Azhari, Cerpen, Koran Tempo

Hamzah dari Fansur

5
(1)

DI PELABUHAN Malabar aku takjub oleh seseorang yang sangat kotor, yang bersedia menyerahkan dirinya sebagai seorang hamba sahaya apabila ada yang berhasil menebak apa isi sangkar yang tertutup kain hitam di hadapannya.

Ketika itu kapal yang membawaku dari Lamuri baru saja merapat. Dari pelabuhan Malabar aku akan melanjutkan perjalanan ke Istanbul menempuh jalur darat. Ayahku, Syahbandar Lamuri, meragukan anaknya yang berumur enam belas tahun dapat melanjutkan perjalanan seorang diri. Seorang rekannya, bernama Hamzah, akan menungguku di pelabuhan Malabar dan memandu perjalanan hingga aku dipastikan tiba dengan selamat di pintu gerbang Sekolah Perkapalan Istanbul. Dua hari aku menunggu, tapi orang dengan ciri-ciri sebagaimana dikatakan ayahku itu tak kunjung datang. Aku berpikir mungkin telah terjadi sesuatu yang menghalangi ia datang pada waktunya.

Pertunjukan menebak isi sangkar itu telah menarik aku ke tengah-tengah kerumununan penonton. Aku maju ke depan dan mendengar dari si orang kotor bahwa di dalam sangkar terkurung sejenis makhluk yang paling sengsara di atas muka bumi ini. Aku mencoba menebaknya, siapa tahu kalau tertebak si orang kotor akan menemaniku di perjalanan. Aku mengatakan isi di dalam sangkarnya adalah iblis dari dasar lautan. “Bukan,” sanggah si orang kotor, “Makhluk ini lebih sengsara daripada iblis yang terkutuk!” Orang-orang tertawa mendengar jawabannya dan lupa bahwa mereka pun tidak berhasil menebak makhluk apa itu.

Pada hari ketiga, keputus-asaan dan jemu jugalah yang menyebabkan penonton satu demi satu meninggalkan arena. Mereka merasa telah tertipu. Tapi mereka tidak bisa marah, karena si orang kotor tidak merampas uang mereka untuk tebak-tebakannya.

Aku menyesali kenapa pertunjukan itu cepat berakhir, dan mulai membayangkan apa yang harus aku lakukan apabila Hamzah tidak datang juga sampai beberapa hari ke depan. Kepada orang-orang di bandar sudah aku tanyakan apakah terjadi sesuatu di jalan yang menghambat perjalanan para pelintas? Memang terjadi badai, tapi itu terjadi tujuh minggu sebelumnya. Sementara gerombolan penyamun yang biasanya menyergap rombongan para pedagang dari pedalaman Arabia bukan lagi ancaman yang menakutkan, sejak Samoothiri, pemimpin mereka, diracun oleh seorang pelacur.

“Ancaman selalu datang dari lautan, dari orang-orang Peranggi,” kata Azedine Balansi, salah seorang yang aku tanyai, yang aku temui di sebuah kedai minum. Dia seorang pedagang Tunisia yang mempunyai beberapa gudang penyimpanan rempah-rempah di pelabuhan Malabar. Azedine dengan murah hati menawarkan aku teh dan makla Afrika begitu ia mengetahui aku anak Syahbandar Lamuri. “Kurang lebih seratus tahun lalu,” lanjut Azedine, “seorang Tunis yang sudah bertahun-tahun memasok rempah-rempah dari Malabar ke bandar-bandar di negeri Magrib, terkejut bukan karena Syahbandar Malabar datang ke rumahnya, tapi karena melihat beberapa Peranggi yang dibawa sang Syahbandar.”

Menurut penguasa bandar Malabar itu, lanjut Azedine, orang-orang Peranggi ini tersesat dan tidak dapat berbicara bahasa Arab, maka dibawalah mereka ke rumah si pedagang yang terkenal menguasai banyak bahasa. Mereka adalah kaum Peranggi pertama yang datang ke bandar ini. Tapi sang pedagang tidak percaya bahwa mereka tersesat. Di Al Gharb, wilayah Peranggi di selatan, sang pedagang sudah lama mendengar bahwa para penguasa Peranggi sedang gencar-gencarnya mengirim orang-orang hukuman yang tak berguna di negerinya untuk menemukan daratan Cina dan Malaya. Apabila orang-orang hukuman ini pulang dengan selamat, maka mereka akan menjadi mata layar bagi sejumlah armada Peranggi yang sedang dipersiapkan untuk tujuan itu.

Baca juga  Sumadi Becak

Merasa bahwa jejaknya disusuli oleh orang Peranggi, sang pedagang bertanya kepada salah satu dari mereka: Setan apa yang telah membawa engkau kemari? Dan orang-orang Peranggi menjawab: Bau rempah-rempah.

Di tengah-tengah pembicaraan—dan belum sempat aku jawab pertanyaan Azedine tentang apa yang kini dilakukan Peranggi di Semenanjung Malaya—tiba-tiba si orang kotor yang sejak tadi pagi ditinggalkan penontonnya dan masih sempat aku lihat bagaimana dengan sedih ia membungkus sangkarnya yang tidak tertebak itu, datang menghampiri meja kami.

“Ke mana saja kau Si Ujud? Aku cari-cari dari tadi. Ambil barang-barangmu kita berangkat sekarang!” kata si orang kotor dalam Melayu kepadaku.

Aku terpana sejenak. Azedine yang tidak memahami bahasa Melayu, tapi cepat menyadari apa yang terjadi, tertawa terbahak-bahak. Hamzah yang sudah aku tunggu selama tiga hari ternyata si orang kotor!

“Bagaimana? Ada yang berhasil menebak isi sangkar, Hamzah?” tanya Azedine setelah tawanya reda.

“Sempurna, Azedine yang pemurah,” jawab Hamzah, “Sudah bertahun-tahun tidak ada yang mengetahui apa yang tersembunyi di dalam sangkar ini. Aku harus berangkat sekarang, membawa anak ini, seperti dipesankan ayahnya. Kita akan berjumpa lagi suatu hari nanti.”

Azedine tersenyum. Berdiri memeluk aku, lalu Hamzah. Dan mengucapkan selamat jalan.

Di dalam hati aku kutuk Hamzah karena dia telah membuat aku menunggu. Sampai pada hari ketiga di perjalanan aku belum berbicara sepatah kata pun dengan dia. Aku akan diam sampai dia meminta maaf. Tapi apa yang bisa aku harapkan dari seseorang yang bahkan merasa tidak perlu untuk bertanya tentang keadaan seseorang yang baru dikenalnya, anak dari sejawatnya yang terhormat?

 

SELAMA perjalanan Hamzah sering tertinggal berpuluh-puluh meter di belakangku, hanya untuk bertanya pada orang-orang yang dijumpainya di jalan apakah mereka tahu atau kenal dengan isi sangkar yang dibawanya. Dia sangat puas ketika orang-orang di jalan tidak menjawab, dan hal itu ditunjukkannya dengan kedua matanya yang berbinar-binar dan mengulang-ulang kata “sempurna”.

“Memang apa isi sangkar ajaib itu?” aku yang sudah tidak tahan untuk tidak berbicara akhirnya bertanya pada hari kelima perjalanan kami.

Hamzah meletakkan sangkar yang dia bawa, menatap sangkar itu dengan kesedihan yang tidak dibuat-buat, serta memandang ke segala arah untuk memastikan tidak ada orang lain di sekitar kami yang akan mendengar rahasianya, lantas menjawab:

“Hamzah dari Fansur.”

Aku tidak bisa tidak untuk tergelak.

“Lantas siapa yang menjinjing Hamzah?”

“Tuhan Hamzah.”

Aku kembali tergelak, dan mengutuk seluruh hal yang sempat aku lihat ketika itu.

 

SEBAGAIMANA diinginkan ayahku, Hamzah mengantar aku sampai di depan pintu gerbang Sekolah Perkapalan Istanbul. Ia tidak memberikan keterangan apapun di mana aku harus tinggal selama di Istanbul, bagaimana aku akan memulai hari-hariku sebagai pelajar, dan siapa pihak yang harus aku jumpai. Dia lebih sibuk dengan dirinya di dalam sangkar, daripada apapun yang telah membuat aku takjub pada kota Istanbul yang megah. Pada hari itu juga dia berlalu begitu saja dari hadapanku—mungkin karena merasa telah menepati janjinya pada ayahku—tanpa mengatakan ke mana dia akan pergi.

Setelah itu, berdasarkan kabar dari rumah-rumah darwis, yang bertebaran di sudut-sudut kota Istanbul, aku mendengar sekilas-pintas bahwa memang ada orang dari negeriku yang berdiam di Tabriz dan belajar mencintai Tuhan kepada seorang kekasih-Nya di sana. Atau di kedai-kedai kopi dan raki, tempat sekalian pejalan dan pelancong singgah untuk melepas lelah, sering aku dengar dari mereka, bahwa di jalan yang baru saja mereka lalui mereka berjumpa dengan seseorang yang membawa sangkar dan meminta mereka menebak apa isi sangkar. Mendengar hal-hal seperti itu aku hanya bisa melepaskan gelak tawa sambil mengenang ia yang pernah mempermainkan aku di pelabuhan Malabar.

Baca juga  Mawar di atas Bangkai

 

LIMA tahun kemudian, pada tengah malam menjelang awal musim semi, tahun terakhirku di sekolah, seseorang menggedor pintu kamarku dengan sangat keras, seolah-olah seluruh kota Istanbul sedang terbakar.

Manakala pintu aku buka terlihat wajah Hamzah. Wajahnya lebih murung daripada pertama sekali aku berjumpa dengannya. Tubuh Hamzah gemetar, hingga sangkar di tangannya ikut terguncang.

“Apakah kau masih punya sedikit raki?” tanyanya.

Aku berikan dia selimut.

“Bukan selimut, Ujud! Hanya susu singa yang dapat membuat makhluk di dalam sangkar ini tenang,” katanya sambil menjunjung sangkarnya ke udara.

Aku berikan setengah kendi raki kepada tamu tengah malam yang menyusahkan ini. Tapi pertama-tama dia tidak minum untuk dirinya, melainkan dia tumpahkan sebagian besar minuman keras itu ke atas sangkar yang dibawanya, sehingga kain hitam yang menyelubungi sangkar itu basah kuyup.

“Telah terjadi sesuatu di Lamuri. Sesuatu yang akan membuat Hamzah meloncat keluar dari sangkar karena kemarahannya,” kata Hamzah.

Kali ini tak bisa tergelak dan takjub atas kelakuan Hamzah yang ganjil. Dia telah menyebut perihal Lamuri, kampung halaman yang sudah enam tahun aku tinggalkan. Kabar-kabar yang tidak begitu jelas sampai kepadaku bahwa Sultan Maliksyah sedang berada di bawah ancaman adiknya, Nurruddin.

“Seluruh penguasa Lamuri telah berganti tiga bulan yang lalu.”

Hamzah telah memberikan giliran kepadaku untuk gemetar.

“Nurruddin bukan hanya menumpas orang-orang terdekat sultan, tapi juga membasmi burung-burung dan bunga-bunga peliharaan mereka,” tambah Hamzah, seperti tahu apa yang sedang aku bayangkan.

Aku terbenam dalam tangis mengingat nasib ayah dan ibuku di Lamuri, terutama kedekatan ayahku dengan Sultan Maliksyah. Sementara Hamzah, mungkin karena pengaruh raki, atau merasa kemarahannya telah ada yang menggantikan, kembali tenang seperti pertama sekali aku bertemu dengannya di pelabuhan Malabar.

Hamzah masih berdiri di depan pintu kamarku. Kesedihan mengurung kami dalam kebisuan. Suara lolongan anjing kelaparan terdengar dari lorong-lorong kota Istanbul.

“Kalau terjadi sesuatu atas ayah dan ibuku, aku akan membunuh sultan baru, siapa pun dia,” tiba-tiba saja gagasan itu tercetus di kepalaku, di tengah-tengah kemarahan dan ketidakjelasan.

“Untuk itu kau perlu membunuh banyak orang,” sahut Hamzah seperti dapat menduga isi benakku. “Kalau itu terjadi, kau akan kuperingatkan dengan roti dan kismis.”

Aku terdiam. Setelah itu, tidak ada lagi pembicaraan antara aku dan Hamzah. Aku mengutuk sangkar yang dibawa Hamzah karena telah menghabiskan seluruh raki yang aku yakini dapat membuatku tenang setidaknya hingga malam ini. Sementara Hamzah sibuk mengutuk dirinya yang terkurung di dalam sangkar yang menurutnya terus-menerus berusaha meloncat keluar sejak dia mendengar kabar buruk itu. Kadang-kadang dia membujuk dirinya di dalam sangkar agar tidak menghancurkan jeruji yang mengurungnya, sebab menurutnya itu akan sangat berbahaya.

Itulah yang terjadi pada hampir separuh malam itu. Menjelang azan subuh dari mesjid-mesjid di Istanbul, Hamzah pergi meninggalkan kamarku, tanpa menjelaskan ke mana tujuannya.

Baca juga  Cerita Kecil tentang Pohon dan Belukar Masa Kecilku

Setelah malam itu aku tak pernah lagi berjumpa Hamzah.

 

BERTAHUN-TAHUN kemudian, ketika aku menjadi penjaga menara kabut di Kutaraja, ibukota Lamuri, dari pedagang-pedagang yang turun atau singgah ke bandar aku mendengar kabar bahwa Hamzah sedang berada di Gujarat dan masih membawa-bawa sangkar kosong itu bersamanya. Hamzah sudah tidak lagi meminta orang-orang untuk menebak apa isi makhluk di dalam sangkar itu, namun bercerita bahwa dia sedang menundukkan sejenis makhluk yang ternoda kemarahan di dalam sangkar yang mengurungnya. Menurut Hamzah, makhluk yang sudah bertahun-tahun bersamanya itu, hanya berhenti tertarik pada perempuan dan anggur, tapi masih tidak dapat mengendalikan gairah membunuh yang berkobar-kobar di dalam dirinya.

Satu atau dua tahun kemudian, menurut kabar yang dibawa para pedagang, Hamzah terlihat di sekitar Goa. Hamzah meminta roti dan kismis kepada siapa saja yang peduli kepada makhluk sengsara di dalam sangkarnya. Roti dan kismis adalah bius sementara yang akan menundukkan sang makhluk dari amarah dan kesedihan. Sebab, menurut Hamzah pada orang-orang yang ia mintai kismis atau anggur, sang makhluk percaya bahwa kebebasan terdiri atas dua rasa, yaitu tawar dan manis. Dua jenis rasa yang senantiasa membebaskan sang makhluk dari kepahitan duniawi.

Ketika aku sedang menyiapkan rencana pembasmian secara besar-besaran atas persaudaraan rahasia Kura-kura Berjanggut, aku mendengar bahwa Hamzah yang dulu memintai roti dan kismis untuk makhluk di dalam sangkarnya, terlihat di Koromandel. Kini ia telah membakar sangkar sang makhluk. Bahkan ada yang bercerita melihat sendiri Hamzah mencampur anggur yang diminumnya dengan abu sisa pembakaran sangkar sang makhluk, layaknya orang-orang Peranggi yang menambahkan bubuk mesiu ke dalam anggur mereka.

Dan, tambah para pengelana, Hamzah bersiap-siap menunggu waktu yang tepat untuk menyeberangi lautan menuju Bawah Angin. Kurang lebih setahun kemudian, setelah persaudaraan Kura-kura Berjanggut berada dalam kendaliku dan pada saat yang sama aku sedang menyiapkan pembunuhan atas Sultan Nurruddin, kabar tentang Hamzah nyaris tak terdengar lagi. Orang-orang mengira Hamzah sedang berada di tempat baru untuk mencintai Tuhan dengan cara baru. Atau mungkin Hamzah telah ditelan lautan luas, yang kerap bergelora seperti syairnya. Lautan dalam yang tak terduga seperti halnya benak Hamzah yang ganjil.

Hingga pada suatu pagi, seekor burung pingai menerobos masuk ke dalam kamarku. Burung itu memandang aku dengan sedih. Pastilah seseorang telah melatih si burung sehingga dia dapat memancarkan kesedihan dari matanya dengan demikian sempurna. Burung itu menjatuhkan roti dan kismis di atas tempat tidurku. Hamzah telah menampakkan wajahnya di hadapanku lebih cepat, sesaat sebelum burung itu melesat meninggalkan kamarku, dan aku segera berpikir bahwa Hamzah sedang memperingatkan aku yang sudah terlalu banyak membasmi orang-orang yang tergabung dalam persaudaraan rahasia Kura-kura Berjanggut. Adapun pembasmian ini adalah salah satu jalan yang harus aku lalui demi membunuh Sultan Nurruddin. (*)

 

Azhari lahir dan bermukim di Banda Aceh. Kumpulan cerita pendeknya Perempuan Pala (AKY Press, 2004).

 

Loading

Average rating 5 / 5. Vote count: 1

No votes so far! Be the first to rate this post.

Leave a Reply

error: Content is protected !!