Cerpen Mahan Jamil Hudani (Rakyat Sultra, 13 Desember 2019)
Farida menatap kapal-kapal yang berlalu lalang meyusuri sungai. Sebagian kapal tersebut mengangkut barang-barang hasil bumi, sebagian lagi mengangkut kayu-kayu yang masih berupa gelondongan besar, sebagian lagi mengangkut minyak bumi, sebagian lain lagi mengangkut batu bara, dan masih banyak lagi yang mereka angkut. Serasa kapal-kapal tersebut ingin membawa dan menguras semua isi bumi pulau ini.
Farida tak habis pikir, mereka datang kemari lalu dengan semena-mena mengeruk bumi Mahakam ini untuk kepentingan dan kemakmuran mereka sendiri. Mereka membiarkan alam pulau ini rusak oleh limbah. Hutan-hutan pulau ini yang dulu rimbun dan teduh kini telah menjadi kerontang. Kayu-kayunya telah ditebas dan diangkut. Alamnya telah mereka sulap menjadi area pertambangan. Hewan-hewan mengungsi makin ke bagian dalam karena terganggu oleh suara mesin-mesin bertubuh besar yang meraung-raung dan menambang setiap hari.
Mungkin masih bisa dimengerti jika orang-orang yang memiliki mesin tersebut menyisakan sebagian yang mereka kuras untuk kemakmuran rakyat bumi ini secara merata. Rakyat di sekitar area pertambangan tersebut tetap dibiarkan miskin dan bodoh. Pemukiman dan infrastruktur di kampung mereka tetap dalam kondisi menyedihkan padahal lokasi mereka tak terlalu jauh dari area tambang.
Farida merapikan rambutnya yang tergerai ditiup angin. Duduk di tepian sungai masih saja ia menatapi kapal-kapal yang berlalu lalang di atasnya. Ada rasa sesak yang mengimpit dada Farida melihat itu semua. Farida beranggapan bahwa eksploitasi tak ubahnya suatu penindasan atas nama sebuah pembangunan. Rasa sesak yang menghimpit di dada Farida makin terasa berat saja kala ia mengingat Handi, seorang lelaki yang beberapa tahun ini telah mengisi dan menemani hari-harinya dengan penuh keindahan. Farida menghabiskan waktu hampir tiga tahun bersama lelaki itu. Ia merasakan bahwa lelaki itu mampu memahami dan menyelami perasaan yang berkecamuk dan bergejolak di dadanya. Ia juga sering menumpahkan rasa kekesalan, kekecewaan dan kemarahannya di depan lelaki itu. Handi seperti sosok yang begitu sabar dan setia mendengarkan segala keluh kesah Farida saat Farida sering marah melihat semua ketidakadilan dan keserakahan orang-orang yang menjarah alam tempat tinggalnya.
Farida dulu sering menghabiskan waktu bersama Handi di tepi sungai Mahakam, saat hari menjelang senja. Di tempat ia duduk sekarang ini, ia bersama Handi sering menatapi kapal-kapal yang berlalu lalang tersebut.
“Coba kau lihat kapal-kapal itu, Han, betapa tak adilnya mereka membawa dan menguras isi bumi Mahakam ini lalu membiarkan rakyat pulau ini tetap miskin.”
“Ya, tapi itu tak sepenuhnya benar, Da. Mereka juga telah membangun pulau ini.”
“Membangun apa, Han? Bangunan pabrik-pabrik, sekolah, pusat kesehatan, mal-mal, atau real estat. Itu semua bohong. bukankah itu semua untuk kepentingan dan kemakmuran mereka sendiri. Kau lihat sendiri mereka yang tinggal di pinggiran kota dan pedalaman, hidup mereka tetap seperti dulu, tak tersentuh oleh pembangunan seperti yang kau katakan, bahkan mereka tak menikmati apa pun dari pembangunan tersebut meski mereka telah membuat orang-orang asing makin bertambah kaya saja.”
“Kau tak boleh juga berpikir terlalu apriori dan skeptis seperti itu. Setidaknya kotamu kini telah menjadi maju. Sebagian warga kota ini ikut juga merasakan dan menikmati pembangunan tersebut meski memang belum merata.”
“Ah, terkadang pola pikirmu sama saja dengan mereka, Han. Apakah itu karena kau juga seorang pendatang seperti mereka sehingga kau tak bisa menyelami pikiran dan perasaan kami yang lahir dan besar di sini dan menganggap diri kami sebagai asli putra dan putri daerah.”
“Nah pernyataanmu itu terlalu primordial, Da, tak seharusnya kau punya pikiran semacam itu.”
Itulah awal perdebatan Farida dan Handi. Handi tak bosan mendengar keluhan dan menampung kegusaran Farida. Tak lama setelah itu, mereka menjadi dekat secara pribadi. Farida juga bisa menilai jika Handi seorang dengan pemikiran dan wawasan luas. Handi juga seorang yang senang mendengarkan curahan hati rekan-rekannya. Rasa kepekaannya terhadap isu-isu alam dan lingkungan hidup, sosial, pendidikan dan kemanusiaan begitu tinggi.
Kini Handi telah pergi jauh. Seperti tak ada tempat lagi bagi Farida untuk berbagi dan memikirkan segala hal yang terjadi di daerahnya. Ia dan Handi telah memulai dan melakukan cukup banyak hal untuk membangun kesadaran dan memajukan pemikiran warga sekitar.
Handi yang merupakan sarjana lulusan salah satu universitas terkenal di Kota Pelajar tersebut ternyata memiliki kepedulian yang begitu tinggi pada sesama. Ia juga begitu peka dan memiliki perhatian yang begitu besar pada soal-soal pendidikan, politik, ekonomi, sosial dan isu-isu kemanusiaan yang terjadi tidak hanya di bumi Mahakam ini tetapi juga dengan segala yang terjadi di negeri ini.
Farida, yang sedari kecil bisa merasakan adanya banyak ketimpangan yang terjadi di daerahnya, hanya bisa mengelus dada tanpa bisa berbuat apa-apa. Farida ingat saat masih di SD, ia sering bermain dengan teman-temannya masuk ke hutan atau menyusuri sungai bersama orang tuanya untuk mencari kayu dan binatang buruan. Ia melihat betapa hutan-hutan yang ada di sekitar desanya secara perlahan berubah menjadi daerah-daerah terlarang untuk bermain karena muncul banyak bangunan yang menjadi tempat pemukiman dan semacam kantor. Setidaknya itu yang dia ketahui di belakang hari. Ia melihat banyak kendaraan dengan suara-suara yang bising. Ia juga mulai menyaksikan orang-orang asing dengan tubuh tinggi dan besar. Ia pernah bertanya pada orang tuanya tentang siapa mereka. Ayah dan ibunya tak memberikan jawaban yang memuaskan.
Pertanyaan Farida tentang siapa orang-orang asing tersebut terjawab saat ia bisa melanjutkan pendidikan SMA dan perguruan tingginya di kota provinsi. Ia yang memaksa orang tuanya jika ia ingin melanjutkan sekolah di kota. Bersyukur orang tuanya mendukung keinginan dan impiannya untuk bisa menjadi seorang guru. Banyak teman Farida bahkan tak bisa melanjutkan sekolah mereka selepas SD.
Kota provinsi semakin membangkitkan kesadaran Farida. Satu hal yang membuat Farida bertambah semangat adalah saat ia mengenal lelaki pendatang yang tinggal tak jauh dari tempatnya mengontrak. Awalnya Farida menganggap lelaki itu sama seperti pendatang lain yang merantau ke kota ini hanya untuk mengubah nasib. Kebanyakan pendatang baik itu buruh, pekerja atau sarjana pulau lain memang hanya memikirkankan masa depan mereka sendiri. Tak pernah terlintas dalam benak mereka jika mereka datang kemari benar-benar untuk mengabdi dan mencerdaskan kehidupan masyarakat di sini, bahkan untuk sekadar peduli pada masyarakatnya saja mungkin tidak. Jarak psikologis antara pendatang dan pribumi masih cukup kentara.
Itulah yang ada di pikiran Farida saat mengenal pria itu meski kesan Farida pada lelaki itu pada perkenalan pertama cukup baik. Hingga pada suatu waktu, Farida memilki kesempatan berbincang panjang dengan lelaki itu. Lelaki yang kemudian menjadi dekat dengan dirinya karena pemikiran dan kepeduliannya pada banyak hal. Lelaki itu pula yang kemudian mengisi hari-hari dalam hidupnya. Bahkan lelaki itulah yang mampu mengisi hati Farida.
Farida sering bersama Handi berbicara dan melakukan banyak hal semacam memberi penyuluhan pada warga desa di daerah yang terletak agak di pedalaman akan pentingnya pendidikan. Memberi pelatihan pada relawan-relawan yang mereka bentuk. Pengalaman dan pengetahuan Farida semakin berkembang dengan seringnya ia melakukan tukar pikiran dengan Handi. Farida juga sering memperkenalkan budaya-budaya penduduk pribumi dan mengajak Handi untuk menghadiri upacara-upacara atau acara adat. Kedekatan mereka kemudian menjadi hubungan yang begitu personal.
Handi kini telah pergi jauh. Kepergian Handi bukan lantaran dirinya ingin meninggalkan Farida—meski pada kenyataannya ada perbedaan yang bersifat prinsipil antara Handi dan Farida—tapi sungguh bukan karena itu. Handi harus memenuhi permintaan orang tuanya juga impiannnya sendiri untuk melanjutkan pendidikannya pada jenjang yang lebih tinggi. Handi memperoleh beasiswa untuk program magister di sebuah negara di Eropa.
Hari hampir menjelang petang. Lampu-lampu telah mulai dinyalakan. Farida menatap sejenak buku catatan yang ia keluarkan dari tas kecilnya. Dalam buku catatan itu, Farida telah menuliskan hampir semua kisah hidupnya, terlebih pada episode hidupnya bersama Handi. Farida lalu memasukkan kembali buku catatan itu ke dalam tasnya lalu berjalan menyusuri tepian Mahakam untuk menuju arah taman di mana ia memarkirkan sepeda motornya. Ia masih berharap jika suatu ketika ia bisa menikmati kebersamaan lagi dengan Handi. Farida masih akan tetap setia menanti lelaki itu di tepi Mahakam ini. ***
Mahan Jamil Hudani adalah nama pena Mahrus Prihany. Lahir di Peninjauan, Lampung Utara, 17 April 1977. Saat ini bergiat di komunitas Sarang Matahari Penggiat Sastra (SMPS). Juga aktif di Komunitas Sastra Indonesia (KSI). Kini juga sebagai kepala sekretariat Lembaga Literasi Indonesia (LLI) yang didirikan oleh penyair Ahmadun Yosi Herfanda, serta sebagai redpel di portal sastra Litera.co.id. Karyanya tersiar di Batam Pos, Riau Pos, Lampung Pos, Sumut Pos, Bangka Pos, SKH Amanah Jakarta, Haluan Padang, Bhirawa Surabaya, Palembang Ekspress, Magelang Ekspress, Padang Ekspress, Rakyat Sumbar, dan Solo Pos. Kumpulan cerpen tunggalnya yang telah terbit adalah Raliatri (2016), dan Seseorang yang Menunggu di Simpang Bunglai (2019).
Leave a Reply