Oleh Arrum Lestari (Suara Merdeka, 18 Juni 2017)
Musim hujan sudah datang seminggu terakhir. Kera-kera yang tinggal di lereng gunung sedang bimbang. Mereka bingung, haruskan mencari tempat lain yang aman? Atau mengungsi ke rumah-rumah warga kampung di bawah lereng? Mereka tahu, tanah di lereng gunung telah gundul dan kera-kera cerdik itu merasa sebentar lagi akan longsor karena hujan.
Di hutan dalam lereng gunung tempat tinggal kera-kera itu, hiduplah seekor ular piton besar. Ular piton adalah pemangsa yang hebat. Ia membuat sarang di bekas pohon yang ditebang. Ular piton hidup menyendiri, sepi, dan menunggu sesuatu untuk dimangsa. Saat lapar tiba, ular piton berwarna cokelat motif batik itu keluar dari sarang.
“Mendung!” gumam si piton. “Mulai gerimis! Sebentar lagi hujan pasti lebat. Aku suka sekali. Saat seperti ini banyak sesuatu yang bisa kumangsa.”
Ular itu tahu setiap hujan turun binatang-binatang penghuni hutan di lereng gunung hanya bisa berteduh, kadang di bawah pohon, kadang di goa-goa kecil tempat persembunyian mereka. Tidak banyak yang bisa mereka lakukan selain berteduh menunggu hujan reda.
Si piton segera melata, mengendus aroma daging calon mangsanya. Lidahnya menjulur-julur lucu. Saat berjalan santai di bawah hujan, si piton pun melihat seekor kera mungil yang sedang berteduh di bawah pohon aren. Kera itu menggigil.
“Ah, santap siang yang enak ini,” gumam Piton. Ia sudah membayangkan kelezatan setiap inci tubuh kera yang renyah. Pasti gurih! batinnya. Andai saja semua itu bisa dilakukannya dengan mudah. Kemudian ia mencari-cari strategi untuk segera menyergap si kera agar tepat sasaran.
Sesampainya di dekat kera mungil itu, si piton mendengar si kera sedang merintih, seperti kesakitan. Si piton tiba-tiba berubah pikiran. Ah, sakit apa dia? Tanya Piton dalam hati.
Piton kembali melata mendekati kera yang menggigil dan merintih sendirian.
“Hei, Kera? Kau menggigil? Kau merintih? Kau sakit? Demam?” tanya Piton setelah menampakkan diri di depan kera mungil itu.
“Piton? Kau membuatku kaget. Mau ke mana kau, hujan-hujan begini?”
“A-aku. Aku mau lewat saja. Aku suka hujan-hujanan. Karena aku bisa bermain air. Kau belum jawab pertanyaanku, Kawan?” kata Piton lagi.
“Hmm, ya, kakiku memang sedang sakit. Seseorang tadi membuat jebakan di ujung hutan. Aku sempat terjepit jebakan besi. Aku dikira tikus apa, ya? Dijebak dengan benda mirip jebakan tikus. Lihat ini, kakiku luka. Untung aku bisa melepaskan diri,” rintih Kera.
“Aih, lukamu lumayan parah, Kawan. Darah masih mengucur, tuh! Kalau kau tak bersihkan bisa membusuk kakimu.”
“Benar juga. Akan ada banyak kuman sepertinya. Dan sekarang aku sudah merasakan ada kuman-kuman menjalar di tubuhku. Ah, jangan-jangan sebentar lagi aku mati membusuk, berbelatung. Bagaimana ini, Piton? Ah, kenapa kau tak makan aku saja? Cepatlah!” kata Kera memelas.
Piton sedikit bimbang. Ia merasakan dilema, perutnya memang lapar, tetapi ia jijik membayangkan kera itu sudah dipenuhi kuman yang sebentar lagi membusuk.
“Ah, tidak, tidak. Aku tak tega, Kawan. Kau sedang teraniaya. Tak boleh memangsa lawan yang sedang teraniaya.”
Padahal dalam hati, Piton takut kalau kuman dalam kera itu akan berpindah ke tubuhnya. Selera makan Piton hilang seketika.
“Oh, begitukah, Kawan?”
“Ya, tentu saja!’
“Baiklah, kalau begitu aku akan mencari air di sungai untuk membersihkan lukaku ini. Boleh aku pamit?”
“Baiklah. Kau tenang saja, Kawan. Lain kali aku tak akan memburumu. Meskipun kau sudah sehat kembali.”
“Kau janji, Piton?”
“Iya. Aku janji. Sana, pergilah. Sembuhkan lukamu dulu. Aku pun mau melanjutkan perjalananku. Aku mau cari tupai saja. Sebenarnya aku sedang lapar,” ujar Piton.
“Hmm, baiklah. Selamat berburu, Kawan! Semoga kau dapat tupai yang gemuk.”
“Terima kasih, Kera.”
Ular piton itu melata lebih dulu, meninggalkan kera mungil yang banyak akal. Si Kera kini terbengong-bengong. Dalam hati ia tertawa sambil berkelakar, “Begitu mudah menyelamatkan diri dari ancaman ular. Tak kusangka, meski tampilannya menyeramkan kadang ia baik juga. Pantas, sekarang ular-ular seperti piton itu sering diburu manusia, dijadikan binatang peliharaan. Ya, ternyata mereka memang lucu dan sedikit dungu. Mungkin karena itulah mereka mudah dijinakkan. Ah, terserah saja lah.” (58)
Leave a Reply