapa pesan yang masuk dari teman-temannya. Arini masih berharap ada pesan dari kekasihnya, sepotong ucapan selamat, memberitahukan keberadaannya di sini, atau apa pun. Nihil. Namun saat ia membuka grup komunitas, Arini melihat foto kekasihnya bersama teman-teman mereka di lokasi acara. Kekasihnya ada di tempat yang sama. Air mata yang sudah ditahan-tahan akhirnya tumpah juga.[]
Ihan Sunrise, anggota Forum Aceh Menulis dan anggota Gam Inong Bloger.
Leave a Reply