Cerpen, Haluan, Sepno Fahmi

Lelaki Pemburu Harta Pusaka

3
(1)

SEHELAI daun jatuh dari tampuk, disusul derai bulu-bulu bunga ilalang yang berguguran. Angin gunung melepas rekah-rekah kulit semesta di garis cakrawala. Pagi yang hitam berubah warna, bersinar, lambat laun benderang. Aku duduk di dekat jendela.

Dinding-dinding kesunyian mulai melayang bersama kabut yang menyelimuti sampai ke pinggang gunung. Mataku menatap kosong ke hamparan sawah yang mulai menguning. Suara-suara riuh terdengar dari lapau [1] di sebelah rumah. Meski samar, tapi aku masih bisa mendengarkan orang-orang berlibat bicara. Tradisi buru babi. Tema yang sering dibicarakan akhir-akhir ini. Tidak hanya di lapau, juga di surau, bahkan juga di sawah.

Orang-orang di kampungku memang suka berdiskusi, bahkan berdebat. Aku pun demikian. Tapi beberapa hari ini semenjak kepergian amang [2] aku sengaja tidak bergabung dengan mereka. Aku hanya ingin menyendiri. Apalagi, ketika aku mendengar pembicaraan amak [3] dengan acik [4] adik bungsu amak—perihal kepemilikan sawah di belakang rumah. Namun, acik hanya diam. Tidak begitu menanggapi keinginan amak yang begitu cepat. Acik memang satu-satunya mamak dari keluarga kami, tetap saja yang berhak mengambil keputusan dalam sebuah perkara adalah amak. Sebab di Minang, perempuan mendapat posisi yang sangat istimewa, karena segala keputusan berada di tangannya.

Aku menghela napas panjang. Aku mengalihkan tatap ke langit. Aku mencoba melupakan bayangan amak untuk sesaat. Sementara itu, suara gaduh dari lapau di sebelah rumah belum usai juga. Malah pengunjung lapau semakin ramai. Perbincangan tentang tradisi buru babi yang akan dilaksanakan akhir pekan, sepertinya hangat dan seru.

Nama lengkapku Andi Nasution. Anak pertama dari dua bersaudara. Tapi tahukah, orang-orang termasuk aku sendiri pada mulanya menganggap itu adalah nama yang paling aneh? Betapa tidak. Aku lahir di Minang, lantas memiliki nama bukan dari suku Minang, seperti melayu, tanjung, atau caniago. Memang terdengar tidak wajar, sebab namaku diidentikkan dengan suku Bugis dan Batak. Nama dengan dua kata, yang memakai suku dari daerah berbeda. Ah, ketidakwajaran itu selalu mengundang gunjing dari siapa saja. Aku maklum. Orang-orang yang senang menggunjingkanku tidak paham arti nama yang diberikan amang kepadaku.

“Kebiasaan nenek moyang janganlah dilanggar, nak. Berlomba-lombalah dalam kebaikan. Selama hayat masih dikandung badan!” pesan amang sebelum mengembuskan napas penghabisan. Betapa beruntung amak mempunyai amang. Sosok penyabar, pekerja keras, penuh tanggung jawab, dan bersedia berkorban. Semua hal yang kami peroleh selama ini adalah jerih payah amang. Tidak peduli dengan harta pusaka yang selalu menjadi perbincangan orang-orang di kampung. Sebab harta, tahta, dan wanita, hanya urusan duniawi semata. Akhiratlah kehidupan yang kekal.

Baca juga  Wayang Potehi: Cinta yang Pupus

Kemudian aku beranjak, dan mencangkung di teras halaman rumah. Tak sengaja, surau di ujung jalan mengingatkanku tentang perkataan Rahmat Lubis, anak pengusaha sawit dari Medan, teman mengajiku dulu. “Kita selaku anak laki-laki akan beruntung bila dewasa nanti, harta pusaka keluarga akan diwariskan kepada kita, apalagi kau satu-satunya anak laki-laki di keluarga kau,” sambil memukul kecil pundakku. “Sudahlah, nikmati saja hidup ini, kematian datangnya tiba-tiba, bukan?” sambungnya meyakinkanku.

Semenjak hari itu. Di ruang kepalaku, malah semakin menyimpan sangka yang menyaru-nyaru tidak beraturan. Aku sering mengungkit-ungkit tentang keberuntungan terlahir sebagai anak laki-laki. Padahal menurut acik, anak laki-laki dan perempuan sama saja, mempunyai kelebihan dan kekurangan masing-masing. Lantas, kenapa identitas sebagai perempuan begitu diagungkan oleh orang-orang kampung ini, termasuk juga amak.

Dalam hawa dingin menggigilkan. Sambil menikmati indahnya pemandangan Gunung Talamau, bayangan kehangatan berpadu kesunyian yang di sela oleh gemerisik ilir-mudik sekawanan bangau. Amak datang menghampiri. Dan dalam diam menatapku, tapi tatapan amak sungguh aneh.

“Apa yang kau lihat?”

Aku tidak langsung menjawab. Selama ini aku memang selalu menahan. Tapi tidak untuk hari ini. Kesabaranku seakan mencapai ubun-ubun.

“Aku sedih atas sikap amak, apalagi setiap kali aku membahas tentang harta pusaka.”

“Percuma kau menentangnya,” kata amak sembari memalingkan wajah.

“Tapi, mak…”

“Amang kau bukan keturunan bangsawan, tidak mempunyai harta pusaka yang harus dibagikan.”

Aku hanya terdiam. Sebab percuma membantah apa yang disampaikan Amak. Aku beranjak meninggalkan rumah.

***

Akhir pekan. Di tengah kebingungan. Aku memutuskan pergi dengan orang-orang kampung. Melaksanakan tradisi buru babi. Tradisi sekali dalam satu musim. Selain untuk membasmi hama tanaman, tradisi ini juga bertujuan untuk menunjukkan keberadaan laki-laki, sebagai seorang yang pemberani dan memiliki posisi seimbang dengan perempuan di kampung ini.

Adikku hanya di rumah, bermain bersama teman-temannya. Sedangkan amak menemani acik berangkat ke kota. Mereka ingin mengurus kejelasan hak kepemilikan tanah warisan yang dibicarakan beberapa hari lalu. Menurut kabar dari orang-orang kampung, di zaman sekarang sangat diperlukan sertifikat tanah. Bisa saja, pemerintah akan datang tiba-tiba mengambil hak yang bukan miliknya. Lagi pula, amak orang yang lekas curiga. Dan cepat mengambil keputusan. Tanpa tahu kejelasan yang sebenarnya.

Ahhh… mendadak aku teringat dengan ucapan amak yang dari dulu memang tidak pernah setuju. Tapi aku tidak habis pikir. Apa alasan amak tidak membolehkanku. Padahal sewaktu amang masih hidup, amak tidak pernah membantah. Membiarkan amang pergi dari pagi hingga petang. Parahnya lagi setiap aku membahas tradisi ini, amak sering membandingkanku dengan adik perempuanku yang penurut dan patuh. Tidak jarang pula menyebut-nyebut harta pusaka akan jatuh kepadanya. Aku mereka-reka kembali, apa yang salah, apa yang kurang, mengapa aku tidak juga bisa meyakinkan amak.

Baca juga  Taman di Depan Rumah

Tiba-tiba, pukul setengah sebelas lewat tujuh menit, gonggongan suara anjing yang menyalak sahut-sahutan menyadarkan lamunanku. Aku bergegas menuju arah di mana orang-orang dan anjingnya mengejar buruan yang belum tampak.

“Itu dia!” menunjuk babi yang lari ke arah semak.

Sontak semua orang mengejar dan melepas ikatan anjingnya masing-masing. Aku pun begitu. Saat itulah, anjingku dengan beringas dan ganas menerkam. Babi meronta-ronta, tubuhnya yang gempal berusaha melepaskan diri dari gigitan demi gigitan anjing para pemburu. Naas, nasib tidak sekuat usaha. Ia perlahan-lahan terkulai, diam, dan akhirnya mati. Dagingnya menjadi santapan anjing siang itu, tapi jantungnya tidak kubolehkan. Sebab jantung itu untuk kubawa pulang ke rumah. Tentu bukan untuk dimasak, karena agamaku menentang keras hal itu.

***

Sesampai di rumah, langkahku mengkeret. Panas seketika menguap dari sudut ruangan. Kulihat amak dan acik sedang duduk di ruang tengah. Amak melempar tatapan, dan wajahnya merah padam. Mengisyaratkan kalau mereka sudah sedari tadi balik dari kota. Namun, tiba-tiba saja adik menghampiri dan memelukku erat. Dari kantong matanya tampak bulir-bulir yang menggenang. Aku menghela napas panjang. “Ada apa, dik?”

Ia hanya tersedu, tak menjawab.

“Kau dimarahi amak lagi?” sambungku penasaran.

Dengan gegas amak mendekat. Tiba-tiba saja aku merasa gemetar kedinginan dalam terpaan udara hangat yang lembab.

“Dari mana saja kau?”

“Berburu babi, mak.”

“Untuk apa?”

Aku merasa kini matahari dekat sekali dengan mukaku. Sungguh panas. Tubuhku berpeluh, tapi aku mendingin.

“Untuk mendapatkan hak kepemilikian atas harta pusaka, mak.”

Amak menatap acik cukup lama. Itu membuatku merasa ada sesuatu yang disembunyikan. Pikiranku bergelung. Pelan-pelan semakin liar berprasangka.

“Apa itu yang kau pegang?”

“Jantung babi, mak.”

Amak merenggut jantung babi dari tanganku dan melemparnya keluar. Sementara adikku tercenung di dekat pintu. Di usia yang belia, tentu ia tak paham betul apa yang sedang terjadi.

“Ada apa, mak?” tanyaku sopan.

“Berulang kali amak katakan. Kau tak perlu ikut buru babi. Hanya untuk membuktikan kau pantas mendapatkan harta pusaka.”

“Kenapa, mak? Bukankah aku juga anakmu?”

Amak menamparku keras. Baru kali ini, jejak tangan amak tertinggal di pipiku. Rasanya seperti merenggut jantungku sendiri. Padahal selama ini hanya ada kecupan bibir amak yang menjadi kenang tak lekang oleh waktu.

Baca juga  Mimpi Terlarang

“Mak… mak… jawab, mak!”

“Berburu babi hanya akan membahayakan dirimu.”

“Aku tidak kecil lagi, mak. Aku bisa melindungi diri sendiri. Sudahlah. Itu tidak penting dibahas, yang terpenting sekarang, apa alasannya, kenapa aku tidak berhak atas harta pusaka itu, mak?”

“Jangan membantah lagi! Kau tidak mengerti dengan adat di kampung ini,” bentak amak.

“Tapi…”

Satu tamparan lagi melayang ke pipiku. Membuat suara napasku menggebu, disertai dengan detak jantung yang melimbubu.

Sontak, acik menengahi pertikaian yang selama ini belum menemukan titik temu. Sepertinya acik sudah mengetahui masalah ini sejak dulu. Mungkin saja, acik belum menemukan waktu yang tepat. Namun hari ini, acik melampiaskan segala belenggu yang telah diendapnya bertahun-tahun.

“Kau tahu, dari mana amangmu berasal?”

“Dari Mandailing, Cik.”

“Sedangkan amakmu dari Pasaman, kan?”

Aku menganggukkan kepala.

“Nah, pernikahan antara amang dan amakmu adalah pernikahan dua etnis yang berbeda,” sambung acik.

“Maksudnya, cik?”

“Amangmu suku Batak, sedang amakmu suku Minang. Justru itulah, kau sebagai keturunan Minang yang menganut sistem matrilineal, akan diturunkan suku dari amakmu.”

“Lantas, apa hubungannya dengan harta pusaka, cik?”

“Di Minang harta pusaka hanya akan diberikan kepada anak perempuan saja. Kau dan acik selaku laki-laki, kelak berperan sebagai mamak. Bukanlah penguasa harta pusaka. Jika ada perselisihan dalam keluarga, kitalah yang menyelesaikannya, seperti perkara ini.”

Seberkas cahaya tampak terang benderang. Langit merendah dan membungkus bumi. Sejenak aku terdiam. Aku seperti dirantai oleh prasangka sendiri. Amak mulai meneteskan air mata. Aku merasa bersalah. Selama ini aku hanya dibayang-bayangi oleh harta pusaka yang tidak berhak aku miliki. Rahmat memang tidak salah, karena dia bukan terlahir dari keturunan Minang. Sebab selain suku Minang, harta pusaka memang diwariskan kepada anak laki-laki.

Perkara harta pusaka, bukanlah perkara yang mudah. Sudah sepantasnya amak memarahiku setiap kali aku memburu perihal itu. ***

Bayang, 3 Januari 2021

[1] Lapau: Warung

[2] Amang: Panggilan Ayah (Batak)

[3] Amak: Panggilan Ibu (Minang)

[4] Acik: Paman yang paling kecil

SEPNO FAHMI. Lahir di Koto Berapak, 7 September 1990. Anggota Dapur Sastra Jakarta (DSJ), Sastra Bumi Mandeh (SBM), dan aktif mengelola Rumah Baca Pelopor 19. Beberapa tulisannya dimuat pada beberapa media massa.

Loading

Average rating 3 / 5. Vote count: 1

No votes so far! Be the first to rate this post.

Leave a Reply

error: Content is protected !!