Cerpen Win Han (Media Indonesia, 08 Desember 2019)
KITA sudah tahu, lambat laun ini akan terjadi. Namun, tidak di sini. Bukan di tempat ini. Aku tidak mengatakan kafe temaram dengan arsitektur kekinian ini buruk. Tempat ini jauh lebih baik daripada tempat makan dan bersantai mana pun yang pernah kutahu. Aku juga tidak sedang bilang lagu-lagu band indie asal Yogyakarta, Bandung, dan Jakarta yang tengah mengalun merusak suasana. Aku menyukai lagu-lagu mereka sebagaimana aku menyukai hal-hal lain yang berusaha melawan betapa menjenuhkannya menjadi umum.
Aku tidak membenci apa-apa. Aku tidak membenci siapa-siapa. Hanya, kau tahu, kan, di tempat ini, tiga tahun tujuh bulan silam, untuk pertama kalinya aku menggenggam tanganmu dan berpikir bahwa ada kebahagiaan yang akan abadi. Namun, aku salah. Dan kau benar, aku selalu berkubang dalam kesalahan.
“Aku akan mengembalikan semua yang telah kamu berikan untukku.”
“Tidak perlu begitu. Aku memberimu, bukan meminjamkannya padamu.”
“Kamu bisa jual barang-barang itu. Kupikir suatu saat kamu akan butuh uang dan benda-benda itu akan lebih berarti ketimbang menjadi penghuni gudang rumahku.”
“Tidak seharusnya kamu bicara seperti itu.”
“Kamu selalu bilang begitu. Tidak seharusnya begini, tidak seharusnya begitu. Selalu saja.”
“Ya.”
Baca juga: Kau Tak Dilarang Bersedih – Cerpen Win Han (Pikiran Rakyat, 08 September 2019)
Lagu-lagu berganti. Kini Teman Sejati berputar. Aku merasa Arina Ephipania sedang menyanyikan lagu itu untukku. Itu lagu yang bagus. Namun, pada saat seperti ini, lagu itu tak ubahnya percikan cuka pada luka yang basah.
Kafe ini sepi dan itu membuat ingatanku bergerak lebih cepat. Melesat ke lorong-lorong masa lalu. Tidakkah kau ingat, lagu band asal Bandung itu adalah lagu yang sama yang dulu terputar sewaktu pada malam berhujan kita datang ke sini tanpa telat dan saling berbagi senyum termanis.
Mungkin kau telah lupa, sebagaimana kau melupakan banyak hal indah setelah kau yakin terlalu banyak jurang di antara kita. Kurasa dugaanku benar. Kau tidak tampak sedang mengenang apa pun. Biji matamu setenang burung kenari. Tanganmu bergerak luwes, memain-mainkan sedotan dan gelas dengan kubik-kubik es kecil mencair di dalamnya.
Jendela di samping kiri kita mengantarkan wujud malam di kejauhan. Bulan terlihat seperti jeruk yang tumbuh sendirian di angkasa. Kendaraan-kendaraan melintas dan lampu-lampunya serupa tahanan berisi kunang-kunang dengan cahaya paling terang. Kau mengetukkan jari dan mulutmu mencebik, seperti sedang menggumamkan lagu favorit.
Baca juga: Kuda Sembrani – Cerpen Eka Maryono (Media Indonesia, 17 November 2019)
“Aku harap kamu berubah pikiran. Maksudku, seharusnya tidak berakhir seperti ini.”
“Lagi-lagi kamu mengatakan seharusnya dan seharusnya.”
“Memang itulah yang harus kukatakan.”
“Aku tidak akan berubah pikiran.”
“Aku harap…”
“Sudah kubilang, sebaiknya kau berhenti berharap sebagaimana aku berhenti mengharapkan apa-apa lagi darimu.”
Sepasang wajah kita bertatapan dalam satu garis lurus. Matamu sangat cantik. Selalu cantik. Tahi lalat di ujung dagu kirimu menandai sebuah kemolekan yang khas. Kau pernah berencana mengoperasi tahi lalat itu seperti artis-artis Korea. Kau bilang kau ingin menjadi lebih cantik dan menyingkirkan tahi lalat itu ialah salah satu caranya. Aku tidak setuju gagasanmu karena kupikir kehadiran secuil daging hitam itu sama sekali tidak mengurangi kecantikanmu, justru memberikan semacam keistimewaan. Bahwa kecantikanmu itu hanya ada pada dirimu. Tidak pada yang lain.
Baca juga: Dia yang telah Kubunuh – Cerpen Radhar Panca Dahana (Media Indonesia, 27 Oktober 2019)
Kau terus mengatakan soal operasi dan sampai sekarang tahi lalat itu masih ada di dagumu. Pada titik itu, aku kadang ingin menjadi seperti tahi lalatmu.
“Aku tidak punya banyak waktu,” kau mengecek jam di ponselmu. “Aku sudah mengatakan apa yang perlu kukatakan. Sekarang giliranmu. Jangan buang-buang waktu.”
Kupandangi pergelangan tanganmu, jari-jari lentikmu, leher jenjangmu. Bersih dan lengang. Tak ada lagi gelang, cincin, dan kalung itu. Aku tidak tahu ke mana benda-benda itu pergi. Aku hanya berharap mereka tidak bertumpuk di gudang rumahmu seperti barang-barang pecah belah yang rusak dan pakaian-pakaian bekas.
“Kenapa kamu malah bengong? Aku serius. Aku tidak punya banyak waktu. Aku ada janji dengan temanku.”
Kupandangi biru laut pakaianmu, bagian-bagian tubuhmu, terutama matamu lebih lama, sambil membayangkan kemungkinan mataku akan menjadi sebuah ruangan tanpa pintu yang menyimpanmu dan tak membiarkanmu keluar darinya.
Baca juga: Akar Bambu – Cerpen Gusty Ayu Puspagathy (Media Indonesia, 13 Oktober 2019)
Tiba-tiba kau bangkit dan menyambar tas kulit hitam berkilaumu dari atas meja.
“Tunggu dulu.”
“Dua menit.”
“Tolonglah. Masih banyak hal yang ingin dan harus kubicarakan denganmu.”
“Satu menit 57 detik.”
“Aku masih berharap. Aku mencintaimu.”
Kau duduk dan meletakkan kembali tasmu. Tanpa bicara apa-apa. Berkali-kali kau mengecek jam dan mengembus napas jengkel. Suhu terasa menukik tajam. Aku masih ingin mengatakan banyak hal, tapi tubuhku beku.
Baca juga: Bekal Makan Siang – Cerpen Muhajir Arrosyid (Media Indonesia, 29 September 2019)
“Tolong cepat katakan apa yang katamu masih ingin dan harus kamu bicarakan.”
Keping es dalam gelas di atas meja sudah menjadi air. Begitu pula kebekuanku. Kata-katamu seperti bola api. Panas dan mencairkanku.
“Aku minta maaf atas segalanya. Aku berjanji tidak akan mengulangi kesalahan-kesalahanku lagi. Aku masih sangat berharap padamu. Seharusnya kita masih baik-baik saja sebagaimana yang sudah-sudah.”
“Aku memaafkanmu,” ucapmu, pendek dan terlihat sinis. “Dan aku harus segera beranjak dari sini. Temanku sudah menunggu terlalu lama.”
Kau berdiri. Kutangkap lenganmu ketika kau hendak melangkah pergi.
Baca juga: Penggali Sumur yang Ingin Pensiun – Cerpen Selo Lamatapo (Media Indonesia, 15 September 2019)
“Apa-apaan sih?” mukamu menegang. Matamu membelalak. Mengingatkanku pada mata rusa yang pernah kita lihat di kebun binatang. Kau sangat menyukai rusa, kau punya pajangan tanduk rusa peninggalan kakekmu di rumah, dan bahkan wallpaper ponselmu yang sedari tadi kau lihat-lihat adalah gambar sekawanan rusa di lahan berumput yang lapang.
Teman Sejati berputar untuk kedua kali ketika aku melepaskan tanganmu. Kau berjalan dalam langkah secepat rusa ke pintu keluar, berbelok tanpa sekalipun menoleh. Sepotong lirik menyengat telingaku: Sudahlah, relakan saja. Akan datang waktunya untuk yang baru.
Aku duduk, sendirian. Bulan masih ada di sana, kuning dan sendirian. Kafe masih sepi. Sangat sepi. Hanya ada tiga orang. Aku dan dua orang yang kutaksir sebagai sepasang kekasih berhadapan di satu meja dekat pintu. Mereka tertawa-tawa. Tampak sangat bahagia. Pelayan mengantarkan pesanan ke meja itu dan sepasang kekasih itu mengangguk seraya mengucapkan terima kasih–kurasa begitu.
Baca juga: Perempuan Misterius dan Lelaki yang Kehilangan Dirinya – Cerpen Jantan Putra Bangsa (Media Indonesia, 24 Agustus 2019)
Lagu dari pelantam suara berhenti. Pada saat yang sama, kepalaku seperti layar kapal yang membentangkan banyak hal. Membentangkan banyak ingatan dan pikiran. Tiga tahun tujuh bulan adalah waktu yang panjang dan aku selalu berpikir seharusnya kita masih bisa berlayar di atas kapal yang sama lebih lama dari itu. Kita akan kembali mengunjungi kebun binatang di akhir pekan, toko buku-toko buku di awal bulan, kota-kota luar tempat kita dapat menyadari dunia lebih luas dan beragam dari yang kita kira. Kita juga akan kembali saling melempar cerita, menjadikan teman-temanmu dan teman-temanku sebagai bahan olok-olokan dan lelucon, membuang topik-topik politik dan konflik dari percakapan, saling mengucapkan selamat dan memberikan hadiah paling indah pada hari ulang tahun, bergandengan tangan di sepanjang trotoar dan lorong-lorong mal, tertawa bersama.
Aku tidak tahu telah berapa lama melamun. Kupandangi sekeliling kafe. Tidak ada siapa-siapa. Tinggal aku sendiri. Meja di dekat pintu sudah kosong dan sepasang kekasih itu telah pergi entah sejak kapan. Pelayan sedang membersihkan meja dan beres-beres. Sudah pukul sembilan lewat dua puluh. Ini bukan akhir pekan dan kafe sebentar lagi tutup.
Baca juga: Dungu – Cerpen Ikhsan Hasbi (Media Indonesia, 04 Agustus 2019)
Aku bangkit dari kursi dan tiba-tiba aku mengingat secuplik kata-katamu. Siapa temanmu itu? Sahabat lamamu, kawan sekantormu, kenalanmu di media sosial, atau lelaki itu–lelaki yang kau sebut sebagai teman kuliahmu yang belakangan menjadi tempat curhatmu tiap kali kita ada masalah dan pertengkaran-pertengkaran yang tak seharusnya terjadi itu ada?
Aku sudah berada di luar kafe ketika awan-awan menyembunyikan bulan dari pandanganku. Aku berjalan melewati pertokoan tutup dan sejumlah kafe yang masih buka. Dari pintu satu kafe di dekat persimpangan jalan, seorang lelaki dan perempuan muncul. Si perempuan mengenakan pakaian biru laut dan menenteng sebuah tas hitam. Tiba-tiba aku teringat seekor rusa berlari-lari yang pernah kita lihat di kebun binatang. Cepat. Sangat cepat. (M-2)
Cibiru, 22 Februari 2019
Win Han, tinggal di Bandung. Menulis cerpen dan puisi.
Leave a Reply