Oleh Elisa DS (Kompas, 30 September 2018)

Berlatih Tari Gambyong ilustrasi Regina Primalita/Kompas
Kamis sore yang cerah, terdengar lantunan tembang dari tape recorder sebuah sanggar tari di Kota Klaten, Jawa Tengah.
“Satu, dua, tiga … lempar!” Kak Santi memberikan aba-aba untuk memainkan sampur. “Yang masih kesulitan, silakan melihat Lisa.”
Sontak, sesosok bocah perempuan di barisan terdepan yang menarikan Tari Gambyong dengan gemulai menjadi pusat perhatian.
“Setop. Bukan begitu, Zahro.” Kak Santi mematikan musik. “Tangannya jangan tegang.”
Kak Santi lalu berkata, “Lisa, coba kamu praktekkan, biar semua melihat.”
Baca juga: Prasangka – Oleh Elisa DS (Lampung Post, 23 September 2018)
Terdengar decak kagum kemudian, tatkala tangan Lisa memainkan sampur dengan indahnya. Lisa benar-benar mahir dan menjiwai tarian dari Surakarta tersebut.
“Terima kasih, Lisa.” Kak Santi bertepuk tangan.
“Jangan lupa semua, dua minggu lagi seleksi, ya? Hanya dua anak terbaik yang bisa mengikuti Festival Seni dan Budaya di Semarang. Latihannya cukup hari ini.”
Sesampainya di rumah, Zahro mengempaskan tubuhnya ke sofa dengan kesal.
Mamanya heran. “Anak cantik, pulang dari sanggar kok cemberut?”
Zahro menceritakan kejadian di sanggar tari. “Pasti yang terpilih nanti Lisa, Ma. Waktunya cuma dua minggu, padahal Zahro juga ingin lolos seleksi.”
“Zahro pun bisa seperti Lisa,” kata Mama.
“Zahro tidak punya bakat menari seperti Lisa, Ma.”
Baca juga: Tabulampot – Oleh Elisa DS (Kompas, 12 November 2017)
“Siapa bilang kamu tidak berbakat? Mama nilai, kamu juga punya bakat. Bukan hanya bakat yang menentukan seseorang bisa mahir Tari Gambyong, atau kesenian lainnya. Ketekunan dalam berlatih, itu juga penting.”
“Kalau begitu, Zahro mau latihan setiap hari. Mama ajarin, ya?” ujar Zahro.
“Baiklah. Kita mulai dari besok jam delapan malam, sehabis belajar.”
Keesokan malamnya, Zahro mulai berlatih tari Gambyong bersama Mama. Berkali-kali Zahro gagal meliukkan telapak tangan dan memainkan sampur.
Pages: 12
Leave a Reply