Oleh Sulistiyo Suparno (Suara Merdeka, 08 Januari 2017)
Di lereng sebuah bukit, hiduplah seorang gadis kecil bernama Selina. Selina tinggal di gubuk sederhana bersama ibunya yang biasa dipanggil Ibu. Ibu Selina adalah seorang penjual buah-buahan. Setiap hari Ibu pergi ke pasar untuk menjual beraneka jenis buah. Saat pulang dari pasar, Ibu sering membawa bunga yang ia temukan di perjalanan. Kadang, Ibu juga membawa bunga beserta pohonnya, lalu ia berikan kepada Selina.
“Kau tanamlah pohon-pohon bunga ini di sekitar rumah kita,” kata Ibu.
Selina menurut. Ia menanam beraneka jenis pohon bunga itu di tanah sekitar rumahnya. Selina merawat pohon-pohon bunga itu dengan telaten, sehingga tumbuh dengan baik.
Beberapa tahun kemudian, tanah di sekitar rumah mereka telah penuh dengan pohon bunga. Bunga-bunga bermekaran dan menyebarkan bau harum, sehingga pemandangan di lereng bukit itu menjadi sangat indah dan nyaman. Begitu pula dengan Selina, yang telah tumbuh menjadi gadis remaja. Ia pun ingin membantu Ibu mencari uang.
“Ibu, bagaimana kalau Selina menjual bunga-bunga itu ke pasar?” tanya Selina.
“Baiklah. Ibu akan membantu kau memetiknya,” jawab Ibu.
***
Pagi-pagi sekali Selina berangkat ke pasar. Ia menggendong keranjang di punggung yang penuh bunga beraneka warna. Tetapi, tak satu pun bunga yang terjual. Orang-orang di pasar menertawakan Selina karena menjual bunga.
“Di kebunku pun ada beberapa pohon bunga. Untuk apa aku membeli bunga padamu?” kata seorang pengunjung pasar.
Selina pulang dengan menundukkan kepala dan melangkah lesu. Selina sedih karena tak bisa membantu Ibu mencari uang.
Di perjalanan pulang, Selina melihat rombongan kereta kerajaan. Kereta itu berhenti di dekat Selina. Dari pintu kereta, keluarlah seorang puteri.
“Apakah semua bunga ini milikmu?” tanya Tuan Puteri.
“Benar, Tuan Puteri. Saya menanamnya di sekitar rumah. Saya hendak menjualnya, tetapi tak satu pun bunga yang terjual, Tuan Puteri,” kata Selina.
Tuan Puteri yang memang menyukai bunga-bunga lalu membeli semua bunga yang dibawa Selina. Tuan Puteri memberikan 10 keping uang perak kepada Selina.
“Oh, banyak sekali. Semua bunga saya ini berharga 10 keping uang perunggu saja, Tuan Puteri,” sahut Selina.
“Tak apa. Terimalah. Baiklah, aku akan melanjutkan perjalanan pulang ke istana. Oh ya, siapa namamu dan tinggal di mana?” tanya Tuan Puteri.
“Nama saya Selina, Tuan Puteri. Saya tinggal di lereng bukit, di selatan kampung ini,” jawab Selina.
Selina pulang dengan hati gembira. Ia lalu menyerahkan 10 keping uang perak itu kepada Ibu. Ibu terkejut sekali, karena baru kali ini memegang uang perak. Uang perak hanya dimiliki orang-orang kaya. Biasanya, Ibu hanya memiliki uang perunggu, uang yang biasa dimiliki orang-orang miskin.
“Oh, terima kasih, Tuhan,” ucap Ibu, lalu ia berkata KEpada Selina, “Uang ini terlalu banyak buat kita. Kita harus membaginya dengan orang lain. Meski kita miskin, kita tetap harus bersedekah. Besok, kau berikan sembilan uang perak ke panti asuhan. Untuk kita cukup satu keping uang perak,” kata Ibu.
“Baik, Ibu,” jawab Selina.
Esoknya, Selina pergi ke panti asuhan memberikan sembilan keping uang perak.
“Oh, terima kasih Nak Selina. Sampaikan terima kasih kami kepada ibumu yang dermawan. Semoga Tuhan membalas kebaikan kalian hari ini,” kata ibu pengasuh panti asuhan.
***
Hari berganti hari. Suatu hari datanglah seorang pengawal istana ke rumah Selina. Pengawal ini diutus oleh Tuan Puteri untuk memesan aneka jenis bunga pada Selina.
“Tuan Puteri akan mengadakan festival bunga. Akan banyak benda-benda dan kereta berhiaskan bunga pada festival itu. Tuan Puteri membutuhkan banyak sekali bunga. Apakah kau bisa memenuhi permintaan Tuan Puteri?” tanya pengawal.
“Akan saya usahakan, Tuan Pengawal,” jawab Selina.
“Besok, akan datang lima gerobak untuk mengangkut semua bunga-bungamu,” kata pengawal, lalu pamit hendak pulang.
Begitulah, keesokan harinya pengawal itu datang kembali membawa lima gerobak untuk mengangkut aneka jenis bunga dari kebun di sekitar gubuk Selina. Sebelum kembali ke istana, pengawal memberikan sekantung uang emas kepada Selina.
Selina memberikan sekantung uang emas itu pada ibunya. Hari ini sungguh membahagiakan. Selina dan Ibu saling berpelukan dan air mata mereka menetes karena begitu bahagia.
“Itulah balasan bila kita gemar bersedekah, anakku. Tuhan akan membalasnya dengan berlipat-lipat,” kata Ibu.
Seperti biasa, Ibu menyuruh Selina ke panti asuhan. Kali ini Selina memberikan sembilan keping uang emas di panti asuhan itu.
“Oh, apakah semua ini mimpi? Hari ini kau memberikan sembilan keping uang emas? Kau dan ibumu tinggal di gubuk, tetapi kalian memberikan uang emas kepada kami. Sungguh mulia hati kalian,” kata ibu pengasuh panti asuhan.
Beberapa hari kemudian, ibu pengasuh panti asuhan datang bersama puluhan anak panti asuhan dan beberapa tukang bangunan.
“Oh, selamat datang di gubuk kami,” kata Selina menyambut kedatangan mereka.
“Ada apa ini? Mengapa ibu pengasuh datang beramai-ramai ke gubuk kami yang jelek ini?” tanya ibu Selina.
Ibu pengasuh panti asuhan tersenyum, lalu berkata, “Kami ingin membalas kebaikan kalian. Hari ini kami membawa beberapa batang kayu dan bahan bangunan lain. Kami ingin memperbaiki rumah Ibu dan Selina.”
Kemudian anak-anak dan beberapa tukang bangunan mulai memperbaiki gubuk Selina. Mereka bekerja dengan hati riang. Beberapa hari kemudian gubuk Selina telah berubah menjadi rumah kayu yang indah. Selina dan ibunya pun menjadi orang yang dihormati, karena kegemaran mereka bersedekah. (75)
Leave a Reply