Cerpen Fahrul Rozi (Radar Banyuwangi, 24 November 2019)

Kiai Jagad dan Enam Belas Pencuri ilustrasi Radar Banyuwangi
Sudah lewat jam satu siang, jumatan di masjid Al-Rahim belum usai. Jamaah duduk terpaku di sajadah, corong masjid membeku, sandal-sandal membisu. Seorang Ibu lewat mengintip dari celah pagar yang terbuka. Ibu menggeleng-geleng kepala. Ia menepuk-nepuk bayi di gendongannya, lalu meninggalkan masjid. Satu-empat anak kambing berlarian di depan masjid. Mengembik – meloncat masuk ke pagar kecil di samping masjid, menendang sandal-sandal yang berjejer. Mengembik lagi. Satu sandal dikait kambing, diseret keluar masjid.
***
Seorang lelaki kurus dengan rambut tipis berlari keluar kampung, membelah kebun sawit, melompat parit, menyibak padang rumput, lalu berujung pada hutan belantara. Burung-burung beterbangan dan hewan melata bergerak pergi karena kehadiran sesosok laki-laki kurus. Kersak-kersik dan salakan anjing hutan menggema di kupingnya, desis ular dan seruan kera memanggil kawannya. Dia sadar, kedatangannya kali ini menjadi sorotan banyak hewan. Dia sudah lama tidak pergi ke hutan setelah beberapa tahun yang lalu menjarah harta koruptor yang berpakansi ke Singkawang. Mungkin uang yang dia simpan sudah habis diambil teman-temannya yang ikut andil dalam operasi itu. Dia tidak pernah mengambil secuil duit itu untuk dirinya atau keluarganya, dia hanya mengambil untuk diberikan pada warga yang tidak mampu atau terkena musibah.
Hutan itu banyak berubah. Beberapa pohon botak, beberapa tidak, daun kering bergugurang memenuhi tanah kerontang. Dia berjalan pelan. Hewan-hewan masih mengawasinya dengan tajam. Rumah kecil persembunyian kelompoknya terbenam daun-daun kering. Kemarau merontokkan segala daun di pohon. Dia hampir saja tidak bisa membuka pintu karena terhalang berjibu daun dan ranting-ranting. Dia berbalik dan mencari daun jendela yang bisa dibuka. Dia sudah mengelilingi rumah itu. Namun, semua jendela alot. Dia berpikir sejenak. Temannya tidak mungkin ke sini bila tidak ada rapat. Orang terakhir ke sini, ya dirinya. Karena rumah itu juga sebagai penyimpanan uang dan berkas rahasia dan hanya dia yang memilik kuncinya.
Dia berdiri dan mengelilingi sekali lagi. tulang-belulang ditemukan di bawah rimbun dedaunan. Seonggok belulang hewan. Entah. Tapi dia tidak tertarik dengan itu. Dia lebih ingin mencari celah untuk masuk ke dalam rumah. Memecahkan kaca atau merusak satu bagian? Tidak mungkin. Itu sama halnya bunuh diri. Dia masih berpikir untuk bisa masuk sambil mengelilingi kesekian kali. Sementara pikirannya melayang; pada seorang laki-laki yang dia ajak bekerjasama.
Mula-mula dia nyerah. Dia duduk di depan pintu sambil melamun, bagaimana kalau warga tahu bahwa aku adalah pencuri, terus kalau istri dan anakku tahu gimana? Apa mereka akan meninggalkanku? Dia menepuk kedua pipinya, bisikan terdengar, jangan khawatir, tidak mungkin ada yang tahu kalau kamu adalah pencuri, mereka lebih percaya kamu itu kiai.
Dan benar, dia adalah kiai kampung yang dihormati. Setiap kali ada hajatan, tahlilan, pengajian, dia pasti diundang dan disungkemi uang. Oh, ya dia juga tiap jumat khutbah di masjid Ar-Rohim. Hampir setiap hari dia tidak di rumah seolah undangan tidak pernah berhenti jumpa padanya. Di sela kesibukan itu pula dia berperan sebagai pencuri, penjahat bagi para menteri. Dia tidak mencuri dengan mengendap-ngendap masuk ke dalam rumah, tidak! Dia tidak memakai baju hitam dan topeng, tidak! Dia tidak mencuri, dia memberi intruksi dan anak buahnya bergerak lalu pencurian berhasil.
Di dermaga itu semuanya berawal. Ketika seorang perempuan dijambret. Dia menguber penjambret itu. menyibak tanaman liar yang tumbuh tinggi, berhenti ketika kehilangan jejak. Dia memandangi semua penjuru, pohon-pohon berdiri di mana-mana. Dia mendengar dengus nafas dan megap seseorang. Angin barat laut datang, tercium bau tak sedap, terdengar kersak bunyi daun diinjak. Berkelebat bayang-bayang. Dia memekik dan mengejar. Mati kau, serunya. Pencuri itu sudah tidak kuat berlari, dia melompat dan menangkapnya. Dia pegang tangannya kuat-kuat mengambil tas yang ia curi. Dia periksa semua barang-barangnya. Ada.
“Siapa namamu?”
“Atong,” jawabnya.
“Ilmu mencurimu masih di bawah dasar. Kau bisa saja tertangkap polisi kalau mencuri dengan cara yang sama.”
“Apa urusanmu?” Dia tidak menjawab dan memunggunginya.
“Pergilah, aku tidak akan laporkan kau ke polisi. Tapi ingatlah kataku tadi.”
Dia kembali ke pelabuhan, menemui perempuan itu dan mengembalikan tasnya. Tidak ada yang hilang isi tasnya, bisa dicek lagi. Ujarnya. Syukurlah ada semua, terimakasih. Perempuan itu menjulurkan tangan, Eli. Dia menjabat tangannya, Jagad.
“Aku tidak bisa lama-lama, kapalku sudah mau berangkat.” Jagad bangkit dan naik ke kapal. “Sampai jumpa di lain waktu.” Eli mengangkat tangan.
Pelabuhan pecah, orang-orang melambaikan tangan dan melemparkan bunga. Seorang pemuda berlari ke arah kapal, menyibak kerumunan dan berteriak sekali-duakali. Penumpang kapal menoleh. Pemuda itu jadi sorotan banyak orang. Eli yang ada di tengah tidak dapat melihatnya. Dia melambai dan memberi isyarat pada seseorang. Jagad menulis sesuatu di kertas lalu melemparnya. Dia membacanya lalu mengangkat jempol.
Saru bulan berlalu, pemuda itu menyusul Jagad ke Kalimantan. Dia tidak sendiri, ada sekitar empat belas laki-laki dan dua perempuan. Mereka menyusup masuk ke kapal, barang bawaannya tidak banyak. Di kapal mereka tidak selalu bersama, mereka berpencar dan tidak saling kenal bila berpapasan, hanya saja ketika mereka sedang beraksi, salah satu dari mereka ada yang batuk, berdeham, bersendawa, menguap dan bersin. Kemudian, terjadilah kekacauan.
Tiga hari tiga malam perjalanan berlagsung dengan berbagai kejadian. Para wanita jadi resah karena perhiasan mereka hilang semua dan para pria menjadi garang ketika ada seorang mencurigakan. Pihak kapal kewalahan mencari biang keladi. Sedangkan mereka tenang-tenang saja.
Setelah sampai di pelabuhan, Jagad telah menunggunya di depan pintu keluar. Mereka mengenalkan diri, Jagad menerimanya dengan hangat. Mereka pun naik ke pik-up menuju sebuah warung kopi di perbatasan desa. Orang-orang di sana tidak ada yang tahu mereka ngomongin apa, sebab mereka hanya tertawa saja sampai pelayan merasa geli.
Mencuri itu tidak mesti ke pri bumi yang jelas-jelas kritis ekonomi. Mencuri tidak juga pada orang kaya yang sudah zakat dan baik hati. Mencuri menjadi wajib ketika menteri korupsi dan polisi mengikuti. Jagad berhenti dan melanjutkan. Pencuri juga butuh seni, maka, bermainlah dengan cantik.
Mereka pun bubar, berpencar dan tidak bertemu lagi.
***
Jumatan selesai sejak tadi, para jamah telah kembali ke rumah. Namun, di masjid Ar-Rohim adzan saja belum alih-alih iqomah. Istri dan ibu mereka menghawatirkan suami dan anaknya. Sudah satu jam lebih mereka belum kembali. Para istri dan ibu berbondong-bondong ke masjid.
“Suamimu sudah pulang?”
“Anak dan suamiku belum pulang, Mbak!”
“Apa mereka ke pasar burung?”
“Pasar burung? Ngapain ke sana?”
“Bukannya kita tahu setiap lelaki menyukai burung,”
“Jangan-jangan mereka selingkuh!?”
“Anak-anak bermain di sungai?”
Tiba-tiba saja mereka berpaling dari masjid, melongo dan mata mereka terpaku pada lelaki yang berlari. Lelaki itu menghilang, tidak ada yang tahu dia kemana. Ibu-ibu kembali gusar dan resah. Mereka berkaca-kaca, saling pandang dan bertanya. Beberapa memilih pulang karena pusing memikirkan kejadian di hari jumat itu. beberapa masih tetap menunggu suami dan anaknya pulang.
Di depan masjid, mereka mendengus legah. Sandal suami dan anak mereka berjejer. Tapi tidak terdengar bunyi takbir seakan mereka mengikuti madzab imam lain. Ibu-ibu bergegas mendekati pagar masjid. Menengok di balik pintu yang terbuka. Mereka terperanjat dan segera berlari masuk ke dalam masjid, menghambur pada seorang yang terkapar di atas sajadah. Sungguh, ibu-ibu menangis sambil menghampiri mereka. sedu-sedan, bahkan menjerit histeris. Namun, terdengar seorang mendengkur. Sangat keras. Salah satu ibu mendekat dan menengok.
“Mungkin…?”
“Bangunkan!” sambut yang lain.
Seperti bermimpi indah, jamaah jumat menggeliat, bangun dan menoleh.
Haaa! Kenapa kamu ada di sini? Loh, mengapa mereka semua di sini? Di mana ini? Mimbar?
***
Pada jumat siang, tepatnya pukul setengah tiga sore. Jamaah jumat keluar masjid bersama istri dan anaknya. Seperti baru keluar dari surga, wajah mereka bersinar, harum bunga menyerbak seantero desa, senyum merekah pada setiap langkah, metahari menghujani kepulangan mereka dari masjid, angin laut barat bertiup di atas kepala, ujung kerudung berkepak-kepak, mereka tertawa. Namun, itu semua runtuh ketika seorang perempuan berlari dari dalam rumah dan menghampirinya, lantas bertanya.
“Kalian lihat suamiku, Jagad? Sejak tadi dia belum pulang?”
Mereka saling pandang, dalam matanya terbaca satu pertanyaan. Seharusnya kami yang bertanya, kenapa dia tidak ke masjid? Kita semua sampai tertidur karena menunggu khotib.
Wajah perempuan itu memerah, pucat dan darah keluar dari rongga hidungnya. Saat itu pula perempuan berwajah sayu berlari masuk ke dalam rumah.
“Ada yang aneh di keluarga Jagad,”
“Padahal sebelum anaknya ke pondok mereka biasa-biasa saja, Jagad tidak pernah absen ke masjid dan istrinya selalu cerah dan senyum. Tapi hari ini….”
Kutub, 12-10-2019
Fahrul Rozi lahir di Potoan Sampang Madura, saat ini tinggal di Lesehan Sastra Kutub Yogyakarta (LSKY) cerpennya tersiar di media cetak maupun digital.
Leave a Reply