Cerpen, Radar Tasikmalaya, Ratna Ning

Sang Pemimpi

0
(0)

Cerpen Ratna Ning (Radar Tasikmalaya, 09 Februari 2020)

Sang Pemimpi ilustrasi Radar Tasikmalaya (1)

Sang Pemimpi ilustrasi Radar Tasikmalaya

Pohon itu berada di tengah-tengah tegalan. Tanah kosong yang lapang, di atas dataran tinggi, nyaris seperti bukit. Ada beberapa pohon di sana. Di sisi kanan yang bersebelahan dengan jurang dipagari oleh tumbuhan jarak yang berjejer rapat serta batangnya  besar-besar. Pertanda bahwa sudah sedari lama pokok itu ditanam. Di sebelah selatan, hamparan ilalang yang sebagiannya sudah kering kerontang, terhampar sepanjang pandang. Ada pohon pete, jambu klutuk dan pohon pohon kermis di ujung lainnya.

Di situlah, orang itu hampir setiap akhir pekan, dari pagi hingga hampir menjelang senja, betah duduk berlama-lama. Seorang diri dengan membawa laptop tua yang dipakainya untuk menulis sambil merenung di dalam gubuk yang dinding-dindingnya terbuka. Atau di bawah pohon Kihiang tua itu.

“Cari rumput, Mang?” sesekali ia mengangguk sembari menyapa jika bersitermu dengan orang yang melintas ke sana untuk mencari rumput atau melintas untuk ke kebun mereka. Selebihnya, ia kembali menekur, menulis diselingi dengan membuka akun sosmednya.

[“Sedang nulis ya Bu?”]

[“Saya tak ada kerjaan mbak. Mbak bisa pekerjakan saya?  Ya, jadi sopir pribadi Mbak pun tak apalah. Untuk mengantar Mbak jika ada job-job  menulis atau panggilan menjadi narasumber”]

[“Kasih tahu dong Kak, rahasia kesuksesan kakak menjadi penulis…”]

[“Tulisan kakak banyak. Buku-buku bejibun. Terkenal, sukses  pasti sudah banyak mendulang materi dengan profesi nulis ini….”]

Inbox, komentar atau  chat dari para fansnya selalu ditanggapi satu persatu, dengaan sabar. Dengan senyuman di bibir. Dengan legawa memberikan nasihat, saran atau memberikan ilmu kepenulisan sependek yang Ia ketahui. Ia selalu meluangkan waktunya untuk para fans atau penulis pemula yang kerap mengajaknya berbincang. Komentar komentar dalam statusnya selalu ditanggapi dengan hangat dan akrab, satu persatu. Tak ada yang terlewat. Meskipun terkadang ada yang hanya iseng berkomentar. Keakraban yang ia bangun seperti itu yang menambah banyak orang mengaguminya. Di dunia maya tentunya. Rejeki kadang datang juga dari sikapnya yang familier. Ada saja yang memesan tulisan untuk ucapan selamat, untuk puisi di undangan perkawinan atau cerpen maupun puisi utuh. Beberapa dari mereka tak segaan segan memberikan apresiasi berupa materi. Ada yang jumlahnya cukup lumayan. Semua itu Ia syukuri saja, meski beberapa temaan sesama penulis ada yang mengkritiknya.

Baca juga  Mawar, Hujan, dan Kereta

Temannya itu aneh. Ahh tidak! Mungkin dirinya yang aneh. Banyak orang yang merasa dirinya senior dalam bidang apapun, selalu berusaha menjaga jarak dengan orang orang di sekitarnya. Atau orang orang yang sama seprofesi tapi dalam level di bawahnya. Katanya itu untuk menjaga imej.

Tapi Ia? Ia merasa tak ada yang mesti dijaga. Imej? Jarak? Kenapa harus direnggangkan? Bukankah dijaga itu harusnya dengan lebih mendekat? Lagipun, apa artinya kesuksesan? Ketenaran? Hanya hasil dari peraihan keinginan atau cita-cita, atas proses yang telah dilakukan. Dan semua pencapaian itu, dalam bidang apapun, bukankah pada perjalanannya tidak diraih seorang diri? Selain hoky dan lucky, ada campur tangan mereka di sekitar kita yang membantu pencapaian kesuksesan itu. Seorang penulis yang dianggap populer, senior dan berhasil, selain karena keuletan usaha yang tiada henti untuk terus berkarya, tentu saja ada pihak redaktur yang menerima karya-karyanya. Termasuk pembaca yang menggemari  tulisannya.

“Ahh, aku hanya seorang yang gemar menulis saja!” Ia menutup leptopnya. Hari sudah senja. Dua tulisan telah dirampungkannya. Seiring ditutupnmya akun sosmed, setelah ia berpamitan dulu pada orang-orang yang mengajaknya ngobrol dalam inbox maupun chat.  Ia beranjak, berjalan menuruni bukit kecil itu. Menyusuri jalan setapak menuju rumahnya.

Pagi ini, sebelum Ia menjalani aktifitasnya di dunia nyata, ia dikejutkan oleh telefon dari salah satu redaksi media lokal di kotanya.

“Mbak, kami akan mengadakan seminar kepenulisan untuk anggota literasi kami dan umum. Mbak bersedia menjadi narasumber di seminar kami?” pertanyaan yang sekaligus tawaran itu mengejutkannya. Ia hanya tercenung, lama.

“Jika mbak bersedia, nanti mbak kirimkan Curiculum Vitae mbak di bidang kepenulisan. Penghargaan-penghargaan, prestasi dan  karya-karya yang sudah dipublish di media media. Mbak nanti kirimkan ke email kami. Akan kami kirim lewat whatsapp alamatnya. Undangan untuk narasumber akan kami kirimkan setelah kita Mou dalam kesepakatan kerjasama dan kesepakatan honor tentu saja…” lanjut sang Redaktur diakhiri tawa kecil.

Baca juga  Fragmen Kehidupan Pahlawan

“Saya…akan pikir-pikir dulu Bang. Nanti saya telfon lagi!” jawabnya pelan.

Rengganis Alistia, seorang penulis yang namanya sudah malang melintang di berbagai media.  Aktif dalam berbagai akun media sosial untuk menjalin kekerabatan dan berhubung dengan para fansnya. Orang-orang yang tahu dan menyukai tulisannya. Sejak beberapa tahun lalu, ia hanya menulis saja. Tanpa mengikuti segala gerak kegiatan dalam dunia nyata. Tak banyak yang tahu tentang kehidupannya.  Alis, panggilan penulis itu, selalu menghindar meski banyak fans yang mengajaknya temu kangen atau ingin mengadakan acara bincang bincang tentang kepenulisan.

“Saya sibuk dalam pekerjaan saya yang lain. Yang tak bisa ditinggalkan. Waktu libur saya itu waktu buat keluarga. Anak dan suami saya. Jadi, mungkin lain kali” begitu ia selalu beralasan jika para fansnya memintanya jadwal bertemu.

Ia membiarkan dirinya terasing. Menjauhi dunia mimpi yang begitu gemerlap yang ia idamkan sepanjang hidupnya.  Ia  akan terus berkarya karena ia tak bisa meninggalkan dunia mimpinya. Betapa inginnya  ia  unjuk  diri seperti yang lain. Menjadi besar dengan meluaskan dunianya  secara lebih nyata. Tapi ia enggan mengunjukkan diri.

Suatu  waktu, Ia pernah  memperkenalkan  bukunya pada suatu sekolah. Ia diterima dengan baik.  Ia banyak berbincang mengenai dunianya. Mengenai prestasi-prestasi yang telah diraihnya. Juara dalam berbagai perlombaan. Bahkan mendapat piagam penghargaan atas profesinya. Semua orang yang ada disitu mengaguminya. Menanyakan bagaimana caranya  menggali  ide  dan  menampilkan tulisan yang baik. Tibalah saat sang kepala sekolah bertanya hal yang membuatnya tertegun.

”Anda seorang penulis yang hebat. Lulusan dari Universitas apa? Pasti gelar anda sarjana bahasa atau sarjana sastra?” Ia tergugu. Tak bisa menjawab. Kelu.

Baca juga  Kisah Sebercak Darah

***

Hampir duapuluh tahun ia menulis. Karya-karyapun tersebar di berbagai media. Berpuluh mungkin ratusan karya yang telah dihasilkannya. Ia menulis dan terus menulis. Hingga namanya  dikenal oleh banyak orang.  Ia memimpikan menjadi sastrawan besar, yang bisa tampil dengan membawakan karya-karyanya sendiri. Bergaul dengan komunitasnya. Memenuhi panggilan panggilan pada setiap event yang mengundangnya. Bukan saja punya nama besar, tapipun bisa hidup  berkelimpahan atas pencapaiannya dalam bisnis imajinasi itu. Seharusnya memang  begitu. Tak kan  ada nama besar  jika  pencapaian  dalam  segala  bidangnyapun  tak berhasil.

“Mbak, bubur ayamnya dua. Jangan pake pedes ya!” seperti dihentakkan dari lamunan panjang, saat seorang pembeli datang memesan bubur ayam.

Hari masih pagi ketika Ia mendorong  gerobak kecil  berisi dagangan  bubur  ayamnya keliling  kampung. Biasanya jam seperti  ini, pembeli  sudah  mengerumuninya. Tapi pagi ini  sepi.

Dengan cekatan ia menuangkan bubur dan meracik bumbu. Sebentar saja pesanan sudah siap. Pelanggan memberikan uang duapuluh ribu padanya.

Ia kembali menyusuri lorong dan gang kampungnya. Berharap dagangannya pagi ini habis. Kuota modemnya sudah sekarat. Ada beberapa naskah yang siap untuk diemailkan.

Ia berhenti sejenak saat hp berbunyi. Redaktur itu… ***

 

Ratna Ning, lahir di Subang. Mulai menulis tahun 1994. Tulisan pertamanya dimuat Kawanku. Selanjutnya cerpen-cerpennya dimuat di Ceria Remaja, Tabloid Wanita Indonesia, Fantasi Teen, Annida, Puteri, Muslimah, Pikiran Rakyat dan beberapa media instansi. Buku kumpulan cerpen dan puisi terbit indie bersama delapan penulis perempuan di facebook.  Satu buku kumpulan carpen dan sajak sunda “Gerentes” bersama tiga penulis perempuan turut meramaikan khazanah literasi daaerah. Pernah menjadi Redaktur Sastra Budaya di Tinta Hijau Online. Menjadi jurnalis di beberapa media online dan cetak, di antaranya Jabar Publisher.co, Media Lintas Pendidikan Indonesia, Kupas Merdeka dan  Infra Merah. Alamat blog http://ratnaning597.blogspot.com/, akun facebook Ratna Ning.

Loading

Average rating 0 / 5. Vote count: 0

No votes so far! Be the first to rate this post.

Leave a Reply

error: Content is protected !!