Cerpen, Hanna Fransisca, Suara Merdeka

Sembahyang Makan Malam

Sembahyang Makan Malam - Cerpen Hanna Fransisca

Sembahyang Makan Malam ilustrasi Abdullah Ibnu Thalhah/Suara Merdeka

4.5
(2)

Cerpen Hanna Fransisca (Suara Merdeka, 21 Februari 2010)

AYAM jantan yang dikebiri, yang oleh kodrat manusia diganti nama menjadi jam kai, kini terbaring mati. Tubuhnya gemuk. Barangkali dulu ia adalah calon petarung sejati, dengan taji runcing setajam pisau. Tapi atas nama doa tulus yang kelak diucapkan pada malam imlek, pisau taji itu ditelikung berbulan-bulan. Lalu berakhirlah nasibnya sampai di sini: pada malam imlek saat jasad jam kai terbaring di dasar mangkuk tembaga, —setelah direbus dengan berbagai aroma bumbu.

“Tuhanku yang adil, kenapa hidup terasa lama sekali?” begitulah ia, lelaki karatan itu berbisik di depan jasad harum jam kai aroma bumbu. Dan melihat mata ayam kebiri itu seperti melihat nasibnya sendiri. Di luar bunyi petasan jauh berdentum dan berderai. Suara langkah-langkah berkebat di jalan, orang-orang yang bergegas menuju vihara, dan sesekali celetukan gong xi… gong xi… menguar di udara. Atau anak-anak berlarian. Atau tambur dari arak-arakan barongsai. Atau barangkali ada juga yang buru-buru menghindar hujan lantaran menganggap hujan bukan berkah,—raungan truk lewat, anak-anak muda bersenang dengan arak setelah sembahyang, suara angin berdesis. Kota yang penuh berkah! Mengalirlah doa. Menguaplah ribuan dupa.

Akan tetapi yang paling jelas dari semua berkah dan doa itu: ia kini merasa semakin tua dan karatan. Duduk di meja makan bundar, merasa hidup telah terlewati. Di bawah lampion, di seberang altar dengan kertas-kertas doa dan persembahan di depan foto leluhur, di bawah aroma hio yang ia bakar barusan. Dua piring kosong, dengan dua pasang sumpit tertata rapi. Satu piring kosong untuk dirinya, dan satu piring kosong untuk istrinya yang entah di mana.

Dikepung sunyi dan beragam menu mewah yang tak setiap orang bisa. Bayangkanlah, dulu ia adalah lelaki perkasa, tapi jangankan jam kai yang subur dan mahal, bahkan telur ia tak selalu sanggup membeli. Anak gadisnya anak semata wayang—tumbuh cantik, dan selalu ia marah pada para pemuda yang selalu melirik kecantikan anak gadisnya dengan berahi. Ia katakan dengan tegas, di depan Cai Shen, Dewa Pemberi Rezeki: “Berkahi anakku dengan jodoh lelaki yang kaya!” Lalu istrinya (yang dulu cantik dan kemudian semakin buruk lantaran mulai belajar memaki), menambahkan kata: “Dan biarkan ia dipilih lelaki kaya dari Taiwan.”

***

IA kini duduk di meja makan bundar sebagai lelaki tua yang karatan. Matanya berserpih bening menatap dua piring kosong yang tertata rapi dengan sepasang sumpit di samping. Sebuah mangkuk sup teronggok sunyi dengan sendok bebek menghadap langit-langit rumah, seperti memanjatkan doa: “Tuhan, ada aroma kebaikan apakah pada orang tua yang tengah dikepung makanan ini?”

Baca juga  Air Raya

Bertahun ia membayangkan anak gadisnya agar lekas tumbuh dewasa. Ia iri pada kebahagiaan keluarga yang memiliki menantu. Menantu yang kelak menghormati martabat leluhur, yang setiap malam imlek akan bertandang ke rumah mertua dengan membawa seekor jam kai dan sepasang kaki babi. Adakah makanan yang lebih mewah dari itu? Bagi doa orang miskin, jam kai dan kaki babi adalah surga. Tentu saja, doa orang miskin yang memiliki gadis paling cantik di kota, dengan begitu mudah dikabulkan Cai Shen, Dewa Pemberi Rezeki. Lalu bidadari kecilnya, malaikat yang tumbuh dinaungi kecantikan dan kelembutan Dewi Kwam Im, yang seringkali naik di punggungnya sambil menghitung- hitung panu; tiba-tiba menjelma dewasa. Dilamar lelaki gemuk dengan perut buncit menyimpan sejarah kekayaan. Para tetangga, kerabat, dan saudara-saudara berdatangan, memuji-muji jodoh itu sebagai: “Mukjizat dari doa-doa para leluhur.” Menantu baru yang dipuji sebagai mukjizat dari doa para leluhur, meninggalkan kaki babi, uang-uang buat membeli daging (dan kelak mengirimnya pada setiap malam imlek, —selama bertahuntahun), lalu pergi membawa bidadari cantiknya menuju Taiwan. Tak pernah pulang, berkabar pulang, atau pun menyebut kata “pulang” dalam suratsuratnya. Ketika ia mulai rindu setengah putus asa lalu berdoa di hadapan Dewa Bumi, ia mengatakan begini: “Istriku dan aku telah menukar anak gadisku dengan kaki babi. Apakah yang harus aku lakukan untuk menebusnya, duhai Dewa Bumi?” Istrinya, yang belakangan mulai gemuk lantaran kirimankiriman rutin setiap bulan (dan mulai sombong dengan gelanggelang dari menantu, lalu belajar sedikit demi sedikit untuk mulai memaki), mendengar doa itu. Lalu memutuskan nasibnya sendiri: pergi menyusul anak gadisnya ke Taiwan.

Tahun berganti tahun. Dan atas pertimbangan firasat yang makin tumpul dan dungu, ia selalu melengkapi sajian meja makannya dengan ikan malas. Ikan malas (entah atas kodrat apa dengan nama ikan malas) yang dimasak tim ala Hongkong, untuk doa-doa ‘meminta lebih’ pada malam imlek. ‘Xin Nian Kuai Le! Nian-nian you yu…’ begitulah kalimat doa diucapkan dengan menggeleng-gelengkan kepala saat tiba kata “yu” berkali-kali. “Yu” berarti ikan dan “yu” yang ke dua berarti lebih, menjadi mantra wajib. Maka bergeleng-gelenglah ia, setiap tahun, bergeleng-geleng dengan cepat seperti pemabuk yang tidak percaya mendapati dirinya tiba-tiba kaya dengan memenangkan lotre. Semakin pedih dan rindu kepada anak dan istrinya, semakin cepat kepalanya bergeleng ke kiri kanan sambil melafalkan kata “yu, yu” dengan penuh putus asa.

Baca juga  Pawang Jailani Tak Pernah Datang Lagi

Doa dan mantra lewat ikan malas untuk meminta lebih. Lebih untuk apa? Pada kelaziman yang wajar, kata “lebih” adalah menunjuk pada rezeki, tapi ia ingin membaliknya menjadi lebih pada nasib! Sebab ia sudah lebih, dan bertahun menebus lebih dengan kerinduan yang pahit. Lihatlah ia yang lebih, dengan kepungan sembahyang makan malam di meja: Sembilan macam menu yang terhidang di depan, dan tidak mungkin dihabiskan sendirian.

Sembilan, adalah juga angka keramat yang dipercaya membawa keabadian. Tapi benarkah ia ingin abadi? Benarkah ia ingin abadi dengan kemewahan seperti sekarang ini? Setiap bulan menantu lelakinya selalu memberi lebih. Tapi setiap bulan itu pula, anak gadisnya selalu terbayang tengah melempari wajahnya dengan kaki babi.

***

IA yang perkasa, istrinya yang muda, anak gadis yang lincah dan jelita, menunggu angpao dari majikan untuk pakaian dan sepatu baru. Dengan angpao yang tidak seberapa, ia membeli tiga helai pakaian murah, tiga pasang sandal jepit, dan mendayung sepeda angin menuju warung makan. Dengan sepiring mie panjang untuk doa panjang umur, lalu tiga butir telur rebus untuk membayangkan aroma ayam, mereka singgah dan berlinangan khusuk di bawah kebahagiaan atap kelenteng kecil. Tanpa nyala lilin, tanpa minyak, tanpa jubah Pak Kung, tanpa membakar ‘uang sembahyang emas’ dan ‘uang sembahyang perak’. Betapa Dewa Bumi tiba-tiba menurunkan kebahagiaan malam yang tak pernah bisa terlupakan. Betapa Dewa Pemberi Rezeki telah memaafkan doa-doa yang telah diucapkan: “Wahai Engkau, Dewa Pemberi Rezeki, maafkan keluarga kami tidak dapat bersujud dihadapan-Mu dengan ‘mengirimkan’ Engkau uang sembahyang, membakarkan dupa wangi, menuangkan minyak, dan menyalakan lilin. Sebab mana mungkin kami menyediakan semuanya, sedangkan Engkau tak pernah memberinya?”

Nyala lilin untuk terang jalan hidup. Tapi lilin di hati, adakah ia akan mati? Dengan aroma dupa sepanjang kota, lampion-lampion yang menyala dari setiap beranda, gelak tawa dan sapaan gong xi… gong xi…. , suara tambur yang bersahut-sahut lamat dan jauh, dari rumah-rumah terang yang menyala, dari kelenteng-kelenteng yang dilewati dengan sukacita. Sepeda angin dikayuh, sepeda angin menuju rumah malam, menuju sembahyang makan malam. ‘Makanlah Siau Ling, mie panjang supaya kelak engkau berumur panjang,’ ia berdoa untuk anaknya . “Makanlah Xie Ling, mie panjang supaya umur kita dipanjangkan, dan kita bisa tetap bersama,” ia berdoa untuk dirinya dan istrinya. “Kita makan telur ini untuk kesejahteraan, dan kelak hidup yang lebih.”

Baca juga  Lelaki Pemburu Harta Pusaka

Hidup yang lebih baik. Ia kini bisa membakar uang sembahyang sebanyak yang ia inginkan. Hidup yang lebih baik. Ia bisa berdoa di hadapan sembilan menu untuk menyenangkan para Dewa pada malam imlek. Hidup yang lebih baik?! Ia ingin istri dan anaknya kembali berkumpul. Ia ingin waktu kembali diputar ke masa lalu. Ia ingin mati saat ini. Ia ingin berteriak: “Persetan kalian, semua orang di kota ini, yang telah membujuk para ibu untuk menyerahkan anakanak gadisnya, pada lelaki-lelaki dari Taiwan!”

***

CHAI Shen dao! Cai Shen dao! Cai Shen dao wo de jia men kou! Lirik syair lagu yang meneriakkan bahwa Dewa Rezeki telah datang! Dewa Rezeki telah datang! Dewa Rezeki tiba di depan rumahmu! Alunan lagu itu begitu manis di telinga. Kekosongan makin terasa di antara kerlap-kerlip lampu, kehampaan seperti lampion di depan rumahnya yang doyong ke kiri dan doyong ke kanan. Udara berubah sangat dingin. Bunyi petasan yang diyakini dapat mengusir roh-roh jahat, kini meletup di dadanya seperti balon udara yang terbakar.

Tidak ada siapa-siapa di meja makan, kecuali hidangan mewah dan dirinya yang memandang dengan sepi. Ia tidak meneruskan makan malamnya, —begitulah yang memang selalu ia lakukan bertahun-tahun. Ia akan menyalakan sebatang rokok, mengisapnya dalam-dalam, kemudian duduk di beranda rumah. Matanya akan terus memandang, ke jalan raya, ke kejauhan, ke batas pandang sejauh ia memandang. Ia selalu berharap ada dua perempuan berjalan ke arahnya, barangkali dua perempuan itu turun dari langit, memeluknya erat dan mengucapkan, “gong xi… gong xi…” ***

 .

.

Singkawang, Februari 2010

Hanna Fransisca, lahir di Singkawang, Kalimantan Barat, 1979. Ia menulis puisi, prosa, dan tulisan motivasi di andaluarbiasa.com. Puisi-puisinya dimuat di Kompas, Tempo, Jurnal Perempuan. Cerpennya dimuat di Malang Post dan sejumlah majalah sosial.

.

Sembahyang Makan Malam. Sembahyang Makan Malam. Sembahyang Makan Malam.

Loading

Average rating 4.5 / 5. Vote count: 2

No votes so far! Be the first to rate this post.

Leave a Reply

error: Content is protected !!