Cerpen Zahra Nurul Liza (Serambi Indonesia, 17 November 2019)
Beulaga ilustrasi Istimewa
AKU tertawa terpingkal-pingkal mendengar ada orang tua yang memaki anaknya sendiri dengan kata beulaga. Mereka kerap memaki ketika sang anak enggan pergi ke sekolah, enggan pergi mengaji, dan yang paling parah ketika anak-anak mereka yang enggan beribadah. Sekali lagi aku tertawa terbahak-bahak sampai rasanya rahang lepas dari tempat semula. “Aneuk beulaga!” begitulah kurang lebih kata yang acap muncrat dari mulut-mulut para orang tua untuk anaknya.
Beulaga itu adalah kata-kata makian yang paling hina untuk mengatai seseorang yang sama sekali tidak berguna. Hari ini aku beulaga yang jatuh dari sumbu kemudian diberikan izin untuk bercerita. Tapi sebelum bercerita, aku sudah lebih dahulu dinasihati supaya tidak bercerita macam-macam. Sedikit saja aku salah bicara maka api akan dimatikan dan aku akan membeku dalam kegelapan. Maka, aku akan bercerita dengan penuh kewarasan sehingga apa pun yang aku ucap benar-benar diikuti kesadaran penuh. Nantinya apabila terdapat bagian-bagian yang semestinya tidak perlu aku ceritakan kepada kalian, tapi kadang gatal juga aku untuk diceritakan, maka aku akan tetap bererita tapi dengan mengecilkan suara. Aku harap kalian mampu menjaga rahasia ini demi kemaslahatan bersama.
Jadi malam itu, bukan malam itu, tapi masa itu, aku masih melekat kuat dan erat pada lampu teplok. Apinya melambai-lambai, bergoyang dengan syahdu (melenggok-lenggokkan badannya). Seiring dengan ayunan api, maka terciptalah kami satu per satu. Aku yang sudah tercipta lebih dulu tetap menempel kuat pada sumbu jangan sampai terjatuh sebelum sempat menikmati cerita apa-apa.
Malam itu suara tangis bayi memekikkan telinga, melengking sejadi-jadinya. Bayi mungil yang baru saja keluar dari rahim ibu untuk kemudian menikmati dunia. Bayi itu matanya tertutup, dicoba buka sesekali, ditatapnya aku. Aku jadi gembira karena tatapan itu. Aku yang malu-malu hampir saja lepas dari sumbu, namun tidak aku biarkan. Langsung saja kurekatkan diriku dengan erat supaya tidak jatuh menimpa lantai kemudian diinjak lalu lenyap jadi abu. Aku tidak mau. Aku tidak mau jadi abu.
Bayi itu masih menatapku, terbelalak seperti tak berkedip. Dia belum pernah melihatku, itu pasti. Tapi aku sudah terbiasa melihat bayi-bayi munyil seperti itu. Sudah biasa, jad tidak ada yang istimewa lagi. Tapi senyuman bayi itu berbeda dari bayi-bayi yang lain. Kali ini senyumannya benar-benar memesona dan penuh makna. Seakan-akan dia berbicara denganku tentang rasa bahagia sebab telah diberi kesempatan melihat dunia. Aha hampir terbuai aku. Kuperhatikan lekat-lekat bayi itu, dengan tubuhku yang masih menempel kuat pada sumbu, bayi itu tersenyum ke arahku. Mengejek dia. Lalu tertawa terbahak-terbahak sambil memicingkan mata. Wah! Ini gawat! Ini langka!
***
Aku termangu dalam kesunyian. Menyaksikan hal yang terus-menerus ternyata juga membosankan. Rasanya ingin cepat jatuh saja ke lantai lalu diinjak kemudian jadi abu. Sialnya aku tidak juga kunjung jatuh. Meskipun beberapa kali bayi yang kini sudah dewasa itu sempat menyentil ujung sumbu. Namun, takdirku untuk tetap menyaksikan segalanya masih panjang ternyata.
Suara tapak kaki terdengar, semakin mendekat. Sepatu gagah itu menapak lantai tanpa ragu. Suara pintu dibuka. Aku melirik sedikit memastikan siapa gerangan. Terlihatlah dua orang masuk bersamaan. Bayi yang kini sudah dewasa itu mengenakan pakaian lengkap menggunakan jas dan sepatu mengkilap. Satu orang lagi temannya, seorang laki-laki yang usianya kuperkirakan berkepala lima. Bayi yang kini sudah dewasa, untuk ke depannya akan kupanggil dengan sebutan Tuan, jalan dengan tangguh dan penuh percaya diri. Sedangkan laki-laki yang usianya berkepala lima jalan dengan ragu dan penuh ketakutan. “Jangan takut!” Tuan mencoba meyakinkan tamunya. “Apa masalah saya bisa selesai?” tamu itu makin tampak ragunya. “Kalau anda sudah memasuki ruangan ini maka anda harus yakin”. Jujur, aku sudah hafal betul dengan tingkah sok sopan seperti itu. Mata tuan tiba-tiba menatapku dengan tajam. Dengarkah dia dengan apa yang aku katakan?
Dengan tatapan tajamnya tuan melangkah ke arahku. Benarkah tuan mendengar ucapanku? Apa aku akan dibinasakan? Dengan segala bentuk kemarahan itu apa aku akan dilepaskan dari sumbu kemudian dihancurkan menjadi abu? Tapi bukankah aku sangat mengharapkan itu. Aku sangat mengharapkan tuan segera membinasakanku. Tapi, nyatanya tuan mengabaikanku begitu saja. Dia mengambil sebuah kotak kecil yang berukiran cantik seperti kotak peninggalan leluhur entah sejak abad berapa. Aku diabaikannya. Aku tidak jadi dibinasakan. Padahal aku sangat ingin binasa. Pernah beberapa kali aku mencoba melepaskan diri dari sumbu, namun tidak pernah berhasil. Entah kenapa sejak lahirnya tuan dan dia tersenyum ke arahku, maka itu menjadi kutukan. Aku tidak pernah bisa lepas lagi meskipun aku sudah sangat ingin. Di ruangan ini aku dipaksa menyaksikan semuanya dari hal-hal yang ingin kusaksikan sampai ke hal-hal yang tidak ingin kusaksikan. Berada di kamar pribadi yang sekaligus menjadi ruang kerja merupakan dilema. Sungguh, aku tidak ingin menyaksikan apa-apa lagi.
“Diam! Jangan terlalu banyak ngeluh dan cerita. Aku bisa menerawang semua yang sudah anda alami. Terus-terusan mengeluh membuat saya tidak bisa konsentrasi”
Tuan membentak tamunya! Ini bisa dikatakan hal yang jarang terjadi dan hal yang tidak pernah terjadi jika tamunya adalah perempuan. Maka dapat kupastikan ini adalah permasalahan serius. Lihatlah keseriusan tuan dari cara dia membuka kotak berukiran cantik itu. Sangat perlahan dan hati-hati. Ketika tutup kotaknya terbuka sempurna, tuan mengeluarkan sebuah batu bewarna hijau tua dan seikat batu kecil berbentuk bulat yang berjumlah ganjil namun tidak mencapai 50 butir. Kedua benda itu diletakkannya di atas meja. Tuan membaca doa, setidaknya tuan selalu menyebutnya doa. Tuan membaca kalimat-kalimat entah dalam bahasa apa sambil terus menatap wajah tamu itu. Sesekali juga menatap ke arahku. Jangan-jangan tuan tahu kalau selama ini aku melihat semua yang dia lakukan di ruangan ini? Seandainya itu terjadi maka pasti aku akan cepat binasa. Namun nyatanya jauh panggang dari api.
“Tolong anda bayangkan wajah yang ingin anda buat tenang?” pinta Tuan kepada tamunya.
“Sudah”
“Baik. Sudah saya dapatkan. Ambil rambutnya satu helai kemudian bakar sampai menjadi abu”
“Siap, Tuan. Buatkan dia mati dengan sangat menderita”
“Kita ikat paru-parunyanya sampai kemudian dia tidak bisa bernapas”
Itu percakapan yang selalu aku dengar. Siksaannya begitu mengerikan. Mencekik anak manusia dengan berbagai cara. Nyawa dianggap seperti kantong plastik yang mudah berterbangan. Dengan rasa puas, tamu itu beranjak pergi tanpa tuan mengantarnya.
“Aneuk beulaga! Ini yang kau lakukan selama ini? Siapa yang kau sembah? Siapa yang mengizinkan kau untuk menerima ilmu haram itu? Kau lihat teplok itu! Dia hanya mampu menyenter kekurangan orang tanpa pernah melihat kerak kotoran di tubuh sendiri. Dan kerak kotoran itu adalah beulaga. Kau sama hinanya seperti beulaga itu. Kotoran dari orang-orang kotor!”
Tuan kembali mengingat kata-kata ibunya saat itu. Kata-kata seorang ibu bisa jadi berupa doa yang langsung disambut Tuhan tanpa tapi. Tuan menggebrak meja. Aku menggigil bila berhadapan dengan keadaan seperti ini. Meskipun peristiwa ini terus berulang setiap ada tamu yang pulang. Aku beulaga, rasanya ingin binasa saja.
“Siapa beulaga! Coba jawab siapa beulaga. Dari tadi suaranya terus saja terngiang-ngiang di telinga!”
Tuan mendengar suaraku?
“Aku adalah beulaga. Kotoran dari orang-orang kotor! Aku sangat suka dengan penderitaan. Maka aku akan selalu membuat orang menderita saat menjelang kematiannya. Melihat mereka merenggang nyawa dengan perlahan-lahan nikmatnya melebihi nikmat apa pun yang ada di dunia ini.”
Aku adalah beulaga, tapi tidak ingin menyiksa orang. Aku hanya ingin melihat orang-orang bahagia sebab dapat penerangan dalam kegelapan. Meskipun aku bukanlah penerangnya. Meskipun aku hanyalah kotoran bekas penerangnya. Itulah yang membedakan kita tuan.
“Aku memang anak beulaga yang tidak mau mengaji dan sekolah, juga tidak mau menyembah Tuhan yang kau sembah. Aku adalah beulaga itu, Ibu”
Tuan telah menghancurkanku. Bukan hanya aku, tapi lengkap dengan lampu teplok dan sumbunya berhamburan di lantai. Aku masih sedikit lengket pada sumbu. Aku masih dapat melihat semuanya meskipun samar. Dapat kulihat tuan saat masih bayi dan memberikan senyuman penuh cinta. Kini, dapat juga kulihat tubuh tuan yang kaku, membusuk, tapi tidak mati-mati. Pasti tuan sangat tersiksa. Sama seperti aku yang dulu sangat ingin segera binasa. Tuan, sebagai beulaga, jalan hidup sudah kita pilih bersama.
Banda Aceh, November 2019
Zahra Nurul Liza, guru di MTsN 2 Aceh Besar.
Leave a Reply