Oleh Tri Ismiyati (Lampung Post, 04 Maret 2018)

Cupi Si Cupcake ilustrasi Sugeng Riyadi/Lampung Post
Cupi si cupcake kecil memekik girang di dalam etalase kaca. Seorang gadis kecil berkepang dua sedang berdiri di depannya.
“Ayo ambil aku!”
Cupcake cokelat berhias butter cream putih dan gula warna-warni itu berseru penuh semangat. Si gadis kecil masih kelihatan bingung. Dia melihat dari satu kue ke kue yang lain.
“Mama, aku mau kue yang ini!”
Telunjuk si gadis kecil terarah pada sepotong kue red velvet. Cupi berseru lagi, kali ini mengucapkan selamat jalan pada Vivi si red velvet merah.
“Ternyata sudah hampir sore, ya.”
Cupi mendengar suara lain di belakangnya. Rupanya Blacky si blackforest yang bicara. “Iya, sudah sore, ya. Kamu di sini sejak kapan, Blacky?” tanya Cupi penasaran.
Dia terkejut ketika Blacky bilang sudah dua hari dia berada di dalam etalase kaca itu. Padahal Cupi baru tadi pagi berada di sana, tapi rasanya sudah lama sekali. Cupcake terakhir yang menjadi temannya, si vanila, sudah diambil oleh seorang ibu siang tadi. Maka Cupi pun menjadi satu-satunya cupcake kecil yang tersisa.
“Jangan khawatir, Cupi,” kata Blacky. “Toko ini adalah toko kue paling enak di kota kita. Pasti nanti akan ada yang membawa kita.”
Cupi tersenyum lega mendengar kata-kata Blacky. Dia pun kembali ceria di dalam etalase kaca bening berisi macam-macam kue itu. Banyak orang yang lalu lalang di depan mereka. Toko kue yang baunya harum itu memang selalu ramai.
“Ayo ambil aku! Cupcake cokelat yang lezat!”
Cupi berseru lagi. Seorang nenek berbaju cokelat lewat di depannya. Nenek itu memandang dari balik kacamata, lalu berjalan lagi dan mengambil kue bolu. Ah, barangkali si nenek ingin kue yang lebih empuk.
Cupi tidak menyerah. Dia tetap ceria di dalam etalasenya. Cupi yakin dia adalah cupcake cokelat yang cantik dan lezat karena para koki toko telah membuatnya dengan sepenuh hati.
“Hai! Ayo bawa aku!”
Cupi berseru lagi dengan ceria. Seorang anak laki-laki berpipi gembul berdiri dengan wajah hampir menempel pada kaca etalase. Matanya yang kecil membulat lucu.
“Papa! Sini, Papa!”
Papa anak itu mendekat, ikut melongok ke dalam etalase. Si pipi gembul menunjuk-nunjuk Cupi. Cupi gembira sekali. Sepertinya, sebentar lagi anak itu akan membawanya. Tapi, Papa anak itu menggeleng.
“Kita harus cari kue ulang tahun untuk Mama, Nak. Cupcake ini terlalu kecil.”
Si pipi gembul menengok kembali ke dalam etalase kaca. Senyumnya mengembang. Tangan kecilnya menunjuk-nunjuk ke arah Blacky. Sang Papa ikut tersenyum. Diambilnya Blacky dari dalam etalase. Si pipi gembul bersorak gembira, begitu pun Blacky yang tampak gembira
“Selamat tinggal, Cupi!” serunya. “Semoga segera ada yang mengambilmu juga!”
Cupi membalas seruan Blacky dengan tak kalah kerasnya. Dia ikut gembira karena temannya telah dibawa sebagai kue ulang tahun. Tapi Cupi juga agak khawatir karena hari semakin sore. Sebentar lagi, toko itu pasti akan tutup.
“Aku harus tetap semangat!”
Cupi masih yakin akan ada yang membawanya hari itu. Pengunjung sudah mulai sepi, hanya tinggal beberapa orang. Cupi tidak lelah berseru ceria kepada mereka, menunjukkan dirinya yang paling mungil di antara kue-kue yang lain. Tapi belum ada juga yang mengambilnya dari dalam etalase.
Satu per satu pengunjung mulai keluar dengan membawa kue-kue lezat dari toko. Cupi hampir saja bersedih lagi. Tidak ada seorang pun yang ingin membawanya hari itu. Tiba-tiba saja, lonceng di atas pintu toko berdenting lagi. Seorang gadis kecil berkepang dua melangkah masuk dengan langkah malu-malu. Dia menoleh ke sana ke mari sebelum akhirnya berjalan mendekati etalase. Wajahnya hampir menempel pada kaca. Matanya yang jernih tampak ceria.
“Ambil aku! Ayo!”
Si gadis kecil masih mengamati isi etalase. Matanya mengerjap-ngerjap penuh semangat.
“Dia tidak akan mengambilmu.”
Tiba-tiba saja terdengar suara lain. Oh, rupanya itu suara Nana, si nastar nanas dalam stoples di atas etalase kaca. Cupi pun heran mendengar pendapat Nana.
“Gadis kecil itu sudah seminggu lebih selalu datang ke sini setiap sore. Tapi, dia tidak pernah membeli apa pun,” Cupi kembali memandang si gadis kecil. Padahal wajah gadis kecil itu gembira sekali melihat kue-kue di dalam etalase. Benarkah dia tidak akan mengambil apa pun?
Tiba-tiba si gadis kecil berjalan pergi. Kali ini Cupi benar-benar sedih. Sepertinya kata-kata Nana benar. Anak itu tidak akan membeli apa pun. Barangkali Cupi memang harus berada lebih lama lagi berada di dalam kaca.
“Aku mau kue yang itu.”
Mendadak pintu kaca etalase digeser membuka. Cupi terkejut. Tangan nona penjaga toko terulur ke dalam dan meraih dirinya. Dia baru sadar bahwa dirinya diambil ketika mendengar teriakan Nana yang memberinya ucapan selamat.
“Satu cupcake cokelat untukmu.”
Cupi yang telah dibungkus plastik mika putih berpindah ke tangan si gadis kecil. Si gadis kecil tersenyum gembira sambil mengucapkan terima kasih. Usai membayar dengan beberapa keping uang logam, si gadis kecil berjalan keluar toko dengan riang. Sesekali, terdengar ia bersenandung. Cupi pun ikut senang.
Langkah si gadis kecil terhenti di depan sebuah rumah reyot di pinggir kota. Rumah itu kelihatan sempit sekali. Si gadis kecil mengeluarkan sesuatu dari dalam kantong baju lusuhnya. Oh, rupanya dia memasang sebatang lilin di atas tubuh Cupi. Gadis kecil itu lalu menyalakan api dengan hati-hati.
“Selamat ulang tahun, Ibu!”
Si gadis kecil membuka pintu. Ibu yang sedang menyulam di dalam rumah tampak terkejut. Matanya berkaca-kaca melihat Cupi dengan sebatang lilin menyala di atasnya.
“Aku mengumpulkan uang hasil berjualan koran untuk membeli kue ini. Ayo tiup lilinnya, Bu!”
Sang ibu tersenyum, lalu meniup lilin. Ibu memeluk si gadis dengan erat. Cupi ikut gembira karena dia bisa membuat orang lain berbahagia. n
Leave a Reply