Cerpen Liven R (Analisa, 08 Desember 2019)
LEBIH dari seperempat abad aku menempati rumah ini. Sebuah rumah di kawasan yang sejuk, tenang, dan jauh dari hiruk-pikuk lalu lintas maupun aktivitas ekonomi yang ramai. Ya, Mermaid Palace, begitu kami menyebutnya, adalah kawasan yang ideal sebagai tempat bermukim; sarang yang nyaman untuk berpulang, berkumpul, dan melepas segala lelah tubuh dan pikiran bagi kami, ‘para burung pekerja’, setiap harinya.
Tetapi, kehidupan ini sepertinya memang tak ada hal yang sempurna seratus persen. Termasuk bermukim di Mermaid Palace. Untuk tuntutan kerja, hampir setiap dari kami aku dan kakak-kakak, harus berangkat pagi, menuju inti kota, lalu pulang pada saat Matahari telah tertidur. Jangan bertanya pukul berapa kami tiba di rumah saat macet, terlebih saat hujan deras! Rasa-rasanya, selain pulang-mandi-tidur-bangun-mandi-berangkat kerja, tak ada kegiatan lain yang dapat dilakukan lagi. Kecuali kamu bersedia tidur di atas jam 12 malam!
Pindah! Barangkali ini adalah solusi terbaik bagi kami. Burung pekerja akan lebih cocok bila bermukim di Dove Palace, sebuah tempat yang teramat dekat dengan inti kota. Sungguh efisien. Tak akan ada waktu yang terbuang percuma hanya untuk merutuk di dalam mobil yang melaju lebih lambat daripada kura-kura yang merangkak di tengah hujan. Setuju!
Pindah rumah, tentu bukan perihal gampang dan cepat. Segala sesuatu perlu dipersiapkan sebaik mungkin, termasuk melipat dan menyimpan segala kenangan yang terbias di setiap ruas jalan; halaman, dan di setiap ruangan di Mermaid Palace. Jangan ada yang tercecer. Ah, aku akan merindukan suasana yang sunyi dan tenang; Jiu-jiu dan Akim (adik dan ipar Mama) juga kedua sepupu kami yang tinggal tepat di sebelah kiri; para shu-shu dan ayi (paman dan bibi) tetangga di depan-samping-belakang rumah, yang meski jarang mengobrol, namun selalu menyapa ramah dengan senyum tulus di tiap pertemuan ‘kebetulan’ yang terjadi kala berangkat/pulang kerja.
Setahun berlalu dalam persiapan dan perencanaan perihal pindah rumah. Aku tak memiliki banyak pendapat tentang kapan waktu yang tepat untuk menetap di rumah yang telah dibangun senyaman mungkin itu. Ya, bukan masalah, sebab aku bisa tertidur di mana saja secepat begitu mata dipejamkan. Cukup sebuah tempat yang datar untuk berbaring, sebuah bantal dan selimut, aku akan segera mengarungi dunia mimpi! Aku adalah makhluk dengan tingkat adaptasi tertinggi di muka Bumi ini! Sungguh…!
Tetapi tahukah kamu?
Hari pertama di Dove Palace, aku telah terbangun di dini hari pukul dua. Bukan terbangun, tak bisa tidur lebih tepatnya!
“Ma, aku ingin tinggal di Mermaid Palace saja. Kita kembali ke sana, yuk?!”
“Yuk!” ujar Mama sembari bangkit duduk di ranjang. Selanjutnya, kami pun mengisi dini hari itu dengan obrolan mengenai banyak hal, terutama apa yang menyebabkan kami ingin kembali ke Mermaid Palace, tentunya.
Aku merindukan orang-orang baik, para tetangga, di Mermaid Palace. Aku tercengang dengan sikap orang-orang di Dove Palace! Jika di Mermaid Palace, orang-orang sibuk membersihkan lingkungan, menyapu halaman, hingga membersihkan sampah di jalanan depan rumah orang lain, maka di Dove Palace segalanya bertolak belakang seratus delapan puluh derajat. Saat kamu lengah, sampah akan dibawa dan dilempar ke depan rumahmu!
Jika di Mermaid Palace, Shu-shu (Paman) A yang notabene seorang pengusaha sukses tak ragu berjongkok di depan rumahmu untuk membantumu merapikan jalan yang baru diaspal; Bibi B bisa saja memanggilmu hanya untuk menyodorkan masakannya; menemui dan berunding untuk pembangunan saluran air demi kebaikan bersama tanpa meminta bayaran, maka yang terjadi di Dove Palace adalah sebaliknya. Di sini, di tempat baru ini, orang-orang akan mengobrol dan tersenyum kepadamu hari ini, esok memasang wajah kaku mendadak tak kenal, lantas menggosip tentang dirimu, menunjuk tanpa segan didengar olehmu, dan lusa membuang muka, lalu tersenyum lagi kepadamu keesokannya, semau gue!
Di Mermaid Palace, kendaraan diparkir di garasi atau depan rumah masing-masing. Di Dove Palace, mobil diparkir menutup pintu pagarmu, sedemikian rapatnya hingga manusia pun sulit keluar-masuk, dan pemilik tak mengenali mobilnya saat kamu bertanya, pun membiarkan mobilmu ‘bermalam’ di jalanan, di luar sana. Keterlaluan!
Baiklah, lain lubuk lain ikannya. Dan, di mana Bumi dipijak, di situ langit mesti dijunjung. Terlebih kami menyadari keputusan pindah ini adalah sebuah pilihan ‘yong bu hui tou tak mungkin berbalik lagi.
Inilah lingkungan sosial baru kami. Meski mendapati banyak orang-orang ‘aneh’, namun diyakini ada juga orang-orang baik di sini. Semoga dengan tingkat adaptasiku yang tinggi, aku tidak ikut-ikutan menjadi aneh!
“Mobil siapa lagi itu?”
“Kotoran anjing milik siapa di depan pintu ini?”
“Mobil tak bisa keluar. Harus ke mana mencari pemilik mobil?”
“Sebaiknya menumpang taksi online saja agar tak telat di tujuan!”
“Oh, ampun! Siapa yang menumpahkan seisi tong sampah di depan pagar?”
Begitulah. Kesabaran diuji setiap waktu! Dan, ini tidak baik: perasaan marah meracuni hati dan mulai membuat diri kehilangan rasa percaya kepada orang lain, terlebih mulai memburamkan ‘cinta kasih universal’ terhadap sesama! Barangkali inilah yang disebut kondisi lingkungan berandil membentuk karakter seseorang. Aku memahaminya sekarang!
Alhasil, kami membutuhkan banyak ‘mata sakti teknologi’ yang bernama CCTV di seantero rumah untuk memantau orang yang mendadak hilang ingatan di mana mobilnya diparkir; juga tak mengenali mobilnya yang menutupi pintu rumah orang lain dengan alasan: dia memiliki terlalu banyak mobil. Dan, siapa pun yang terekam ‘mata sakti’ sebagai pelaku yang membuang sampah sembarangan, awas, ya?!
Pagi, pukul lima lewat. Mata masih berat tatkala Mama kembali mengeluh tentang sampah yang tertumpah di depan pagar. Mama yang sudah tua harus membersihkan sampah itu. Siapa, sih? Dasar kurang kerjaan! Tetapi, apakah mungkin hewan jalanan?!
Aku meraih ponsel, mengaktifkan dan mencoba menelusuri rekaman pada beberapa ‘mata sakti’ yang sekiranya berhasil menangkap bayangan pelaku kurang ajar itu.
Isi rekaman:
Pukul 23.27, sampah telah tumpah di depan pagar. Tak terlihat siapa pun di sana. Namun ada kejanggalan di sini. Tong sampah masih tetap berdiri, hanya isinya yang telah tumpah. Siapa yang menumpahkan? Jika hewan liar, mengapa tong sampah masih berdiri?
Mundur….
Pukul 23.20, sesosok manusia berbaju putih berdiri di samping sampah yang berserak. Siapa dia?
Rekaman mendadak diam membeku. Ah, terkutuklah sinyal yang jelek! Kamu tahu? Aku telah mahir mengutuk segala sesuatu, sejak tinggal di Dove Palace!
Pada rekaman yang membeku, coba kenai aksi zoom in-zoom out. Ah, aku mengenali orang ini! Sangat jelas, ini adalah salah satu orang baik yang ramah pada kami di Dove Palace ini. Sebut saja dia EQ. Tetapi, mengapa dia melakukan ini? Sekeping amarah mulai menancap di hati. Benarkah ini manusia dengan dua kepribadian: baik di depan, menindas dari belakang?! Jika kuceritakan ini, yakinlah Mama, kakak, dan adik akan segera meletus amarahnya.
Belum pasti. Aku ingin melihat dengan jelas detik-detik bagaimana sampah ditumpahkan. Mundur…. Loading… 23.18 (rekaman berjalan tersendat) EQ terlihat memegang sebuah tongkat panjang yang diarahkan pada tong sampah kami. Rekaman kembali beku. Penampakan ini semakin mengarahkan bahwa EQ-lah pelakunya!
Aku menarik napas kesal. Selanjutnya, bagaimana seharusnya bersikap terhadap orang yang diam-diam menindas di belakang? Oh, ya, EQ berjualan. Kami sering membeli barang dagangannya. Jika dia begitu jahat, mulai detik ini, kami tidak akan berbelanja lagi kepadanya! Tetapi tunggu…, apa untungnya dia berbuat begitu? Apakah dia sudah tak waras? Mengapa dia begitu tega menyusahkan orang lain? Serangkaian ‘apa’ dan ‘mengapa’ bertubi-tubi menghantam pikiran.
Jelang siang, kucoba memutar ulang kembali isi rekaman dari berbagai arah. Terima kasih kepada sinyal yang telah menguat!
Pukul 23.14, sampah belum berserak. Beberapa detik kemudian, astaga…, tong sampah terlihat terjatuh oleh suatu kekuatan yang tak tampak. Malam demikian gelap. Mengulang kembali. Diperbesar. Apa itu?
Kucing hitam! Oh, Tuhan, ternyata dia pelakunya!
Tentu saja, kini sampah tertuang seluruhnya di depan pagar. Si hitam sibuk mengais sampah-sampah itu, hingga sosok manusia bernama EQ datang. Si hitam segera berlalu, sebab EQ membawa seekor anjing hitam juga.
23.18, EQ mendekati sampah yang berserak. Dengan tongkat panjang di tangannya dia membuat tong sampah kembali berdiri. Tak hanya itu, dia juga menyapu sampah yang berserak agar menyatu di satu tempat saja.
Inilah bagian terpenting dari isi rekaman! Tekan save lalu share…
: Inilah pelaku kurang ajar itu. Dan inilah orang baik yang telah membantu meletakkan kembali tong sampah dan menyatukan sampah yang berserak di satu sisi.
Pada grup WhatsApp keluarga, video rekaman dibagikan, agar segalanya ‘terang’.
Sahabat, bagaimanakah cara Anda menyikapi setiap persoalan yang terjadi dalam hidup Anda? Mudah marah, percaya begitu saja pada pandangan sekilas. Mudah percaya dengan sesuatu yang ‘katanya…’, malas mencari tahu lebih jauh, lantas karena amarah butuh pelampiasan, sudah semestinya ada yang menjadi kambing hitam, apakah demikian?!
Dalam banyak kejadian dalam hidup ini, perselisihan sering terjadi karena kepercayaan pada asumsi sesaat. Percaya pada apa yang dianggap benar; dan akan mencapai taraf ‘parah’ tatkala hati dikeraskan untuk memaksa ‘harus benar’ pada apa yang diyakini benar, dan melupakan adanya sesuatu yang disebut ‘fakta’.
Ketika menemukan hal yang tak menyenangkan, yang perlu dilakukan sebenarnya adalah menenangkan diri terlebih dahulu, bersabarlah, dan selanjutnya mencari tahu akar permasalahan dari awal hingga akhir. Ya, pada kejadian nyata di atas, andaikata pada detik di mana rekaman terhenti (23.18), kami lantas keluar menemui EQ (bersiap mengibarkan bendera perang), tentulah masing-masing kubu akan mempertahankan keyakinannya yang dirasa paling benar! (Lha, saya punya bukti kamu sedang menyentuh tong sampah saya dengan tongkatmu! Jika bukan kamu pelakunya, siapa lagi?!) Hasilnya? Hancurlah sebuah hubungan baik yang ada selama ini.
Sesungguhnya, pada dasarnya manusia yang sehat pikiran adalah baik, dan tidak (wajar) melakukan hal-hal yang merugikan orang lain, pun tidak bermanfaat. Sebaliknya, hanya hewan (kucing hitam dalam kasus di atas) tanpa akal budilah yang kerap berbuat sesuatu yang merugikan orang lain. Ya, namanya juga hewan! Jadi, inilah yang harus direnungkan sebelum bertindak: wajarkah dia begitu? Jika tidak, mari cari tahu lebih lanjut!
Belajar dari kasus di atas, disadari bahwa kehidupan sesungguhnya adalah sekolah berbasis seumur hidup yang terus mengajarkan kebijaksanaan; setiap detik adalah pembelajaran. Hendaklah apa yang tidak terlihat mata kepala sendiri dan apa yang bukan terdengar telinga sendiri, bukanlah fakta. Dan, sesuatu yang belum fakta hendaklah dirangkai kembali mozaik-mozaik kejadian sebenarnya yang berserak agar menjadi suatu gambaran fakta kejadian yang utuh.
Setengah tahun berlalu di Dove Palace. Aku masih terus merangkai gambaran fakta dan berusaha melihat sisi baik dari kepribadian orang-orang yang pada awalnya tidak ideal di mataku.
‘Kita tak boleh menilai buruk seseorang tanpa bukti jelas, ya…,’ komentar senada pada grup WhatsApp keluarga menutup kasus ‘Siapa Penyerak Sampah?’.
Medan, awal Juli 2019
Liven R. Penulis Indonesia-Sumut.
Leave a Reply