Cerpen, Fandy Hutari, Republika

Kepura-puraan

4
(1)

HARI sudah sore. Lembayung senja memayungi Kardi yang berjalan dengan sepeda motor tuanya. Kardi kembali memanjakan diri ke warnet di dekat kantornya sehabis bekerja seharian. Sore ini, Kardi ingin sekali mengobrol bersama teman-teman masa kuliahnya melalui situs jejaring sosial, Facebook.

Lewat Facebook, Kardi mulai berkomunikasi dengan teman-teman lamanya. Apa saja. Dari kegiatan dia sekarang, kabar teman-teman lamanya, hingga soal pekerjaan. Di friendlist-nya, terdapat semua teman, mulai dari SD hingga kuliah. Bahkan, ada wajah-wajah yang asing baginya. Interaksi dilakukan hanya dengan tab chatting yang mengeluarkan tulisan-tulisan. Seperti pesan pendek.

“Di, itu udah gue kirim undangan reuni kita. Jangan lupa, ya, pada dateng,” kata Winda di tab chatting.

“Oke,” sahutnya.

Undangan reuni dari Winda ia baca. Tanggal 13 Juni 2010 di Café Starbuck Ciwalk, pukul 19.00 WIB. Begitulah informasi undangan yang ia baca. Lalu, Kardi mengklik “Ya” sebagai konfirmasi kehadirannya di acara tersebut.

“Oh, iya, Di, kabar Jajat gimana? Lo kan dulu temen deketnya. Sekarang kerja di mana dia?” ujar Winda kemudian.

Kardi tidak membalas chatting-an Winda. Bahkan, ia pun sudah tidak lagi ada kontak dengan Jajat semenjak mereka berpisah waktu lulus kuliah dulu. Kardi malah sibuk menjelajahi akun-akun Facebook teman lamanya. Melihat foto-foto lama yang dipajang di koleksi teman-temannya. Ada guratan wajah bahagia, ada senyum, dan tawa di sana. Tapi, itu semua masa lalu.

Lalu, ia menerawang, mengingat-ingat masa lalu yang indah di kampus. Kemudian, tangan kanan Kardi menggerakkan kembali tetikus. Ia tergoda melihat info profil teman-temannya. Ada yang sudah berkeluarga, menjadi pejabat, direktur perusahaan ini-itu, melanjutkan kuliah lagi, menjadi pelayar, punya UKM, punya butik, jadi novelis, dan sebagainya. Foto-foto mereka juga tak kalah gaya.

Sejenak, Kardi mengeluhkan nasibnya sendiri. Ia sudah bekerja. Tapi, ia tidak semapan teman-temannya yang lain. Kardi hanya seorang waitress di restoran cepat saji, McDonald, di bilangan Simpang Dago. Ia bekerja untuk dirinya sendiri. Sebab, sampai usianya menginjak tiga puluh delapan tahun pada tahun ini, belum ada perempuan yang tertarik padanya. Mungkin, ia belum berani menikah karena pekerjaannya tidak terlalu wah. Belum berani punya tanggungan.

Hari sudah gelap. Azan Maghrib menggema di masjid seberang warnet. Tagihan warnet pun sudah cukup bengkak menurut ukuran dompetnya. Ia segera beranjak dari kursi komputer nomor empat. Membayar tagihan warnet dan menuju parkiran motor tepat di depan warnet. Motor bebeknya masih teronggok di samping sebuah mobil kijang. Ia segera menghidupkan mesin dan merengeklah suara dari knalpot motornya. Menggambarkan betapa tua motornya itu. Bunyi sempritan dari tukang parkir menderit-derit.

“Terus! Terus, A’,” kata si tukang parkir memberi aba-aba.

Kardi memutar motornya sehingga kepala motor itu mengarah ke jalan besar. Ia menatap sebentar tukang parkir berseragam biru muda yang mengenakan topi di hadapannya.

“Jajat?” sapa Kardi kemudian.

Tukang parkir itu diam. Mata mereka tertumbuk. Saling memandang. “Kardi?” sahut si tukang parkir sejurus kemudian.

***

Mereka lalu berjalan menuju pelataran teras warnet. Duduk melantai berdua. Motor Kardi di parkir di tempat semula. Ia menahan niat untuk pulang. Ingin sekadar berbagi cerita bersama Jajat, teman akrabnya saat kuliah dulu.

“Apa kabar, Jat?” kata Kardi sumringah.

“Yah, gini-gini aja, Di,” jawab Jajat berat.

Baca juga  Frame Kematian

“Lo kerja di sini?” tanyanya lagi, menunjuk tempat parkir di depan mereka.

“Iya, gue jaga parkir di sini, Di,” jawab Jajat pelan.

“Kenapa nggak cari kerjaan lain? Lo, kan, pinter. Dulu waktu kita lagi skripsi, lo yang ngebantu kita sekelas. Kalau nggak ada lo, mungkin gue sama anak-anak yang lain susah lulus,” cerocos Kardi.

Jajat hanya diam. Tak ada kata yang keluar. Ia menatap jauh, jauh sekali. Menelan ludahnya sendiri. Mengingat bagaimana ia jatuh bangun mencari pekerjaan setelah lulus kuliah lebih dulu dibandingkan teman-temannya. Surat lamaran yang ia kirimkan ke lebih dari seratus perusahaan tampaknya sia-sia belaka. Kemudian, dia harus berjuang di jalanan. Menjadi apa saja untuk bertahan hidup.

Pada usia tiga puluh tahun, dia memutuskan menikah. Dia percaya ucapan orang-orang yang bilang bahwa menikah rezeki akan lancar. Ternyata, itu semua cuma isapan jempol. Akhirnya, ia harus menyerah pada nasib. Mengikhlaskan gelar sarjana sastranya di tempat parkir warnet ini. Sekarang. Bahkan, mungkin selamanya.

“Anak lo udah berapa, Jat?” tanya Kardi, membuyarkan lamunannya.

“Satu. Baru satu. Masih umur enam tahun.”

“Wah, udah sekolah, dong? Di mana?” Lagi-lagi Jajat diam. Membisu. Lidahnya kelu. Sekadar mengeluarkan sepatah kata pun ia tak berdaya.

“Oh, iya, Jat. Tadi gue chatting sama Winda dan anak-anak yang lain. Katanya mau ada reuni angkatan kita, tanggal tiga belas Juni lusa di Starbuck Ciwalk, jam tujuh malem. Datang, ya. Kita sama-sama aja ke sana,” ujar Kardi lagi.

“Insya Allah, ya.”

“Oh, iya, lo ada Facebook?”

“Nggak, Di.”

“Kenapa nggak bikin? Padahal, kan, enak kita bisa silaturahim lagi sama teman-teman.”

“Ah, buat apa. Nggak ada yang gue banggain dari diri gue di Facebook. Malah nanti gue dihina di sana.”

“Oh….” Kardi langsung diam. Seakan ia salah bertanya tadi.

Setelah mengobrol ngalor-ngidul, Kardi berpamitan pulang dan berjanji akan menjemput Jajat di tempat mereka bertemu ini saat reuni nanti.

Motor Kardi pun kembali meraung. Motor itu benar-benar meninggalkan warnet. Hanya asap knalpot tebal yang tersisa dan juga suara bising. Lalu, hilang ditelan pertigaan tak jauh dari warnet. Jajat kembali bekerja. Kembali membunyikan sempritannya. Kembali mencari rupiah demi rupiah. Itu pun bagi mereka yang memberi. Ia bekerja sampai warnet benar-benar tutup pukul tiga dini hari.

***

Hari reuni pun tiba. Sehabis shalat Maghrib berjamaah di rumahnya, Jajat menunggu Kardi datang di sini. Di depan warnet. Sudah lima belas menit ia menunggu. Kardi ngaret. Kebiasaan lama yang tak pernah hilang dari sobat akrabnya. Bunyi klakson sebuah mobil MPV di pinggir jalan depan warnet memanggil-manggil. Jajat terganggu. Ia menatap ke mobil itu. Jendela mobil pun terbuka. Di sana, ia menjumpai wajah yang tak lagi asing baginya.

“Kardi!” Jajat kaget. Ia lalu menghampiri mobil yang dikendarai Kardi.

“Buruan naik, Jat. Gue dapet minjem dari tante gue, nih, mobil. Biar gaya aja ketemu mereka gitu!”

Tanpa basa-basi, Jajat nurut. Ia naik dan duduk di sebelah Kardi. Di kursi depan. Pakaian Kardi tidak seperti yang ia lihat lusa lalu. Sekarang terlihat necis dengan dasi, kemeja lengan panjang, celana jeans hitam ketat, dan kacamata hitam di jidatnya. Sedangkan, Jajat cuma memakai pakaian seadanya. Pakaian yang paling rapi yang ia punya selama ini: kemeja lengan pendek kotak-kotak berwarna biru muda dan celana bahan. Pakaian ini terlipat tak tersentuh di dalam lemari pakaian. Sudah lama ia tak mengenakannya. Mobil pun melaju ke tujuan: Ciwalk.

Baca juga  Masjid Kecil di Rumah

Tiba di tujuan. Lampu-lampu di depan mal ini semarak menemani langkah mereka menuju Starbuck Cafe. Mobil pinjaman Kardi dititipkan di tempat parkir. Sebenarnya, tak masalah ia pergi menggunakan angkot, motor, atau mobil. Toh, teman-temannya tak ada yang melihat ia membawa mobil. Tapi, menurut Kardi, membawa mobil menaikkan status sosialnya. Membuatnya tambah percaya diri.

Di dalam, di salah satu meja yang dibuat memanjang, ada dua wajah yang tak asing bagi Kardi dan Jajat. Mereka adalah Winda dan Rinto. Mereka juga turut membawa keluarga masing-masing.

“Hei, Win… To. Apa kabar?” sapa Kardi sambil berjalan.

“Hei, Kardi!” sahut Winda dan Rinto.

Mereka saling menjabat. Tertawa bersama sama. Jajat masih terpaku di belakang Kardi. Ia tidak percaya diri walau hanya menegur.

“Eh, ini Jajat. Masih inget, kan, Win… To?” ujar Kardi kemudian menatap Jajat.

“Wah, apa kabar, Jat?” tegur Rinto yang berdiri menghampiri Jajat.

Jajat hanya diam. Cuma senyum yang ia berikan. Lalu, mereka duduk di kursi yang terbuat dari besi. Tak lama, datang teman-teman lainnya dengan keluarga masing-masing. Mereka langsung duduk di kursi masing-masing. Pakaian mereka terlihat mewah di mata Kardi dan Jajat. Gaun anggun, kemeja, jas, dan dasi membalut tubuh-tubuh mereka.

Di mata Kardi dan Jajat, mereka layaknya pejabat-pejabat di Senayan sana. Tapi, itu semua tak masalah bagi Kardi. Toh, ia sudah membalut tubuhnya dengan kepura-puraan. Jumlah angkatan mereka sendiri ada tiga puluhan orang. Meski tak sampai satu angkatan, suasana malam itu cukup meriah. Mereka lalu memesan minuman dan makanan kepada waitress.

“Pesen apa, Di… No?” kata Winda.

“Samain aja sama lo,” sahut Kardi.

“Oke. Mbak, mochaccino caramel panas tiga, ya!” teriak Winda kepada waitresss.

“Lo kerja di mana sekarang, Di?” kata Beni yang duduk di sebelah Winda.

“Di Bank Suka Maju. Lumayanlah jadi salah satu pimpinannya,” jawab Kardi penuh percaya diri.

“Istri sama anak lo mana? Kok, nggak dibawa?” sambung Beni.

“Istri gue lagi pergi ke luar kota. Dinas katanya. Anak gue lagi di tempat pamannya,” jawab Kardi mantap.

“Kalau lo, Jat?” kali ini mata Beni ke arah Jajat.

Jajat diam. Dia menunduk. Lalu, Kardi yang duduk di sebelahnya menyenggol pundak kirinya. “Bilang aja kerja di Departemen Agama,” bisik Kardi.

“Gue jadi tukang parkir,” jawab Jajat jujur.

“Hah?” Beni terperanjat. Alisnya menaik. Matanya membelalak mau copot.

Kardi cuma mendehem. Winda yang mencuri dengar obrolan mereka juga kaget mendengar jawaban Jajat. Dia diam. Tadinya dia juga ingin bertanya pada Jajat soal itu. Tapi, hanya tertahan di kerongkongan. Tak ada lagi pembicaraan antara Beni dan Jajat. Mereka dibungkus kesunyian. Hening. Sementara yang lainnya masih dalam canda dan tawa khas teman lama. Jajat larut dalam suasananya sendiri.

Reuni berakhir.

Winda membayar semua makan dan minuman teman-temannya. Kardi lega. Begitu pula Jajat. Ia bahkan tidak hafal nama minuman kopi yang dipesannya tadi. Mereka berpencar di luar Ciwalk. Berjanji suatu saat bisa berjumpa kembali, entah di mana.

***

Mobil yang ditumpangi Kardi dan Jajat melaju di bawah kerling lampu jalanan yang redup. Mereka pun terlibat obrolan di tengah perjalanan menuju rumah kontrakan Jajat.

Baca juga  Sarno

“Kenapa tadi nggak bilang kerja di Departemen Agama aja, Jat? Kan, lo jadi nggak malu,” kata Kardi mengawali pembicaraan.

“Ah, nggak. Buat apa gue mesti pura-pura kalau kenyataannya memang begitu. Kepura-puraan itu malah buat gue sakit, Di,” sahut Jajat berbinar-binar.

“Lo nggak coba nyari kerjaan lain? Padahal, kan, IPK lo paling gede dulu, Jat?” ujar Kardi lagi sambil menaikkan alisnya.

“Nyatanya, IPK nggak pengaruh terhadap pekerjaan, Di. Nyatanya, kecerdasan nggak berpengaruh sama pekerjaan,” jawab Jajat diiringi tarikan napas panjang.

Tak ada lagi obrolan.

Kardi salut dengan ketulusan dan kejujuran Jajat. Kardi salut dengan solidaritas Jajat dulu. Saat teman-temannya kesusahan mengerjakan skripsi, dia siap sedia mengulurkan tangan tanpa pamrih. Tapi, sekarang, ketika Jajat sedang kesusahan, tak ada teman-temannya yang membantu.

Ironis.

Malam ini, sekali lagi, Kardi belajar dari sahabatnya tentang arti sebuah kejujuran dan laknatnya kepura-puraan.

Kardi menghentikan mobil pinjamannya di gang kecil di bilangan Sekeloa. Ini gang menuju rumah kontrakan Jajat. Mereka berpisah di sini.

Jajat tiba di rumah kontrakan kecil yang diapit kos-kosan mahasiswa di kanan-kirinya, tanpa buah tangan untuk keluarga.

Ia tiba pukul 20.30 WIB. Saat sampai, rumah sudah sepi. Ia lalu menyingkap tirai yang juga berfungsi sebagai pintu kamarnya.

Anak semata wayangnya sudah terlelap mendekap Alquran kecil di dadanya. Sedangkan, istrinya mengeloni anaknya di ranjang mereka.

Ranjang satu-satunya di rumah ini.

Malam ini, mereka belum makan. Begitu juga Jajat. Lambungnya yang kosong sekarang terasa perih akibat diguyur air kopi tadi. Tapi, Jajat menahannya. Istri dan anaknya juga sudah terbiasa tidak makan malam.

“Satu-satunya cara untuk menahan rasa lapar adalah tidur cepat. Baca dan dekaplah Alquran, niscaya Allah bersama kita.” Itulah nasihat Jajat setiap selesai shalat Maghrib berjamaah kepada anak dan istrinya.

Jajat lalu duduk sendirian di lantai yang beralaskan tikar. Menghidupkan televisi berukuran 14 inci. Televisi tua warisan dari ayahnya. Menonton berita soal korupsi, soal pejabat yang jalan-jalan ke luar negeri dengan alasan studi banding. Menonton berita soal skandal seks artis papan atas, menonton berita tawuran, hingga kisah seorang anak yang pingsan di jalan karena kelaparan.

Setengah jam kemudian, istrinya datang menghampiri. Lalu, duduk melantai di sebelahnya.

“Pak, biaya listrik katanya naik bulan ini. Kontrakan kita belum dibayar sudah tiga bulan. Si Putri juga merengek minta sekolah. Dia sudah besar, Pak. Sudah waktunya dia sekolah,” kata istri Jajat sedih.

“Sabar, ya Bu. Serahkan semua urusan kepada Allah. Allah tidak tidur. Allah beserta orang-orang yang sabar,” jawab Jajat lirih, diiringi linangan air mata istrinya. (*)

Lubang Buaya, 12 Juli 2010

Fandy Hutari lahir di Jakarta pada 17 Agustus 1984, adalah penulis esai, buku, novel, cerpen, dan puisi. Esai, puisi, dan cerpennya dimuat di beberapa media cetak dan online. Dua bukunya yang sudah diterbitkan adalah Sandiwara dan Perang; Politisasi terhadap Aktivitas Sandiwara Modern Masa Jepang (Ombak, 2009), dan Ingatan Dodol (Insist Media Utama, 2010)

Loading

Average rating 4 / 5. Vote count: 1

No votes so far! Be the first to rate this post.

Leave a Reply

error: Content is protected !!