Cerpen, Fajar Makassar, R Amalia

Tiga Laki-Laki dalam Satu Waktu

2.7
(6)

Sudah bertahun-tahun lamanya, Sani tak kunjung naik pelaminan. Padahal usianya sudah menginjak angka kepala tiga. Orang tuanya khawatir bahwa Sani sudah tak lagi memiliki keinginan untuk menikah.

“Sani, apakah kau tidak ingin menikah, Nak?” sang ibu bertanya.

Namun, Sani hanya tersenyum. Ibunya semakin khawatir. Kekhawatirannya ini bukan tanpa sebab. Berulang kali ada saja laki-laki yang mendekatinya, tetapi Sani hanya diam. Sani tak mau berkata apa-apa. Ia tak menolak, tetapi juga tak menunjukkan tanda-tanda menerima. Ibunya tahu mengapa Sani melakukan hal itu.

Semenjak ditinggal laki-laki yang disukainya pergi studi ke luar negeri, Sani lebih memilih untuk sendiri. Baginya kesendirian adalah pilihan yang tepat daripada harus berhubungan dengan laki-laki yang tak jelas di luar sana. Sani memang dikenal sebagai perempuan cerdas dan soliha di lingkungannya, tetapi orang-orang juga tahu bahwa dirinya tak mudah jatuh cinta.

Dalam penantiannya, Sani tetap percaya bahwa suatu hari akan ada seorang laki-laki yang cocok dengan kepribadian dirinya dan akan meminangnya. Keberadaan laki-laki itu bisa jadi tak jauh dari kehidupannya. Ia berpikir mungkin saja laki-laki itu adalah teman lamanya, orang yang baru dikenal, atau bisa jadi laki-laki yang dulu pernah dekat dengannya. Itupun bila laki-laki tersebut memang ingin kembali dan masih menyimpan rasa.

Untuk mengisi masa penantian, Sani memutuskan untuk terlibat aktif dalam sebuah organisasi. Organisasi itu tak sembarangan. Dari sekian ribu orang, dia terpilih untuk terlibat di dalamnya. Kesenangannya menulis membuatnya yakin untuk maju dalam organisasi tersebut. Meski tanpa gaji, Sani pun mengikhlaskan diri untuk terjun dalam rangka memajukan kesenian di daerah tempat ia tinggal. Hal ini sangat bertolak belakang dari profesinya sebagai seorang pengajar. Namun, bagi Sani tugas tetaplah tugas. Tugas baginya adalah amanah yang harus ditunaikan.

Baca juga  Gerimis Tipis dari Sudut Mata Burung-burung Kecil

Sani bukan tak berpikir panjang, beberapa kali sebenarnya ia diminta untuk segera keluar dari organisasi itu oleh ibu dan orang sekolah. Selain terkadang harus pulang malam, ibu Sani khawatir jika dia kelupaan akan usianya yang semakin bertambah dan tak kunjung menikah.

Bagi ibunya cukuplah Sani mengajar sebagai guru saja, itu sudah dirasa menyita waktu dan tenaga. Selain itu, menurut ibunya, seorang perempuan memang lebih baik menjadi guru saja. Tak perlulah ikut yang lain. Ibunya juga merasa sendirian apabila Sani keluar untuk mengikuti kegiatan yang terkait dengan organisasi itu. Namun, Sani tak menggubris. Hal tersebut dilakukan bukan lantaran karena Sani tak sayang dan tak ingin patuh pada orang tua. Ia melakukan semua itu semata-mata untuk mengisi hari-harinya yang kian berkurang dengan aktivitas yang dapat membuat hatinya merasa bahagia. Lebih dari itu, Sani memang berjiwa sosial tinggi. Ia ingin hidupnya bermanfaat untuk orang lain. Di lingkungan sekolah pun ia sering membantu untuk hal-hal yang berhubungan dengan peningkatan literasi siswa dan guru.

Sungguh hal itu bukanlah perkara yang mudah untuk diputuskan. Sani tahu konsekuensi yang harus ia tanggung. Ia disibukkan dengan dua aktivitas. Aktivitas yang satu adalah organisasi, sedangkan di sisi lainnya ia juga harus mengemban amanah sebagai seorang pengajar. Belum lagi waktunya harus terkuras di rumah. Ah tetapi itu tak jadi masalah kata Sani dibandingkan kehidupan orang lain di luar sana.

Memang pernah terlintas dalam benaknya untuk berhenti dari organisasi dan fokus saja menjadi pengajar. Namun, hati kecil Sani berkata bahwa kesempatan tak datang dua kali. Kesempatan berorganisasi dan mengajar sekaligus akan membuatnya belajar mempersiapkan diri menjadi seorang ibu dan istri. Hitung-hitung melatih kesabaran dan konsistensi bahwa kehidupan setelah berumah tangga akan sangat berbeda dari kehidupan yang selama ini ia jalani sebagai bujang. Apa-apa yang selama ini diputuskan sendiri akan berubah menjadi tanggungan bersama. Tidakkah ini juga yang dipelajarinya saat berorganisasi dan mengajar?

Baca juga  Senja di Atas Kolam

Belum selesai memikirkan itu, kini menjelang usia 33, Sani didatangi dua laki-laki yang tak dikenalnya dalam satu waktu. Pertama, laki-laki ini lebih tua usianya dibandingkan dirinya. Yang kedua, laki-laki tersebut lebih muda. Sani bingung bagaimana kedua laki-laki ini bisa tahu tentangnya. Sementara Sani sama sekali tak mengenal kedua laki-laki itu. Bahkan kedua laki-laki itu datang untuk mengajukan lamaran. Sani berpikir mungkin mereka berdua salah orang, tetapi ketika ditanya, dua laki-laki tersebut memang tak salah. Apakah itu karena ia berada dalam organisasi atau apa?

Sani menjadi bimbang hingga tak berselang lama datanglah laki-laki ketiga. Laki-laki itu adalah laki-laki yang dulu pernah meninggalkannya. Kini laki-laki tersebut juga mengajukan lamaran. Sani semakin bingung dan melakukan hal yang tak terduga untuk ketiganya. Sani meminta kepada ketiganya untuk melakukan sesuatu selama beberapa hari. Jika sudah melakukannya, barulah Sani akan memberikan jawaban.

Beberapa hari berlalu, tiba waktunya Sani memberikan jawaban. Ketika Sani akan memberikan jawaban, laki-laki yang usianya lebih tua mengundurkan diri. Kini tersisa hanya dua laki-laki. Laki-laki itu adalah laki-laki yang usianya lebih muda dari Sani, sedangkan satunya adalah laki-laki yang dulu pernah meninggalkannya. Bagi Sani itu tak jadi masalah.

Sementara itu, suasana jadi menegangkan saat Sani mengeluarkan secarik kertas dari tas ranselnya. Sepertinya dari kertas itu barulah dapat diketahui siapa akhirnya yang dipilih Sani. Keduanya pun membaca tulisan yang diberikan. Ketika membaca tulisan tersebut, laki-laki yang lebih muda dari Sani mengernyitkan dahi, sedangkan laki-laki yang dulu pernah meninggalkannya langsung menundukkan kepala seraya merenung. Aku penasaran apa yang ditulis Sani. Aku sama sekali tak mengerti tentang dirinya. Mengapa perempuan itu suka merumitkan diri? Inginnya dimengerti, tetapi membiarkan laki-laki yang mencari tahu sendiri. Meski kami masih sepupuan, sebagai saudara laki-laki, aku tak mengerti apa yang sesungguhnya saudara perempuanku itu lakukan. (*)

Baca juga  Antologi Pengkhianatan Dutasena

R AMALIA. Pengajar di SDIT Insan Kamil Sidoarjo. Alumnus Sastra Indonesia-Unesa.

Loading

Average rating 2.7 / 5. Vote count: 6

No votes so far! Be the first to rate this post.

Leave a Reply

error: Content is protected !!