Oleh Lukman Hakim (Suara Merdeka, 23 April 2017)
Raja Bimasakti mengumpulkan penghuni galaksi di Kerajaan Alam Semesta. Dari Matahari, Bumi, Bulan serta Planet, Hujan, dan Awan, semua diundang untuk membahas kekacauan ekosistem. Selama bertahun-tahun tidak turun hujan yang menyebabkan musim kemarau panjang. Sungai-sungai kering, sumur-sumur menyisakan sedikit air. Tumbuhan banyak yang mati. Akibatnya terjadi kelaparan dan kematian mahluk hidup di darat dan laut. Lebih parahnya lagi Bulan juga sudah tidak mau bercahaya, sehingga menggelapkan Bumi saat malam hari.
Sebelum terjadi kekacauan dan kehancuran alam semesta, Raja Bimasakti mencoba mendamaikan perseteruan antara Matahari dengan Hujan, Awan, dan Bulan serta Bumi. Setelah semua hadir, Raja Bimasakti memulai menginterogasi.
“Wahai Hujan, kenapa kamu tidak mau turun lagi ke Bumi?” tanya Raja Bimasakti.
“Maafkan saya yang mulia. Ini semua karena hasutan Matahari kepada manusia. Dia mengatakan tanpa cahaya dari dirinya maka tidak akan ada Hujan, sehingga manusia mengumpat saat sering turun Hujan. Tidak ada lagi ucapan syukur. Sejak saat itu, saya sakit hati dan tidak mau lagi turun ke Bumi. Saya tetap tinggal di awan,” ucap kesal Hujan.
“Betul itu yang mulia,” imbuh Awan membela Hujan.
“Wahai Matahari, apakah betul yang dikatakan Hujan?” tanya Raja Bimasakti.
“Iya Raja, saya memang pernah mengatakan itu. Bukankah itu kenyataan? Terjadinya Hujan diawali oleh panas dariku, membuat air yang ada di permukaan Bumi menguap. Terbentuklah Awan dari uap-uap tersebut. Angin membuat Awan kecil berkumpul menjadi besar. Karena kandungan air di Awan yang sudah besar dan tidak bisa ditampung lagi maka turunlah Hujan. Tanpa panas dariku tidak akan ada kamu, Hujan!” kata Matahari angkuh.
Penjelasan dari Matahari bukan menyelesaikan masalah, melainkan justru membuat makin keruh keadaan. Semua yang hadir bertambah kesal karena kesombongan Matahari.
“Berikutnya giliranmu Bulan. Kenapa kamu tidak lagi memancarkan cahaya?” tanya Raja Bimasakti.
Dengan agak terbata-bata dan bercerita putus-putus, Bulan menjelaskan peristiwa yang terjadi pada dirinya.
“Maafkan saya yang mulia. Dia juga menghasut manusia supaya tidak lagi memuji keindahan cahayaku. Saya dianggap telah mencuri cahaya dari Matahari. Hasutan itu membuat manusia enggan menuliskan keindahan cahayaku di dalam puisinya. Saya malu dan sakit hati. Sejak itu saya tidak mau lagi menerima pantulan cahaya darinya,” kata Bulan sambil sesenggukan.
“Betul cerita Bulan wahai Raja,” sambung Bumi yang semakin geram melihat tingkah Matahari yang menjengkelkan.
“Begini aku jelaskan dulu saudara-saudaraku. Kalau Bulan tidak bercahaya itu betul bukan fitnah. Bulan memang tidak bercahaya, namun memantulkan cahaya dariku. Hal ini bisa terjadi karena ada kalanya ketika orbit dari Bulan, Bumi, dan Matahari sesuai, maka cahaya dariku bisa menerpa sebagian permukaan Bulan. Permukaan Bulan yang terkena cahaya dariku itulah yang menyebabkan Bulan terlihat seolah-olah mengeluarkan cahaya. Lalu, salah saya di mana?” bentak Matahari kepada Bulan.
Sejenak semua diam, tegang, dan kaku. Tidak ada sepatah kata pun keluar. Semua memasang raut wajah sangat serius. Raja Bimasakti mencoba menengahi mereka dan mencairkan suasana.
”Apa yang kamu katakan itu benar Matahari. Cahayamu memang bermanfaat bagi alam semesta. Seperti proses fotosintesa tumbuhan, menguapkan air sebelum terjadinya Hujan, dan cahayamu yang membuat seolah-olah Bulan bercahaya. Tapi, tidak seharusnya kamu bersikap sombong dan angkuh, karena semua mempunyai manfaat sesuai dengan fungsinya. Seperti temanmu Hujan yang berguna untuk air minum manusia, hewan, dan menyuburkan tanaman. Awan berguna untuk menampung uap air sebelum terjadinya Hujan. Bumi berguna untuk tempat kehidupan. Sementara Bulan sebagai pelindung Bumi dari hantaman komet dan memberi penerangan saat malam hari. Kalau saja ada satu penghuni galaksi yang tidak sejalan, hancurlah alam semesta ini dan kamu pun ikut hancur Matahari,” kata Raja Galaksi tegas.
“Kau tidak adil wahai Raja! Membela yang lain dan hanya menyalahkanku,” jawab Matahari ketus, sesaat sebelum pergi meninggalkan perkumpulan dan tanpa pamit.
***
Bertahun-tahun dilanda kekeringan dan tidak ada Hujan membuat manusia menderita. Mereka mulai menyadari telah dihasut Matahari agar membenci Hujan, Awan, dan Bumi serta Bulan. Sebagai bentuk kemarahan, manusia menjauhi cahaya Matahari. Mereka memilih tinggal di gua yang gelap. Setelah semua manusia pergi menjauhi Matahari dan tidak mau memujinya lagi, Matahari tinggal sendiri dan hanya berteman sepi. Matahari mulai merasakan hidup sendirian itu hampa. Ia pun sadar dan menyesali akan kesalahannya. Sebelum kehancuran melanda, Matahari segera menghadap Raja Bimasakti dan menemui saudara-saudaranya.
“Maafkan saya yang mulia dan saudara-saudaraku. Saya telah menghasut manusia untuk membenci saudaraku semua. Saya berjanji tidak akan berbuat seperti itu lagi,” ucap penyesalan Matahari.
“Matahari, semoga kamu bisa mengambil hikmah dari kejadian ini. Jangan karena keegoisan dan kesombonganmu, mengakibatkan bencana pada alam semesta ini.” jawab Raja yang diiyakan oleh saudara-saudaranya dengan penuh keikhlasan.
Akhirnya, mereka kembali menjalankan tugas sesuai dengan fungsinya masing-masing. Tidak ada lagi yang merasa paling bermanfaat. Mereka sadar satu sama lain saling membutuhkan demi berlangsungnya Kerajaan Alam Semesta. (58)
Leave a Reply