Cerpen Ahmad Moehdor Al-Farisi (Radar Tasikmalaya, 24 November 2019)
Hidup ini memang kompleks urusannya. Hari ini, dalam suasana ujian semester satu, tiba-tiba ada rekan guru yang menggelar kegelisahannya di hadapanku begitu saja. Aroma pagi yang masih menyisakan tempias hujan tadi malam seakan-akan turut prihatin dengan gejolak batin rekanku itu.
“Banyak orang yang mampu menuangkan kegelisahannya dalam tulisan dalam waktu yang singkat. Seakan-akan tak perlu berpikir panjang bagaimana cara menuliskannya. Berbeda halnya denganku, seorang guru yang oleh kebanyakan muridnya dianggap memiliki kekayaan intelektual yang lebih. Salah! Justru aku merasa betapa miskinnya aku dalam dunia akademisi yang aku geluti ini. Aku terlampau angkuh dalam meyakinkan diri bahwa aku seorang guru. Aku tak bisa menulis. Tak ada karya yang mampu memantulkan bayangan bahwa aku memang manusia yang dipilih dengan serentet pengetahuan.
Aku sering merasa tahu banyak hal. Namun, setiap kali ingin menuliskan pengetahuan itu jemari tanganku memberontak untuk digerakkan. Tak ada kata-kata yang keluar dari kepala. Tiba-tiba semuanya menutup, jadi gelap dan pengap. Kemana pengetahuan yang aku miliki?”
Rekanku menghentikan pembicaraannya. Kedipan matanya terlihat sangat berat. Perlahan diam-diam aku mengikuti alur napasnya yang dalam. Kegelisahannya semakin kentara ketika ia melanjutkan pembicaraan.
“Pernah suatu ketika aku mencoba menulis. Beberapa hari yang lalu, setelah antum bercerita tentang proses kretaif antum dalam berkarya, tiba-tiba ada didih dalam darahku. Hari itu juga aku mencoba membuka lembaran untuk menuliskan sesuatu. Tak banyak, hanya tiga puisi.”
Dia tersenyum. Aku pun ikut tersenyum sambil mengangkat bahu. Aku belum buka bicara. Masih ada setimbun gelisah yang aku lihat dari raut wajahnya. Aku beri kesempatan padanya untuk menggelar tuntas segala yang menimbun dalam lenguh napasnya itu.
“Tapi, aku merasa tiga puisi tersebut tidak bermanfaat sama sekali. Mana ada orang yang mau membaca tulisan seperti itu? Tak banyak pikir, aku buang begitu saja. Semakin memuncak kegelisahanku bahwa aku benar-benar tak punya kemampuan apa-apa.”
Ia membanting pelan kedua tangannya ke atas meja. Sejurus kemudian melepas pandangan ke luar ruangan. Kali ini aku harus benar-benar bicara. Secepatnya, sebelum ia benar-benar tenggelam dalam lautan yang ia ciptakan sendiri. Udara dingin pagi ini makin membuatnya gigil.
“Aku akan berusaha untuk menguraikan kegelisahanmu itu. Mari pelan-pelan kita selesaikan dengan kepala dingin.” Kataku di awal pembicaraan. Aku tak ingin mencairkan gumpalan yang kadung mengerak itu dengan seketika. Jangan sampai apa yang aku sampaikan makin membuat runyam pikirannya.
“Tak ada di dunia ini yang tak bisa kita lakukan.” Sekali lagi, aku masih berusaha untuk mengendorkan raut mukannya yang mengencang itu.
“Perihal menulis sebenarnya bukan soal mampu atau tidak mampu. Kaya pengetahuan atau terbelakang. Bukan! Menulis adalah soal kesadaran. Pertama yang harus dimunculkan adalah kesadaran “untuk apa aku harus menulis?” Kesadaran inilah yang akan memicu kita untuk berkarya. Apabila menulis hanya sebatas kemauan saja, tak ada landasan berpikir yang benar, maka menulis akan menjadi beban. Bahayanya lagi, karena tak ada kesadaran yang baik, kita akan membabibuta menjatuhkan martabat diri sendiri. Menganggap dirinya bodoh. Justifikasi inilah yang justru semakin melemahkan kita untuk berkarya.
“Apalagi soal mampu. Kalau memang menulis hanya sebatas kemampuan belaka, bukankah tadi antum bisa menghasilkan puisi meskipun baru tiga? Bukankah itu menunjukkan bahwa antum mampu untuk menulis? Lantas, mengapa tiba-tiba antum membuangnya begitu saja?”
Aku berhenti sejenak. Aku lihat dia hanya sesekali saja mengedipkan mata. Sepanjang aku bicara ia menatapku tajam.
“Tiga puisi tersebut antum buang bukan karena isinya tidak menarik, melainkan tak ada kesadaran untuk apa antum menulis puisi tersebut.” Tegas dan menukik. Sengaja aku tekan kalimat ini dengan suara tenggorokan. Aku lihat dia menghela napas panjang, kemudian melepas bebas menghujam pangkuannya. Kernyit matanya menunjukkan bahwa dia sedang memikirkan perkataanku.
“Bagus tidaknya tulisan itu relatif. Sama halnya seperti hakikat Allah. Ada yang mengimani, ada pula yang mengingkari. Lantas apakah kita ikut mengubur dalam-dalam hakikat Allah gara-gara ada yang tidak mengimani? Tidak semua manusia menerima kehadiran al-Quran, lantas apakah kita harus membakarnya gara-gara ada yang tidak menerima? Begitupun dengan karya kita, dengan tulisan kita. Tidak semuanya akan menolak, atau bahkan menentang gagasan yang kita usung di dalamnya. Pasti ada yang menerima dan tulisan kita itu mampu memberikan tambahan wacana bagi pembacanya. Lupakanlah prasangka negatif tersebut. Singkirkan jauh-jauh. Yang perlu kita pikirkan bukan siapa yang mau membaca, tapi untuk apa kita berkarya. Untuk apa?”
Kernyit matanya makin rapat. Ada sedikit anggukan dari pertanyaanku itu. Ada sedikit rasa lega dari hembusan napasnya. Tak lama jeda, aku lanjutkan lagi diskusi terapeutik ini.
“Soal teknis bisa kita kejar sambil jalan. Yang utama adalah niat. Kalau niatnya benar, insya Allah seberat apapun akan terselesaikan dengan baik. Perihal ada yang bisa menulis dengan cepat ada yang tersendat-sendat bukan terletak pada kepintaran dirinya. Banyak kok orang pintar tak bisa menulis. Pintar bukan jaminan mutlak. Tapi, orang yang mampu menulis bisa dijamin dia memiliki kepintaran khusus dibanding lainnya.
Ini soal tabungan kata-kata saja. Proses menulis itu sama halnya dengan menarik tunai dari ATM. Sampai kapanpun aku tidak akan bisa menarik tunai tiga ratus ribu bila saldo ATM-ku hanya tujuh puluh lima ribu. Mau marah-marah kek, mau mencaci mesin ATM-nya kek, atau bahkan dibelain ngewirid tiga hari tiga malam, dijamin gak bakalan keluar itu uang. Demikian halnya dengan menulis.
Mengapa ada orang yang tersendat-sendat dalam menulis, sedangkan banyak hal yang ingin dia tuangkan? Karena saldonya tidak cukup. Tabungan kata-kata dalam kepalanya tak sebanding dengan jumlah keinginannya. Tak ada cara lain untuk melancarkan tulisan kecuali membaca.
Sejatinya membaca itu menabung kata-kata. Banyak-banyaklah membaca, dengan begitu kita akan mudah dalam menuliskan kegelisahan yang ada. Ingat, orang yang suka membaca saja belum tentu mampu menulis, bagaimana yang tidak suka membaca?”
Aku menghentikan pembicaraan. Ada senyum yang merekah dari wajahnya. Kini ia terlihat lebih rileks. Aku pun memberikan senyuman sebagai salam bahagia dan doa semoga ada sedikit cahaya yang mencerahkan dari obrolan pagi ini.
Di luar langit masih sayu. Sisa hujan tadi malam benar-benar memanjakan segalanya.
Ahmad Moehdor Al-Farisi, penulis tinggal di Tangerang. Pengajar di Pondok Pesantren Daar el-Qolam 3 Kampus Dza ‘Izza, Tangerang. Buku kumpulan esainya Intelektualitas, Agama dan Karya (Pustaka Ilalang, 2014). Buku kumpulan puisinya Kesaksian sebagai Isyarat (#Komentar, 2019) mendapatkan anugerah Buku Puisi Terpuji Hari Puisi Indonesia 2019.
Leave a Reply