Cerpen, Jawa Pos, S Jai

Perempuan yang Menikahi Hujan

2.7
(3)

I

KAU begitu memuja hujan, seakan rinai dan desau angin yang menampiaskan rintik jarum-jarum ke dinding itu, pepohonan, juga rerumputan dan tanah becek berlubang itu kekasihmu. Itu tak hanya satu waktu yang kutahu. Di sepanjang perjalanan saat kau di belakang punggungku dalam kendara sepeda motorku, bahkan memintaku untuk menerobos gerimis tipis itu.

Ketika aku gundah, lantaran rupanya kau sengaja tanpa siap sedia mantel, sehingga aku mencemaskan kesehatanmu, tubuhmu, dirimu justru menarikan kata-kata, berceloteh menerbangkan makna kalimatmu ke udara dingin yang lembab basah tentang mimpi-mimpimu dalam penglihatanmu sendiri.

Lantas engkau pun meresahkan kegalauanku dengan menawarkanku sejenak duduk di bangku kayu pedestrian itu, malam-malam dan kemudian memesan semangkuk ronde, sementara engkau memesan angsle, kesukaanmu. Maka aku yang mestinya membujukmu, sebaliknya justru larut dalam tarian sayap-sayap katamu. Aku yang seharusnya memerah hati dan perasaan dinginmu, untuk menarik sekadar rasa simpatimu, malah memanen buah rindu dari kerling tajam matamu yang berkaca-kaca.

“Jangan lagi pernah cemaskan aku,” katamu. “Cuaca dingin, desir angin, gempuran hujan, sekalipun lidah petir tak kan lagi sanggup melumpuhkan gairah hidupku. Percayalah. Telah lama kuputuskan dialah kekasihku dan aku telah menikahinya dengan sepenuh kebahagiaan.”

“Kau perlu penghangat tubuhmu, karena itu kita mampir di kedai ini, bukan? Kau bisa terserang flu karenanya,” kusodorkan pikiran realistisku.

“Ah, hanya urusan tubuh. Hujan juga menginspirasi untuk menangkal segala penyakit tubuhku. Air putih bisa menyapu bersih,” sergahmu.

“Jadi benar kau anti minum segala bentuk tablet obat-obatan, sekadar paracetamol pun?”

“Ya, begitulah. Seperti yang pernah kau dengar.”

Kucoba untuk berdamai diri dari apa yang kudengar lebih menyerupai sayap kata dari pelbagai puisi dengan menata diri, mengatur nafas, memusatkan perhatian pada potensi diri mata, telinga, aroma, juga kulit tubuhku sendiri dan tentu saja batinku: apakah sebetulnya ini nyata? Apakah aku tidak sedang berada di tempat yang salah? Apakah denyut hidupku bisa memantulkan makna dari laku diriku di ruang dan waktu malam-malam tanpa bintang itu?

“Maaf, bukan maksudku untuk menafikan segenap lakumu bagiku, begitu engkau tahu kekasihku hanyalah hujan. Kukira engkau memahami ini semua, dan tak perlu aku mengguruimu dalam tetek mbengek urusan cinta,” ucapmu.

“Kalau begitu tak perlu kau meminta maaf. Kau juga yang telah mengajari aku untuk tidak penting meminta maaf padamu. Antara kau dan aku sudah sama-sama memahami dalam jebakan hidup seperti ini. Ada rahasia antara engkau, aku, hujan dan cinta.”

Tak kuterima maafmu.

II

MALAM itu kami menembus tirai hujan, sepanjang kota. Pepohonan, gedung, juga rumah-rumah terbungkus suasana getir kami pada cinta. Kami sama-sama melukisnya dengan tekun dari mata pandang kami, jemari kami, angan kami, mimpi kami, akan tetapi kami sama-sama tidak saling tahu keindahan lukisan di antara kami.

Bahkan kami tidak saling mengerti lukisan anak-anak kami. Kau melukis gerak tarian hidup anak-anakmu: Afghanistan dan Vatikan. Sementara aku menggambar arus desar yang mengalir di sungai anakku: Damir, Makhfi, Zahra.  Yang benar-benar kami mengerti adalah anak-anaklah kebahagiaan kami. Ah, kadang-kadang kami saling bertanya diri tentang kebahagiaan itu. Makluk apakah sebetulnya kebahagian? Maka jawab singkatnya adalah anak-anak.

“Sesuatu yang kuinginkan,” ujarmu pada suatu ketika tentang kebahagiaan.

“Kau sudah memiliki,” aku menyakinkan dia meski berharap suaraku itu bergema di dindingku juga.

Di mataku kau perempuan yang sangat perkasa dan amat dikasihi Tuhan. Ah, soal ini tentu engkau lebih tahu dariku bahwa Tuhan tidak akan membebani ujian yang berat kecuali bagi makluknya yang memang mampu melampauinya. Dan kau terpilih untuk itu. Kenyataan hidupmu itu sangat berat, membayangkanmu saja aku tidak mampu apalagi bila kau meminta nasehat dariku, terlebih kasih sayang atau cinta. Apalah artinya aku bagimu. Sejak lebih lima belas tahun lalu, aku cukup mengerti dan tahu diri dan tidak layak merebut simpatimu sekalipun aku tersihir mata tajammu yang blingsatan berkaca-kaca itu, atau derai rambut panjang sebahumu yang lembut dan baru kutahu jawaban misterinya dari puisimu: matahari kecil dari jalan sutra itu.

Ketika kembali kukatakan tentang keindahan matamu itu, kau hanya tersenyum dan sama sekali tak hendak mempertontonkan penyesalan, bukti bahwa sungguh telah kau pahami sedalam-dalamnya dirimu sebagai bukan perempuan biasa. Kendati, sesekali kepada orang-orang yang mengukuhkan kekagumanku pada matamu itu, kau berseloroh; ah kau tak tahu jika pun baru kuakhiri tangisku, bukan?

Baca juga  Kisah Tiga Ayah yang Dituduh Gila

Hanya aku yang tak pernah percaya engkau pernah menangis. Atau setidaknya aku tak percaya kau memiliki hati yang cukup kuat untuk menderaikan airmata. Kau sangat kukuh sebagaimana kebanyakan perempuan bermata elang lainnya. Pekerja keras. Cerdas. Sungguh, aku tak bisa melumpuhkan kekuatan dan kebesaran jiwamu ini jika hanya dengan memaklumi dengan percaya bahwa kau pernah menangis.

“Sesungguhnya, yang kupercaya, kuketahui dan kuyakini kebenarannya adalah engkau memiliki kelembutan hati,” ucapku.

“Ah, sok tahu kamu.”

“Karena itu yang membedakanmu dengan istriku. Sesama perempuan luar biasa, kau punya kelembutan dibanding ibu dari anak-anakku, yang humoris.”

“Istrimu tidak hidup sendiri lantaran ada engkau suaminya. Itu juga yang membedakan dia dengan aku,” kau coba menangkal.

“Kau punya hujan, Sayang.”

III

SEBELUM memiliki kekasih, jatuh cinta pada hujan dan kemudian menikahinya, kau pernah resah. Kau mengaku lelah dalam keperkasaanmu. Kau merindu lelaki yang bisa menyangga tubuh, jiwa dan mimpimu. Kepadaku, engkau ingin sebagaimana menjadi perempuan biasa yang juga ingin bercinta di tilam dan sofa, menyiapkan air putih untuk membasahi tenggorokannya yang mengering oleh sebab ciuman sampai bibirnya berdarah. Juga yang tak terlupa kata “terima kasih percintaan semalam,” pada pagi harinya dengan memasang muka berseri di sela aroma masakan rawon, lodeh tewel atau pecel lele kesukaanmu.

“Ya. Itu pilihanku,” tandasmu. “Tapi hujan juga seperti kebanyakan laki-laki. Datang tak diundang, pergi tanpa permisi. Tiba tampak muka, kembali tak diantar. Mendung kadang hanya melintas di langit mimpiku. Dan yang paling menjengkelkanku rindu hujan menderas hanya dari atas justru tatkala tubuhku kuyup kedinginan.”

“Bukankah kebebasanmu lebih berharga dengan pilihanmu menikahi hujan yang kesetiaannya begitu sederhana, mencintaimu hanya berbekal mendung tebal dan tanpa dosa itu?”

“Sejujurnya aku merindukan sesuatu cinta yang rumit. Cinta yang ekspresif dan mengumbar rasa kasih dan sayang yang nyata dan bukan seperti drama yang kau mainkan.”

“Aku memainkan drama?” selorohku.

“Ya. Coba katakan padaku sesuatu yang bukan drama.”

“Aku mencintaimu, tetapi aku tidak tahu bagaimana caranya.”

“Huh… masih acting kamu!”

“Aku kangen padamu.”

Aku menatap tajam matamu. Lalu kupegang jemarimu. Lantas kupeluk kamu sebagaimana gambaran mimpiku lima belas tahun lalu. Tentang hal ini sungguh di luar pikiranku, bagaimana bisa kau begitu detil mencermati kata demi kataku. Aku sendiri tidak pernah peduli ini drama atau bukan, ini mimpi atau kenyataan. Sebab itu seluruh yang kutuliskan ini juga tak pernah kucermati mimpi ataukah kenyataan, atau kenyataan mimpi termasuk tatkala kau menikahi kekasih yang tercinta: hujan.

“Aku suka yang begini. Bukan drama,” katamu.

Kurasa bagiku masih belum cukup. Sebab itu aku masih perlu bisikkan sesuatu untuk mengekalkan kangenku padamu. Lagi-lagi tak kupedulikan ini drama atau bukan. Kubisikkan padamu, “Langit melarung rinduku pada perempuan yang menikahi hujan. Mendung terdiam merenungi sabda alam.”  Sungguh di luar dugaanku bila kemudian kau melengkapi bisikan kataku dan membalas dengan nafas yang tenang persis di daun telingaku yang telah membara, “Bukankah langit membiru sudah merenggut hujan? Jadi rindu itu harus ikut menguap dengan awan….” ucapmu lirih.

Meski tak kumengerti, aku tidak juga mencoba untuk mencari arti. Semestinya aku cemburu pada hujan, tetapi hal itu juga tak kulakukan padamu.  Keyakinanku pada setiap sekecil apa pun pastilah bermakna mengemuka.

Dan aku tiba-tiba memilih menjadi mendung yang terdiam.

IV

DI RUMAHMU, di sebuah gang gelap di tepi sebelah timur kota ini kau bertutur kisah tentang masa silam seakan memunguti kata seperti menyantap nasi bungkus pecel lele dari jemari tanganmu. Tentang kepergian ibunda tercintamu, tentang sasmita-sasmita sebelum ayahandamu mangkat, dan sudah barangtentu perihal proses hukum perpisahan dengan lelaki suamimu yang kini tetap menjadi ayah dari anak-anakmu. Seluruh kisah yang bagiku sesungguhnya makin mengukuhkan kelembutan hatimu di balik mata tajam dan keras jiwamu.

“Terima kasih mau mendengarkan penderitaanku. Terima kasih mau menemaniku. Hal yang tidak bisa dilakukan oleh hujan,” desahmu.

“Tak perlu itu. Sudah kubulatkan tekadku. Kuingin menemanimu, juga kasih sayang itu. Sebelum kau ditemani orang lain. Selama hujan tak kunjung datang. Tapi syukurlah sekarang hujan lebih sering datang yang berarti itu berkah cinta buatmu. Walaupun cintamu menyisakan empati bila hujan berkepanjangan dan membawa banjir kemana-mana.”

Baca juga  Sihir Batu Bata

“Jangan mencari-cari dosa hujan, Sayang….” tepismu.

V

KETIKA aku hendak pulang, malam itu, di teras rumahmu yang berumput dan bayang kemilau lampu pada pelataran yang basah, kau bertutur tentang mimpimu juga anak-anakmu pada hujan abadi. Hujan yang memiliki jantung. Hujan yang berkulit dan bernafas. Jantung hujan. Nafas hujan. Hati hujan. Tarian hujan. Hujan yang tidak hanya datang dari langit, tapi juga dari bumi, dari angin, dari mana saja. Hujan yang juga memiliki dosa.

“Aku rindu hujan yang bisa kutunggu, yang sudi mendengarkan cerita-ceritaku, menemaniku di tilam dan sofaku.”

“Hmmm….”

“Lalu apa pandapatmu?”

Aku hanya seperti mendung yang diam merenungi sabda alam.

“Kau, juga aku, telah sama-sama memiliki bayangan hujan yang bisa berkobar, kekasihku: anak-anak. Kukira kita bersepakat anak-anakmu adalah anakku, demikian pula putra-putriku juga bagian hidupmu, kini,” pintaku.

Maka kuajak serta kau berdoa untuk bersetuju mengiringi tarian bayangan hujan itu:

Yang Tersayang Anakku, selamat mengayunkan langkahmu di kehidupan barumu. Bapak ibu mengiringmu dengan doa. Bukan dengan duka atau nestapa.  Yang terkirim ini adalah harapan dengan keyakinan yang sudah menjadi bagian hidup dari ibunda, Sayang. Yakni keyakinan akan tumbuh kembangmu dari benih kasih sayang orang tua. Ingatlah setiap jejak kakimu senantiasa mesti kau sadari bahwa segalanya demi hari depanmu. Bukan demi masa depan bapak ibu, meski terang sudah teruntuk pula kebahagiaan hidup kami, orang tuamu.

Yang Terkasih, tertawa, gembira sebetulnya bukanlah tujuan hidup karena hal itu, juga suka, bahkan air mata bisa sebagai tipu muslihat mimik wajah kita saja. Apalah artinya itu semua bila tanpa sesuatu yang sejati?  Kebahagiaan yang sejatilah yang menjadi idaman setiap orang—juga bapak ibu, dan tentu saja engkau bukan? Karena itu resapilah selalu nasehat-nasehat bapak-ibu perihal pentingnya menempuh jalan kebahagiaan baik lahiriah maupun batiniah.  Pahamilah detil ranting-rantingnya jalan menuju itu sekalipun itu kecil, Sayang. Sebagaimana engkau bersujud mesti mengawali dengan doa untuk doa selanjutnya, membasuh ujung jemari untuk membersihkan keseluruhan diri.

Demikian pula ajaran tentang kebahagiaan, karena bila itu engkau resapi dan tempuh, di manapun  tempat engkau berada, dalam suasana gelap maupun terang, tetaplah berada dalam pangkuan Tuhan yang mahasuka dan jiwa bapak-ibu yang girang gembira. Bapak ibu ingin berpesan, hendaknya bersukacitalah, bergembiralah, tertawalah yang didasari kebahagiaan sejati, dan jangan oleh karena beban hidupmu menyonyong masa depan yang menuntutmu menyunggingkan senyum. Kuasai dirimu, Sayangku, dan tempuh segala jalan kebahagiaan dengan ikhlas.

Buah Hatiku, sejujurnya dalam hal keikhlasan menempuh jalan kebahagiaan itu banyak manusia yang jeleous padamu. Sudah barang tentu termasuk bapak-ibu. Karena engkaulah yang masih terbuka lebar menggali kemampuan bermain, mengeksplorasi suasana batin, juga mengekplorasi daya nalar serta panca indramu, menggali potensi-potensi itu semua padamu dan kawan-kawanmu, di lingkungan kita.

Kau perlu tahu bahwa semakin manusia bertambah umur, maka kemampuan merespon impuls-impuls bermain itu menyusut. Kecuali bila pada masa kanak-kanak dan remajanya dikembangkan dengan sungguh instingnya, maka niscaya di kelak kemudian hari akan lebih kaya, berwarna. Inilah tujuan kebahagiaan sejati, Anakku. Karena itu, percayalah, demi itu semua, janganlah ragu untuk bermain. Bersukacitalah, bergembiralah, bermainlah dengan segala daya ledak pikiran, emosi dan hatimu. Tanpa muslihat di sana. Nikmatilah….

Engkau Belahan Jiwaku, di ruang yang terpisah seperti ini, engkau tak boleh meragukan nasehat bapak-ibu. Bahwa sepanjang bapak ibu masih hidup dan bahkan hingga di kehidupan berikutnya, kami yakin senantiasa bahagia menikmati kebahagiaanmu.

Sayangku, bagi kami, tak ada hal yang paling terhormat dan mulia selain segalanya demi putra putri tercintanya, sekalipun itu cuma berdoa lantaran engkau sedang di tempat yang berbeda, hatinya berbeda, dan darah dagingnya yang menjadi berbeda. Rindu sudah barang tentu. Pada musik yang mengalir dari jari-jemarimu yang lembut bagai irama cemara. Juga pada gemercik air kran saat engkau rajin mengambilnya untuk mengetuk pintu dan bertamu pada yang Maha Suci. Dengan Penuh Cinta.

VI

MALAM itu ketika aku pulang, di teras rumahmu yang berumput dan bayang kemilau lampu pada pelataran yang basah, kau bertutur tentang mimpimu juga anak-anakmu pada hujan abadi. Hujan yang memiliki jantung. Hujan yang berkulit dan bernapas. Jantung hujan. Napas hujan. Hati hujan. Tarian hujan. Hujan yang tidak hanya datang dari langit, tapi juga dari bumi, dari angin, dari mana saja. Hujan yang juga memiliki dosa. (*)

Baca juga  Penyewa Rahim

Teruntuk Heti Palestina Yunani,

Putri (alm) RM Yunani Prawiranegara

 

S Jai, jebolan Sastra Indonesia saat bernaung pada Fakultas Ilmu Sosial dan Politik, Universitas Airlangga. Lahir pada Ahad Kliwon, 4 Pebruari 1973, di dekat kaki Gunung Kelud.

Untuk keperluan birokrasi, ketika memasuki bangku SD, surat kenal lahir mesti diubah 4 Pebruari 1972. Bermula dari bermain drama di Bengkel Muda Surabaya dan terlibat penggarapan sejumlah lakon. Pernah mengikuti Pertemuan Teater Indonesia tahun 1993 di Surakarta. Bergaul dengan sejumlah komunitas seni, Kelompok Seni Rupa Bermain (KSRB), Teater Puska, Teater Gapus Unair, Forum Studi Sastra dan Seni Luar Pagar (FS3LP). Di awal gerakan reformasi, tahun 1994 terlibat kegiatan Malam Seni Luar Biasa di Dewan Kesenian Surabaya memperingati 100 hari pembredelan Tempo, Editor, Detik bersama seniman dari Surabaya, Gresik, Blitar, Solo dan Yogyakarta. Tahun 1995 bersama KSRB membuat gerakan budaya dalam puisi, cerpen, teater, seni rupa dalam Kami di Depan Republik di STSI Denpasar, selaku kontributor gagasan Seni Rupa Peristiwa, tahun 1998 esainya termaktub dalam katalog Istighotsah Tanah Garam, penyerta ritual tanah di lokasi rencana pembangunan waduk Nipah di Sampang, Madura. Pada 1999 selaku kontributor gagasan gerakan budaya Wayang Kentrung Tiji Tibeh kerjasama BMS dengan The Japan Foundation. Selain esainya termaktub pada katalog, juga selaku sutradara bersama Saiful Hadjar, Harman Sumarta, Amir Kiah, dan dramawan Akhudiat.

Agustus 2004 mendirikan Komunitas Teater Keluarga—Kelompok Intelektual Asal Lingkungan Jalan Airlangga. Inilah awal Komunitas Teater Keluarga menggagas teater monolog Alibi yang ditulis dan disutradarainya sendiri. Alibi digagas dalam bentuk Gerakan Seni Budaya Mengelola Spirit Neo-Primitif: Sebuah Konsep Gagasan Teater Tutur” pada November 2004 di Fakultas Sastra Universitas Airlangga. Sejumlah nama yang turut memberi kontribusi Mashuri, F Aziz Manna, Indra Tjahjadi, Putera Manuaba, Zeus Anggara, Listiyono Santoso, Adi Setidjowati. Pada sepanjang 2008-2009 menggelar teater Racun Tembakau adaptasi dari On the Harmful Effects of Tobacco, Anton Chekov dengan gagasan “Estetika  Realisme-Primitif, Testimoni, dan Pengutuhan Kualitas Hidup” di sejumlah kota Surabaya, Malang dan Bangkalan.  Salah sebuah esai teaternya termaktub dalam Realitas Pengap diterbitkan oleh Blesi Press 2010. Dua buah naskah dramanya dikumpulkan Dewan Kesenian Jawa Timur bersama penulis lain di bawah Dewa Mabuk, 2010

Di lapangan sastra, menulis cerita pendek di pelbagai media. Novelnya Tanah Api diterbitkan LKiS Yogyakarta 2005. Lalu novel Gurah, sebagian fragmennya dimuat bersambung di Surabaya Post pada tahun yang sama di bawah judul Tak Sempat Dikubur. Kini sedang mempersiapkan penerbitan novel berikutnya, Tanha, Kekasih yang Terlupasebuah novel yang diilhami dari menggali spirit mitos Cerita Panji. Salah satu gagasan sastra pasca mitos termaktub dalam buku Konservasi Budaya Panji diterbitkan Dewan Kesenian Jawa Timur, 2009.

Cerita pendeknya Rembulan Terperangkap Ranting Dahan, terpilih pemenang ketiga sayembara cerpen berdasar Cerita Panji yang diselenggarakan Dewan Kesenian Jawa Timur dan Dewan Kesenian Jombang, 2010. Cerpennya Rumah terpilih dalam 10 cerpen terbaik pilihan Festival Seni Surabaya 2010 dan dibukukan dalam Imajinasi Tentang Kota.

Menulis pelbagai esai yang dipublikasikan di sejumlah media, baik esai budaya maupun kemasyarakatan. Sambil sesekali menggarap film dokumenter dan iklan-iklan layanan masyarakat. Untuk memenuhi kebutuhan hidup, sehari-harinya ayah Raushan Damir, Khasyful Kanzan Makhfi dan Zahra Ulayya Mahjati ini bekerja selaku Head of Arts and Cultural Outreach, The Center for Religious and Community Studies (CRCS) Surabaya—sebuah lembaga pemberdayaan yang bergerak di bidang pendampingan, pendidikan alternatif dan penelitian masalah-masalah agama dan kemasyarakatan.

Kini tinggal di dekat pinggiran hutan jati Kecamatan Ngimbang, Lamongan Selatan.

Loading

Average rating 2.7 / 5. Vote count: 3

No votes so far! Be the first to rate this post.

Leave a Reply

error: Content is protected !!