Cerpen, M Taufan, Republika

Hujan Darah

0
(0)

“AKU akan menurunkan darah dari langit jika kalian terus memaksaku meninggalkan tanah ini!” seru Taksu sambil berdiri dengan gagah menantang barisan buldoser. Siapa percaya kutukan itu. Orang-orang hanya percaya bahwa ia sudah gila. Menantang buldoser sendirian.

Dari jauh, Lurah Jati berteriak dengan serak supaya Taksu minggir. Tapi, Taksu diam di tempatnya, lebih baik mati daripada harus merelakan tanahnya. Buldoser terpaksa nekat, menggusur ladang dengan garang. Mereka pikir Taksu akan minggir. Tak selangkah pun ia mundur.

Lima buldoser tak bergerak, berhadapan dengan tubuh kurus Taksu sendirian. Mereka gugup dengan keberanian tua renta itu. Pertarungan sementara berhasil dimenangkan. Untuk mengucap syukur dan menguatkan hatinya membela haknya, ia masuk ke dalam gubuk, gubuk bambu tempat para petani biasa bersembahyang.

Taksu sendirian mengumandangkan azan meski belum waktunya shalat.

***

Kaspari, anaknya, mendatangi Taksu di gubuk langgar. Membujuknya untuk rela meninggalkan lahan itu. Taksu hanya komat-kamit membaca zikir saat Kaspari terus berbicara.

“Ayolah, Abah. Kita tak akan kuat melawan mereka. Mereka memegang surat kepemilikan dan izin mendirikan usaha,” ujar Kaspari.

Taksu sama sekali tak menanggapi. Hanya kesal dan sesal dalam hatinya, anaknya sendiri tak mampu ia pertahankan untuk membela kepentingan keluarga dan leluhurnya.

“Kita tak punya bukti, Bah. Mereka hanya tahu kita sudah berpuluh-puluh tahun menggarap tanah ini. Ayolah, mereka juga sudah memberikan santunan buat kita. Kita syukuri saja, pergi ke kampung lain, semoga saja berkah.”

Mendengar itu, amarah Taksu meledak. Beruntung ia dapat menahannya dengan shalat. Kaspari tahu kemarahan ayahnya dalam shalat. Ia beranjak pergi dengan langkah yang dingin.

Di depan gubuk langgar, ada beberapa kuburan yang dinaungi beringin dan kamboja. Kuburan leluhur dan keluarganya yang mesti ia jaga. Sebelumnya, Kaspari juga datang dan mengatakan bahwa kuburan leluhur itu akan dipindahkan ke tempat yang lebih aman jika nanti tanah itu jadi dibangun pabrik.

Baca juga  Malam Seorang Maling

Waktu itu, Taksu masih mau diajak bicara. Kaspari menjelaskan bahwa ada usaha lain, selain berladang. Menurutnya, di kampung lain, mereka bisa membuka kelontongan atau ngojek. “Dunia belum kiamat, Abah. Kita bisa usaha yang lain!”

Taksu saat itu meradang. Baginya, kemampuannya hanya bisa berladang. Berpindah kebiasaan bukanlah hal mudah.

“Dasar bodoh! Kamu tidak lihat nasib orang-orang yang meninggalkan kampung? Lihat mereka yang pergi ke kota? Hidup mereka di sana kebanyakan susah, hanya satu-dua yang berhasil. Mau ke luar negeri? Di sana juga orang banyak yang mati. Di kampung lain belum tentu tanahnya lebih baik. Banyak orang pindah kampung juga kelaparan!”

Kaspari tak bisa membantah. Ia tahu karakter bapaknya yang keras kepala itu. Ia hanya bisa pergi sambil memikirkan cara lain agar bapaknya mau menurut.

***

Kali ini, Taksu kembali terdesak ke gubuk. Untuk kesekian kalinya, mereka menggusur tanah itu dengan buldoser. Kaspari dari jauh menyaksikan itu dengan linangan air mata. Dalam benaknya, ia bangga kepada bapaknya yang kukuh pada pendirian.

Buldoser hendak merangsek langgar itu. Sayup-sayup suara Lurah Jati memberi semangat buldoser untuk bersiap merobohkan langgar sambil terus berusaha memperingatkan Taksu agar menyerah.

“Keluarlah, Taksu! Ini bukan tanahmu! Bos Iwul pemiliknya. Beruntung bertahun-tahun kau diberi kesempatan menggarapnya!”

Taksu sama sekali tidak kendur. Orang-orang kampung terus berteriak agar Taksu keluar. Sama sekali tak ada tanda-tanda orang tua itu akan keluar. Malah terdengar suara azan di dalam langgar.

“Dasar balela!” sahut seseorang.

“Taksu! Apa-apaan kau ini? Keluar!” seru yang lain.

Maka, dengan isyarat tangan Lurah Jati, buldoser bergerak merangsek. Dari jauh, Kaspari melihat Taksu malah mendirikan shalat. Saat itu tepat waktu Zuhur. Debu melintas pada setiap mata yang menyaksikan. Daun kamboja jatuh dengan resah. Ada yang berbisik ke dalam setiap sanubari. Kematian sedang melayang-layang di udara.

Baca juga  Luka Pun Menganga

“Mati!”

“Konyol!”

“Bego!”

“Taksu!”

Begitu teriak para penyaksi. Tak ada satu pun dari mereka yang memihak lelaki renta keras kepala itu.

***

Satu persatu sahabatnya pergi. Mereka sudah menyerah lebih dulu sebelum perang dimulai. Uang yang dibagi-bagikan Iwul membuat mereka berubah pikiran untuk tidak lagi bersama Taksu dalam satu garis perjuangan.

Pernah satu kali, Sukri—sahabat dekatnya—datang ke langgar setelah berminggu-minggu sama sekali tak kelihatan batang hidungnya. Taksu sangat senang. Ia berapi-api agar sahabatnya itu mempertahankan pendiriannya: menjaga tanah warisan leluhur. Tapi, ada yang aneh. Setelah sempat menghilang, Sukri jadi gemar mengotak-atik barang barunya, telepon genggam keluaran terbaru.

Taksu bertanya dari mana Sukri mendapatkan barang mewah itu. Sukri menjawab dengan enteng, “Dari Iwul.” Taksu meledak bukan kepalang, diusirnya sahabatnya itu dari langgar.

Sahabat sejati telah pergi meninggalkannya. Tak ada lagi yang bisa diajaknya bicara dan Taksu sudah mulai membisu.

Tapi, ada yang berdiri di belakang, membelanya dengan darah. Kaspari menantang buldoser sebelum sempat menggilas langgar. Ia membelanya, mungkin bukan karena tanah warisan leluhur, tetapi karena rasa cinta terhadap bapaknya.

Sekali lagi buldoser mundur. Meninggalkan bapak beranak itu dalam rintihan. Berkali-kali Taksu mengajak anaknya bicara, tapi bahasa sudah remuk bersama tubuh yang bermandikan darah.

***

Kampung itu menjadi amis dan asin karena di serang hujan darah. Darah melintas ke tiap-tiap pintu rumah bersama jeritan dan rintihan yang merasuk kepada setiap penghuninya. Para manajer pabrik dan pegawai pemerintah mengusahakan inventarisasi kendaraan karena mereka takut kecipratan darah. Darah itu bisa membuat orang terkena penyakit mematikan: kulitnya melepuh disertai demam dan mual-mual.

Di jalanan, orang-orang memakai masker untuk menahan bau amis. Langit menjadi pucat. Antrean kendaraan mengambang bersama darah yang bertempias di tanah. Setiap orang jadi mudah naik darah. Seorang lelaki setengah baya tiba-tiba menghardik seorang pemuda berponco karena telah menyerempet mobilnya. Tanpa disadari, darah bercipratan di tangan hingga lelaki tengah baya itu tiba-tiba mati di tengah jalan.

Baca juga  Bakiak Sang Kiai

Pernah Lurah Jati mendatangi Taksu untuk membujuknya menghentikan doanya. Taksu bilang, ia tak pernah berdoa agar Tuhan menurunkan darah dari langit. Taksu justru berdoa agar Tuhan menghentikannya. Tapi, hujan darah itu terus saja mengguyur kampung itu hingga meluas sampai perkotaan.

Meski sekelilingnya sudah menjadi pabrik, Taksu berhasil mempertahankan langgar dan tanah kuburan. Ia hidup di sana sampai kematian menjemputnya.

Kini, banjir darah itu datang satu tahun sekali. Pemerintah dibuat pusing memikirkannya: pabrik-pabrik lumpuh, wisatawan terkena travel warning, sungai-sungai mati oleh darah, dan ikan-ikan menjadi buas. Pada tahun 2040, bencana ini dinobatkan sebagai bencana resmi negara. (*)

Cikarang, 16 September 2010

M Taufan adalah nama pena dari Muhammad Taufan Musonip. Lahir pada 16 Desember 1979 di Bandung. Pendidikan terakhir D3 Teknik Kimia Universitas Jenderal Achmad Yani. Menyukai dunia sastra dan tergabung dalam beberapa komunitas, seperti Jurnal Sastratuhan Hudan, Apsas, Forum Lingkar Pena, dan Majelis Sastra Bandung. Sekarang tengah membentuk Komunitas Sastrawan-Pekerja Indonesia.

Loading

Average rating 0 / 5. Vote count: 0

No votes so far! Be the first to rate this post.

Leave a Reply

error: Content is protected !!