Cerpen M. Z. Billal (Medan Pos, 15 Desember 2019)
Ia berpura-pura lupa sambil menepuk keningnya. Tampangnya dibikin sekaget dan secemas mungkin agar rencananya berjalan sempurna.
“Bagaimana kau bisa lupa?” tanya ibunya, langsung menghentikan pekerjaannya yang saat itu sedang menyetrika baju.
“Aku membawa banyak sekali tugas kelompok hari ini. Temanku mengantar pulang dengan sepeda motornya. Sungguh aku tak ingat kalau dia masih berada di sana dan menungguku.” Ia menjawab ibunya dengan nada menyesal yang dipaksakan. “Aku akan kembali lagi menjemputnya.”
“Tidak perlu, kau jaga rumah saja. Biar Ibu yang menjemputnya.” Balas ibunya tampak khawatir seraya buru-buru mengambil kunci yang menggantung di paku dinding dan mengeluarkan motor maticnya.
Hatinya bersorak kegirangan dalam balutan air muka penuh kebohongan. Rencananya untuk membuat Zara dalam kesulitan berhasil. Sudah lama sekali ia menunggu waktu yang tepat seperti ini. Ditambah lagi ekspresi cemas yang menghiasi wajah ibunya, itu membuatnya semakin senang. Tak peduli apa yang terjadi pada Zara di sana. Paling juga ia tersesat di jalan pulang dan membuat kehebohan yang tidak menarik untuk dibahas, pikirnya.
Ia sudah membenci Zara sejak adik perempuannya itu tumbuh dalam rahim ibunya. Ia tidak masalah ibunya menikah lagi dengan pria lain yang lebih baik dari ayah kandungnya yang kurang ajar dan tidak bertanggung jawab. Namun ia tak menginginkan seorang adik. Ia tak ingin berbagi kasih sayang. Ia mau menjadi anak satu-satunya dan menjadi putri kesayangan ibu dan ayah tirinya. Tak peduli meski Zara adalah gadis kecil yang cantik dan tidak banyak bicara.
Sebelum hari ini, sebenarnya ia sudah melakukan banyak percobaan untuk membuat adiknya itu menderita. Seperti saat ia masih kecil dan Zara masih bayi. Ia membuat susu dengan air dingin dalam kulkas saat ibunya sibuk mengurus rumah. Hingga Zara masuk angin dan muntah-muntah. Lalu saat ia sudah duduk di kelas 3 SD dan Zara berumur 3 tahun. Ia sengaja mendorong Zara dari sepeda hingga siku dan punggungnya luka, lalu mengancam untuk tidak boleh melaporkan hal itu pada ibu maupun ayah. Juga banyak lagi hal lain di bulan-bulan berikutnya setiap tahun hingga hari ini. Namun ia belum juga puas. Ia tetap merasa bahwa Zara adalah pengganggu, bukan seorang adik. Meski Zara tak pernah sekali pun mengadu.
Ia ingat perlakuan Zara yang membuatnya malu pada hari ulang tahunnya yang ke-12. Adik perempuannya itu tak sengaja menjatuhkan kue tartnya, saat nyala api pada dua lilin angka merahnya baru saja ia padamkan. Meski teman-temannya tertawa dan menganggap itu lucu, namun hatinya keburu hancur dan marah sekali. Ia menangis dan merasa hina di hadapan teman-temannya. Walaupun kala itu acara tetap berlanjut, tapi hari itu menjadi hari yang membuat tingkat kebenciannya pada Zara meningkat tajam.
Akan tetapi, meski mengenang rasa bencinya tak pernah surut, saat melihat ibunya tak mau lepas dari pelukan ayah tirinya sambil sesenggukan, matanya sembab dan tak berhenti memanggil nama Zara, membuat ia sangat gugup dan kebingungan. Hatinya diliputi rasa takut. Walau ia sudah berusaha minta maaf dan menganggap itu adalah kelalaiannya, ibunya tetap tak mau diam. Terus menangis dikelilingi saudara dan tetangga, hingga ayah tirinya menyuruh ia pergi ke kamar untuk beristirahat.
“Sebaiknya kau istirahat. Jangan terus-menerus menyalahkan dirimu. Ibumu akan baik-baik saja. Ayah selalu percaya padamu, Sarah.”
Ia menjadi lebih tenang saat ayah tirinya melengkungkan sebuah senyuman di bibirnya. Ia sadar bahwa ayah tirinya itu benar-benar menyayanginya tanpa memandang dirinya anak tiri dan Zara anak kandungnya. Ingin sekali ia ikut memeluk ibu dan ayah tirinya itu dan meminta maaf. Tapi hatinya pun berantakan. Jadi ia memutuskan menghindari tatapan orang-orang dan bergegas naik ke kamarnya sambil menunduk.
Namun semakin ia mendaki tiap anak tangga menuju kamar, jantungnya berdebar semakin cepat dan napasnya sesak, seakan di dalam rumah mulai kehabisan oksigen. Kepalanya dihuni oleh kesalahan-kesalahan dan dosa yang sengaja ia lakukan kepada Zara. Padahal ia hanya ingin membuat Zara dalam kesulitan demi meluapkan rasa bencinya. Tidak membuatnya benar-benar hilang dan tak pernah kembali ke rumah. Sebab menurut perkiraannya, jarak rumah tidaklah begitu jauh dan belum pernah ada tindak kejahatan. Jadi hal itu masih dalam kategori ringan, pikirnya. Tetapi yang terjadi justru melampaui rencana. Seakan itu menjadi puncak keberhasilannya menyingkirkan seseorang yang paling tidak ia suka dalam hidupnya.
Ia tak kuasa. Kakinya menggigil hebat saat berhenti tepat di depan pintu kamar Zara. Meski ia berusaha kuat meninggalkan kamar itu, tapi keinginannya untuk masuk ke dalam tak bisa dicegah. Bisa saja Zara sekarang menjadi hantu yang mengerikan dan membalaskan dendam kesumat padanya. Tapi ia tak peduli pada rasa takut itu. Saat ia memutar pegangan pintu kamar Zara, hatinya justru dipenuhi oleh rasa sesal yang dalam. Juga rasa rindu yang sebelumnya tak pernah muncul dalam dadanya.
Kamar Zara begitu dingin. Seakan semua benda di dalam kamar itu ikut berduka dan membeku. Bahkan Sunny, ikan cupang berekor indah di dalam botol kaca di meja belajar Zara itu pun tak bergerak. Biasanya ikan itu sangat aktif. Seolah ia tahu bahwa pemiliknya tak akan pernah singgah lagi di kamar berwarna serba merah muda ini.
Ia menghela napas sembari duduk di ranjang tidur Zara. Dan tiba-tiba dalam kepalanya muncul banyak adegan di mana Zara bertingkah lucu dan menggemaskan. Yang seharusnnya hal itu membuatnya tertawa. Bukan marah dan bertambah benci. Semisal saat Zara memaksanya main kuda-kudaan, mencoret-coret buku gambarnya dengan bentuk-bentuk aneh, menumpahkan segelas susu di kepalanya, memeluk pundaknya erat hingga lebih mirip mencekik ketimbang memegang saat berboncengan naik sepeda, juga saat Zara tak sengaja menjatuhkan kue tart kesayangannya waktu itu. Itu adalah halhal konyol yang layak ditertawakan dan dikenang. Bukan malah untuk terus ditulis dalam daftar kebencian.
Tanpa terasa matanya dipenuhi mendung. Dan saat ia menutup kedua matanya, hujan langsung turun deras membasahi wajah remajanya. Hatinya menjerit memanggilmanggil nama adik perempuannya itu. Terlebih saat ia menarik buku harian Zara dan membaca tulisan pendek pada halaman pertama buku tersebut.
“Aku tidak tahu sampai kapan Kak Sarah membenciku. Tapi aku tidak akan pernah berhenti menyayanginya.”
Dadanya seperti dihantam sebuah batu bata dan dipenuhi luka. Tapi tidak mengucurkan setetes darah pun. Rasa sakit yang tak tertahankan membuat ia hanya bisa memukul sumber luka itu sendiri, yakni dadanya, sembari menahan tangisan. Dadanya yang dipenuhi kebencian pada seorang gadis kecil yang berselisih 6 tahun dari usianya. Di mana gadis itu adalah adiknya sendiri meski berasal dari ayah yang berbeda.
Ia terus menunduk, bermenit-menit memandang ikan cupang bernama Sunny yang tidak berminat untuk bergerak itu. Dan tak lama setelahnya ia kemudian berdiri, memandang ke segala penjuru kamar hingga tatapannya tertumbuk pada foto Zara yang cantik di dinding dekat jendela.
“Zara, Kakak rindu kamu….” Lirihnya.
Lalu ia bergegas keluar kamar. Menuruni anak tangga lebih cepat daripada saat ia naik. Menerobos orang-orang dengan sigap tanpa memandang. Dan berhambur keluar rumah, melompati beberapa orang yang sedang duduk di dekat pintu masuk sambil menangis, menembus malam yang kian gelap. Bahkan ia tak menghentikan langkahnya ketika ibu dan ayahnya memanggil.
“Sarah, mau ke mana kamu?”
“Aku mau membawa Zara pulang. Ini semua salahku. Aku akan menjemputnya.”
Ayahnya sontak langsung bangkit dan berlari mengejarnya. Diraih tangan anak gadisnya itu dan didekapnya erat. Ia berusaha berontak tapi tak cukup kuat untuk lepas dari tubuh ayahnya yang besar dan hangat. Lantas ia hanya bisa menangis sejadi-jadinya dalam dada pria yang bukan ayah kandungnya itu. Pria yang menyayanginya tanpa batasan meski telah memiliki anak kandung dari ibuku.
“Adikmu sudah pulang, Nak. Ia selalu bersama kita,” kata ayahnya menenangkan hatinya. Tapi ia menolak pemahaman itu. Karena ia tahu, Zara tewas ditabrak truk dan tak akan pernah kembali ke rumah. Dalam hatinya terus berombak pengandaian. Andai saja ia tidak dengan sengaja meninggalkan Zara saat itu. Andai saja ia memiliki kesempatan untuk memperbaiki semua keadaan ini.
M. Z. Billal, lahir di Lirik, Indragiri Hulu, Riau. Menulis cerpen, cerita anak, dan puisi. Karyanya termakhtub dalam kumpulan puisi Bandara dan Laba-laba (2019, Dinas Kebudayaan Provinsi Bali ), Membaca Asap (2019) dan telah tersebar di media seperti Pikiran Rakyat, Rakyat Sumbar, Radar Mojokerto, Haluan Padang, dan masih banyak lagi. Bergabung dengan Community Pena Terbang (COMPETER ) dan Komunitas Pembatas Buku Jakarta.
Leave a Reply