MUTMAINAH tidak pernah menyangka hidupnya seperti ini. Bermukim di Belanda sekaligus menjadi maharatu di apartemennya. Menguasai wilayah strategis yaitu dapur dan kasur.
HARI itu jam menunjukkan pukul dua dini hari, Mutmainah mengorganisasi wilayah dari kasur menuju dapur. Matanya sipit karena kantuk, berjalan gontai seperti mayat hidup. Rambutnya jabrik seperti surai singa, tapi tangannya cermat melumat tepung ketan membentuk bola-bola. Ia mengolah bubur candil permintaan suaminya. Memasak bubur di pagi buta, untuk sahurkah? Bukan! Bukan itu alasannya.
Suami Mutmainah, Supardiono yang hanya menoleh bila dipanggil Dion, tak sengaja membaca informasi dari grup WA ketika jeda iklan pertandingan sepak bola. Tersiar kabar bahwa Duta Besar Belgia—Luksemburg—Uni Eropa akan berkunjung jam tujuh pagi di KBRI Den Haag di mana ia bekerja. Dari grup WA itu juga Dion tahu, Bu Dubes sedang hamil dan mengidam bubur candil.
Tak ingin kehilangan kesempatan, Dion segera membangunkan Mutje, panggilan sayang Dion kepada Mutmainah sekitar jam satu pagi. Padahal Dion tahu, Mutje baru saja meletakkan badannya yang subur di atas kasur sekitar jam 11 malam. Perempuan Solo ini seharian mencuci, membersihkan apartemen dan memasak sesuai kehendak suaminya: rendang, gulai daun singkong, bandrek, dan surabi. Mutje luar biasa lelah, tapi ia segera bangun dan tidak membantah ketika Dion memerintah.
Selama tiga tahun menikah, tak pernah sekali pun Mutje meninggikan suara kendati tidak setuju atau tidak suka. Mutje perempuan lembut baik tutur kata maupun perbuatannya. Ia hanya menyimpan dalam hati semua geram, gerutuan, dan makian. Ia tak pernah mengkritik Dion di hadapan siapa pun. Mutje terlanjur terlalu bangga menikahi Dion, pria Pasuruan yang tinggal dan bekerja di Eropa.
Seluruh keluarga besar Mutje dan para tetangga desa memandang Mutje sebagai perempuan beruntung. Dion tampak sempurna. Ia tak hanya berkulit cerah dan tampan, tapi ia terlihat pintar. Menguasai bidang politik, diplomasi, imigrasi, ekologi, hingga perihal remeh-temeh seperti cara mendapatkan like di Facebook. Dion paham isu hangat perpolitikan Indonesia, kabar pengungsi Suriah, Brexit, perang dagang Cina-Amerika, hukum euthanasia, dan seluruh perkembangan tentang pandemi korona. Menikahi Dion seperti hidup dengan pria setengah google setengah ensiklopedia. Mutje tidak perlu repot membaca berita.
Pesona Dion terlihat dari caranya bicara. Dengan dada tegak seperti punggung parutan kelapa, ia menawan dan berwibawa. Pemikirannya tajam dan selalu membuat orang sekitarnya ternganga. Ketika beropini tentang toleransi, Dion teguh pada pendiriannya. Ia tak pernah mentoleransi, “Para penista agama harus dihukum mati,” katanya. Tentu pendapat Dion mempertahankan pemikiran Abad Pertengahan sering disanggah di Eropa. Namun Mutje kagum menyaksikan betapa Dion lihai berkelit, berputar-putar, berargumentasi hingga Si Penyanggah pening dan kalah. Sering Mutje membayangkan bagaimana rasanya menjadi pribadi seperti Dion yang percaya diri, pandai bicara, dan tidak pernah salah.
Mutje yakin Dion sayang padanya. Ketika ia harus terus-menerus melaksanakan perintah seperti pelayan, tentu karena suaminya punya alasan. Contohnya ketika Mutje keguguran, Dion memintanya tetap membersihkan apartemen seperti biasa, pasti karena Dion percaya Mutje adalah perempuan tangguh. Ketika Dion menyuruhnya memasak gudeg, bakwan dan lumpia untuk para kolega, semua adalah bukti kebanggaan Dion terhadap masakan Mutje. Dion memang dermawan terhadap waktu dan tenaga istrinya.
Mutje menghirup asap putih santan yang menguar. Kepalanya pusing, ia mengaduk kuah santan dengan sempoyongan. Ia memperhatikan tangannya. Otot-otot telapak tangannya membesar. Kukunya tidak sempat lagi ia warnai. Mutje menghela napas panjang. Gerakan tangannya semakin cepat melingkar-lingkar dan mengaduk. Perasaannya campur aduk. Ia teringat ketika Dion meminang. Saat itu ia membayangkan seperti Cinderella menikahi pangeran pujaan. Mengidamkan hidup di istana, shopping, jalan-jalan ke seluruh penjuru Eropa: Paris, Roma, Berlin, Wina, Praha, dan yang lainnya. Bukan hanya berkutat di dapur dan kasur apartemen mini sebesar 60 meter persegi.
Mutje semakin garang mengaduk isi panci seperti orang kesurupan. Ia geram. Dadanya sesak menghirup kepulan asap. Bukan aroma pandan dan vanila yang tercium, melainkan uap serupa dupa. Berputar-putar, menari-nari, seakan membisiki sebuah mantra. Matanya tergenangi air mata, kabur menyaksikan buih-buih candil mendidih. Meletup-letup seperti amarahnya.
Kadang Mutje berharap Dion adalah pria brutal yang tak segan memukul atau menampar. Setidaknya dengan bekas luka memar, Mutje bisa lapor polisi atau Komnas Perempuan. Ia bisa menunjukkan warna kepedihan yang ia rasakan. Namun Dion adalah pria sopan bukan pria berangasan. Dion selalu menggunakan panggilan “sayang” meskipun berujung penindasan dan kesewenang-wenangan.
Mutje menyeka air matanya. Di tengah deru kemarahan yang bergolak seperti yang tengah dimasaknya, Mutje menyiram garam dalam bubur. Satu kotak garam ia tumpahkan semua. Ia melirik bungkusnya, ‘garam dapur neto satu kilo’. “Mencreto sing suwe!” ucapnya dalam bahasa Jawa. Bibirnya pun merekah senyum. Kepalanya mendongak setinggi asap. Mata kucingnya berkilau seperti permata. Ia girang seperti tikus bertemu keju Gouda.
Jam empat pagi bubur candil sudah siap dan dapur telah rapi. Mutje sudah mencuci peralatan masak dan panci. Dion masih tidur berselimut dengan mulut menganga. Mutje meletakkan bubur candil di atas meja ruang tamu, kemudian ia tertidur di sofa.
Jam delapan pagi, Mutje terbangun oleh sinar matahari musim gugur yang menyelinap masuk melalui sela-sela jendela. Seperti orang yang kembali pada kesadaran normal, Mutje merasa bersalah. Ia menyesal. Ia kalang kabut mencari suaminya, tapi Dion sudah di kantornya.
Ketika Dion pulang, dengan gemetar Mutje bertanya, “Mas, Bu Dubes marah, ndak?”
Sambil melepas sepatunya, dengan santai Dion menjawab, “Mana mungkin marah, Sayangku,” lalu tersenyum dan melanjutkan, “Aku sampaikan pada Bu Dubes, bubur itu dibuat khusus untuk beliau. Aku berikan nomor WA-ku juga, aku yakin setelah ini akan ada kejutan di tempat kerja. Aku pasti akan dipindah ke tempat basah.”
Baru saja Dion menutup mulut, terdengar suara pesan dari ponselnya. Ia membacanya. Seperti pemenang undian berhadiah wisata keliling dunia, Dion berjingkrak-jingkrak gembira. Lalu, menyodorkan ponsel hingga menyentuh hidung Mutje yang pesek. “WA dari Bu Dubes,” katanya bangga. Dadanya membusung menunjukkan pesan banal bertuliskan, ‘Terima kasih.” Mutje tidak tahu harus bereaksi apa. Ia mengatupkan bibir, mencegah kata-kata yang mungkin ke luar dari mulutnya.
Keesokan harinya, Dion ke kantor dengan dasi terbaik yang ia punya. Hatinya berdebar, berdentam-dentam seperti genderang perang ketika Kepala Staf Umum dan Personalia memanggilnya. Langkahnya tegap seperti seorang prajurit, mantap memasuki ruangan. Sekitar lima menit berlalu, Dion keluar dengan perasaan tak karuan. Ia gagal paham, mengapa nasib berkebalikan dari harapan. Bukannya naik pangkat, justru ia dipindahkantugaskan. Dari tugas bendahara mencatat pengeluaran dan pemasukan, menjadi tugas umum, sangat umum, yaitu petugas kebersihan. Ia bertanggung jawab membersihkan semua ruangan, termasuk WC dan kamar mandi. Tuhan pasti tahu, bukan jabatan basah seperti ini yang Dion impikan.***
“Mencreto sing suwe!” artinya semoga mencretnya lama.
Naning Scheid, lahir di Semarang, 5 Juni 1980. Penulis dan pemain teater. Pengajar di Fakultas Bahasa Inggris Universitas PGRI Semarang (UPGRIS) sebelum meninggalkan Indonesia. Aktif dalam organisasi sosial kemanusiaan di Belgia. Tinggal di Brussel sejak 2006. Karyanya berupa puisi, cerpen, dan esai tersebar di pelbagai media cetak, daring, dan antologi bersama. Bukunya: Melankolia—Puisi dalam Lima Bahasa (Pustaka Jaya, 2020), dan Novela Miss Gawky—Cinta Pertama Kirana (Pustaka Jaya, 2020).
Leave a Reply