Oleh Khusnul Khotimah (Suara Merdeka, 26 Maret 2017)
“AKU Merak yang sangat cantik. Buluku berwarnawarni, indah sekali. Aku memang merak yang sangat cantik,” kata Merak berbicara sendiri.
Langit cerah menaungi pepohonan Hutan Ceria. Semburat cahaya pagi menembus dedaunan yang lebat. Tampak beberapa binatang sedang bermain-main. Tekukur dengan suara paraunya, terbang sambil bernyanyi. Monyet yang sedikit bau sibuk menggaruk-garuk tubuhnya yang tidak gatal. Kelinci ceria melompat-lompat dengan gayanya yang lincah. Semua hewan di Hutan Ceria menikmati keindahan pagi karunia Illahi.
“Assalamualaikum, Merak yang cantik? Bolehkah aku menemanimu bermain?” sapa Tekukur mendekati Merak yang sendirian. Merak hanya terdiam dan memalingkan wajah cantiknya.
“Merak, bolehkah aku bermain denganmu?” kata Tekukur mengulangi pertanyaannya.
“Hmmm…, bermain denganmu? Aku, bermain denganmu? Bisa-bisa aku tertular suara paraumu Tekukur,” jawab Merak mengejek Tekukur.
Tekukur hanya terdiam mendengar jawaban Merak. Tekukur sedih dan sangat kecewa. Ia pun pergi meninggalkan Merak.
Tak berapa lama, datanglah Monyet mendekati Merak.
“Hai Merak, bolehkah aku menemanimu bermain?” tanya Monyet ragu.
“Apa?? Aku yang cantik ini bermain dengan monyet bau sepertimu?”
“Merak, kalau kamu tidak mau bermain denganku sebaiknya berkatalah yang baik, jangan mengejekku,” kata Monyet menasihati Merak.
Monyet lalu pergi meninggalkan Merak dengan langkah gontai. Wajahnya penuh kesedihan. Dari kejauhan terlihat Kelinci dengan lincah berjalan. Melihat Merak sendirian, Kelinci mengajaknya bermain bersama.
“Pagi Merak, yuk bermain denganku. Kita berjalan-jalan mengelilingi hutan,” ajak Kelinci.
“Bagaimana mungkin aku bermain denganmu Kelinci? Gigi jongosmu akan merusak kecantikanku,” ejek Merak.
“Kalau tidak mau, tidak usah mengejek. Aku bisa bermain dengan Tekukur dan Monyet,” kata Kelinci sembari meninggalkan Merak sendirian.
Begitulah Merak, semua binatang yang mengajaknya bermain ditolaknya. Merak lebih suka sendirian, karena menurutnya teman-teman yang mengajaknya bermain akan mengurangi kecantikan dirinya.
***
Cahaya matahari mulai meredup. Awan cerah tertutup awan hitam yang bergerak perlahan. Angin bertiup menggoyangkan dedaunan hutan. Awan hitam berhiaskan kilatan cahaya petir. Suaranya yang nyaring mulai terdengar. Rintik-rintik hujan jatuh ke bumi. Merak buru-buru menuju ke sarangnya. Tak satu pun binatang ia temui selama perjalanan pulang. Sepertinya semua binatang sudah menyelimuti tubuhnya yang kedinginan. Merak mulai terlihat cemas.
“Gelap sekali hutan ini. Tak satu pun binatang menyapaku,” kata Merak dalam hati. Dengan langkah cepat Merak berjalan. Ia tidak menghiraukan sekelilingnya.
“Augh, kakiku! Apa ini? Hah, tali pemburu,” kata Merak ketakutan.
Merak mencoba melepaskan diri dari tali yang menjeratnya. Tapi semakin Merak bergerak, semakin kuat pula tali itu mengikat tubuhnya.
“Tolong…” teriak Merak meminta tolong. Namun, tak seekor binatang pun mendengar teriakannya.
Tubuh Merak mulai lemas, ia pasrah dengan keadaannya saat itu. Terbayang olehnya wajah temanteman yang mengajaknya bermain, Tekukur, Monyet, dan Kelinci.
“Di mana mereka? Kenapa mereka tidak mendengar teriakanku,” kata Merak sambil terisak.
Hari semakin gelap, suara binatang malam mulai terdengar. Tubuh Merak terlihat lemah lunglai. Ia hanya terdiam, tidak lagi berani menggerakkan tubuhnya. Perlahan, matanya mulai terpejam.
***
Pagi yang cerah, burung-burung berkicau menghiasi keindahan pagi di Hutan Ceria. Sayang, keindahan itu tak seindah bulu Merak pagi ini. Cahaya matahari memaksa Merak membuka matanya.
“Eugh! Alhamdulillah, hari sudah pagi. Kalau aku teriak, pasti teman-teman akan menolongku. Toloooong,” teriak Merak.
Terlihat Tekukur, Monyet, dan Kelinci seperti biasa berjalan-jalan mengelilingi hutan untuk mencari makan. Langkah ketiganya terhenti mendengar suara teriakan meminta tolong. Dengan cepat, mereka menembus pepohonan mendekati sumber suara. Selang beberapa lama, mereka menemukan sumber suara itu. Dilihatnya seekor binatang yang terjerat oleh tali pemburu.
“Kasihan sekali, ia terkena jerat tali pemburu,” kata Kelinci.
“Sebentar, sepertinya Merak angkuh itu,” kata Monyet.
“Iya betul, itu Merak angkuh,” kata Tekukur kemudian.
“Tolong aku teman-teman, tolong aku,” pinta Merak.
“Sudahlah, jangan hiraukan dia. Bukankah dia senang sekali mengejek kita? Ayolah, kita tinggalkan saja dia. Biarlah dia diambil pemburu jahat itu. Paling-paling dia akan dibakar untuk dimakan,” lanjut Tekukur.
Kelinci melompat dengan lincahnya, menghentikan langkah Tekukur.
“Tekukur, tidak usah kau ingat-ingat kejelekannya. Ini saatnya kita berbuat baik. Ayolah kawan, kapan lagi kita akan membuktikan kalau kita saling menyayangi?” kata Kelinci.
Ketiganya lalu mendekati Merak yang malang. Tubuh Merak semakin tidak berdaya. Perlahan, ketiganya mencoba melepas jeratan tali. Merak terlihat kesakitan. Akhirnya, jeratan itu perlahanlahan terlepas. Merak tertunduk malu. Ia tak sampai hati menatap wajah teman-teman penolongnya.
“Teman-teman, aku minta maaf. Aku janji tidak akan mengejek kalian lagi. Aku janji akan bermain dengan siapa pun tanpa pilih-pilih. Maukah kalian memaafkanku?” pinta Merak.
Tekukur, Monyet, dan Kelinci saling berpandangan, ketiganya mengangguk. Tanda bahwa mereka telah memaafkan Merak. Ketiganya berpelukan. Alhamdulillah, Merak sudah menyadari kesalahannya. Merak berjanji mulai hari itu tidak lagi mengejek teman-temannya. Dia juga berjanji akan bermain dengan siapa pun. (58)
Leave a Reply