Awit Radiani, Cerpen, Kompas

Hatarakibachi

Hatarakibachi - Cerpen Awit Radiani

Hatarakibachi ilustrasi Zico Albaiquni/Kompas

4.3
(41)

Cerpen Awit Radiani (Kompas, 25 November 2012)

BAHASA Inggris dengan pengucapan payah petugas bandara membuat aku semakin sakit kepala. Sebenarnya aku enggan datang ke negeri ini. Tapi Satoshi-san mengirim undangan kehormatan kongres seni budaya Asia, yang mewajibkanku hadir. Atau aku dianggap tak menghargai hubungan baik antar negara.

Angin musim semi mengibarkan ujung rambutku. Kesejukan Tokyo ramah menyambut. Sebuah airport limousine menghampiri, membuka pintu dan membawaku ke Tobu Levant di Sumida-ku. Daerah pinggiran kota itu ditempuh dalam waktu satu setengah jam. Aku sedikit mual, mabuk perjalanan. Penyakit kampungan yang menunjukkan asal-usulku. Seniman kampung yang tiba-tiba menjadi duta seni mewakili negaraku. Sebenarnya aku tak siap dengan perjalanan ini.

Di sepanjang jalan kulihat banyak kedai makanan yang membuatku sumringah. Aku ingin mencoba semuanya. Mencicipi sushi asli di tempat asalnya. Pengalaman yang tak bisa dinikmati setiap hari. Dari jendela kamar 1820, Tokyo Sky Tower berdiri menusuk langit. Ah, lagi-lagi sebuah menara landmark kota yang pamer ketinggian. Aku selalu menemukan bangunan seperti itu di setiap negara yang kukunjungi. Menara-menara yang saling adu tinggi, semuanya menyuguhkan pengalaman yang sama. Pemandangan kota dari tempat tinggi atau bentuk khas dari menara itu sendiri.

Bila berdiri di bawahnya takkan terlihat ujungnya, bila naik ke puncak tak terlihat pangkalnya. Terasa angkuh tak tersentuh, butuh waktu lama untuk memahami seluk-beluknya. Tahun lalu saat liburan ke China, aku tersesat di Shanghai TV Tower saat mencari toilet. Hal memalukan yang tak mungkin terjadi di Tugu Yogya. Landmark yang lugu, sederhana, akrab, dan merakyat. Dalam sekali pandang akan terlihat pangkal dan ujung sekaligus. Bisa dipeluk, dicium, diusap sebagai kenangan.

Aku meluruskan kaki di ofuro. Air hangat beraroma bunga merendam lelahku. Di depan cermin kulihat sabun bermerek sama dengan yang di toilet bandara. Aku geleng kepala. Merek Jepang memang ada di mana-mana. Di seberang hotel aku pun melihat papan nama restoran dengan brand yang sama seperti di Jakarta. Produk Jepang benar-benar menguasai dunia. Lalu apa yang akan kunikmati di sini? Semuanya ada di Indonesia.

Selesai mandi aku jalan-jalan seorang diri. Berbekal peta dan buku percakapan bahasa Jepang. Tak lupa kartu nama hotel terselip di saku. Berani bertanya tetap sesat di jalan. Karena orang Jepang sulit berbahasa Inggris. Daripada bingung tak bisa kembali ke hotel, aku berjalan hanya sampai Kinshi-co, stasiun kereta. Lima menit jalan santai dari hotelku. Kaki-kaki manusia Jepang begitu cepat berjalan. Semuanya menyalip langkahku. Tak ada wajah yang bisa kuamati dengan jelas karena semuanya begitu bergegas. Sebentar saja tinggal punggung yang semakin menjauh. Keluar masuk gerbang stasiun seperti kerumunan hatarakibachi di mulut chikatetsu, kutu pekerja yang keluar masuk lorong kereta bawah tanah.

Baca juga  Si Pengarang Muda

***

“Benar-benar seperti menyeret kambing ke air membujuk Endo menemuimu.” Satoshi menuang sake ke gelasku. Lalu mengangkat gelasnya, “Kampai!” Mengajak seluruh peserta kongres minum. Kuteguk sedikit saja, sekadar penghormatan pada tuan rumah. Tak lama rasa hangat naik ke muka. Wajahku memerah. Tapi tak semerah Satoshi, ia menenggak sakenya sekaligus. Orang Jepang minum untuk menghilangkan lelah dan stres karena pekerjaan. Minum sampai mabuk diperbolehkan asal tak mengganggu orang. Beda di kampungku, orang minum karena tak ada pekerjaan lalu mengganggu orang.

“Ikki! Ikki!” Teriakan mengajak kosongkan gelas terlontar. Tawa dan omongan ngawur mulai terdengar. Aku merasa tak nyaman. Perempuan dalam kumpulan lelaki mabuk tidaklah aman. Diam-diam kutinggalkan bilik restoran hotel tempat jamuan makan malam, hendak kembali ke kamarku. Pintu lift terbuka sebelum aku memencet tombol. Sosok yang sangat kukenal keluar dari dalam kamar angkut itu. Lalu kami saling bertatapan hingga pintu lift menutup. Aku tak jadi naik dan lelaki itu terpaku di depanku. Endo!

“Apa kabar? Aku mencarimu di atas.” Endo berkata dalam bahasa Indonesia berlogat Jepang. Melakukan ojigi, membungkuk dalam-dalam. Yang segera kubalas dengan gerakan yang sama. Lalu ia mengajak duduk-duduk di lobby. Setelah obrolan basa-basi kami sepakat jalan keluar hotel.

“Kau harus merasakan dengan kulitmu sendiri udara malam kampung halamanku, Nina-chan.” Aku tersenyum, dulu aku pun pernah mengajakmu semalam suntuk menjelajah Malioboro sampai Prawirotaman. Boncengan dengan sepeda onthel tua yang disewa dari rental sepeda. Makan di lesehan, lalu bercengkerama di perempatan titik nol. Di antara Benteng Vredeburg, Gedung Agung, kantor pos, dan bank negara, bangunan tua peninggalan Belanda yang masih kokoh hingga kini. Endo menggombal bahwa ia punya cinta seawet gedung-gedung itu. Aku sedikit mengejek. Mengawetkan cinta butuh formalin seberapa? Sementara memelihara kasih yang ada pun malas-malasan.

“Kenapa kau tak ikut makan malam?” Tanyaku dalam langkah pertama di luar hotel. Lelaki muda itu menunduk. Poni lurus hitamnya jatuh menutupi mata. “Kau merekomendasikan namaku pada Satoshi agar aku bisa mengikuti kongres budaya ini, tapi kau sendiri tak hadir.” Sejak awal aku merasa kurang layak berada di dalam kumpulan seniman-seniman besar Asia itu. Karyaku belum ada apa-apanya. Aku curiga Endo melakukan rekayasa. Entah bagaimana sehingga namaku terpilih. Begitu banyak nama besar dengan jam terbang tinggi yang lebih pantas diundang daripada aku. Di kotaku aku masih dianggap anak kemarin sore. Rasanya aneh dihormati dengan segala fasilitas kelas satu. Sementara di negeri sendiri belum diakui.

Baca juga  Mengurai Kematian

“Aku merekomendasikan beberapa nama, mereka yang memilih. Aku tak punya kuasa untuk mempengaruhi mereka. Tapi menurut Satoshi karena kau cantik. Dan aku setuju.” Endo tetawa sambil meraih tanganku. Kutepis dengan segera. Baru bertemu sudah merayu! Aku tak suka kata-kata Endo. Jika tak memenuhi kualifikasi tak perlu dipaksa. Apalagi bila dinilai dari fisik semata. Aku tak mau jadi wanita pemenuh kuota! Sebuah hinaan atas karya perempuan. Di negara semaju ini kesetaraan pun masih berjalan timpang. Mana ada karya diukur dari tampang!

“Jangan cemberut, kau seniwati muda berbakat. Tak perlu inferior pada yang lebih berumur. Lebih tua belum tentu lebih bagus. Hanya lebih dulu eksis saja. Soal pengalaman bisa dipelajari. Kau sangat produktif dan pantas dipertimbangkan. Asal tahu saja kami memiliki kurator terbaik di dunia. Dan mereka takkan mendengarku walau aku berteriak dari menara Tokyo.” Aku merasa lega dengan penjelasan Endo.

Kami memasuki shokudo, memesan semangkuk ramen. Endo mengambil dua pasang hashi. Diberikan sepasang padaku. “Ayo makan berdua seperti di angkringan.” Endo tertawa, tawa yang seperti boneka. Menguak kenangan lama. Kuakui pernah ada saat indah bersamanya. Saat kami masih saling cinta. Tapi aku tak yakin mampu hidup rukun beradu kulit dengan orang asing. Endo menuangkan soyu banyak-banyak. Aku tak suka kecap asin itu. Lidahku terbiasa dengan kecap manis sejak kecil. Ah, selalu saja ada bahan pertentangan di antara kami.

Pemuda Machida itu lahap menyeruput mi. Ia tampak begitu lapar. Keheranan aku bertanya, “Kalau kau selapar itu mengapa tak makan malam bersama yang lain?” Endo pun peserta kongres, ia punya jatah makan malam yang sama dengan kami. Kuletakkan sumpit bambu yang tak kubuka kertas pembungkusnya di meja. Tak kuterima tawaran makan Endo. Aku masih kenyang dan tak punya minat untuk beromansa dengannya.

“Aku tak suka keramaian, kumpulan orang-orang membuatku berdebar-debar dan emosional. Lebih baik aku tak datang daripada bertingkah memalukan.” Kuhela napas, setelah sekian lama kukira ia sudah sembuh. Endo adalah seorang perupa muda yang jenius. Namun, menderita Asperger Syndrome. Penyakit orang kreatif yang penyendiri dan eksentrik. Korban tuntutan keadaan. Kemajuan zaman menciptakan kemunduran mental. Hari-hari sibuk dan persaingan ketat tak menyisakan ruang untuk menarik napas. Menciptakan kaum hatarakibachi. Kutu pekerja yang tak mengenal diam, justru merasa bersalah jika harus istirahat. Bahkan menganggap tidur adalah kesia-siaan.

Baca juga  Kalau Kau Memandang dengan Mata Terpejam

“Kau lebih suka berkumpul dengan serangga-seranggamu kan?” Sejak kecil Endo memiliki ketertarikan luar biasa pada serangga. Hampir seluruh karyanya terinspirasi dari makhluk kecil itu. Ia pun terus mencari cara dan lokasi baru untuk menangkap serangga. Perburuan serangga pula yang membawanya ke Indonesia. Dan mempertemukan kami.

“Ya, dan sekarang aku sedang merancang perangkap canggih untuk menangkap serangga langka. Satu-satunya di dunia.” Aku mengangguk. Paham akan etos kerjanya. Orang Jepang bila ingin naik ke puncak gunung dengan sepeda takkan memotong gunung memperpendek puncaknya atau membangun jalan super mulus hingga ke pucuk gunung. Tapi berinovasi dengan sepeda itu. Tekun mengotak-atik hingga tercipta sebuah temuan baru. Mungkin sebuah sepeda yang bisa merayap di tebing, atau sepeda yang mampu berjalan di atas pohon. Siapa yang tahu? Hidup di tanah penuh tantangan bencana, membuat selalu berpikir bagaimana membuat potensi kecil menjadi besar. Sedangkan tanah negeriku begitu memanjakanku, tongkat kayu pun bisa menjadi lagu.

“Serangga apa itu?” Tanyaku dengan polos tanpa menyadari perubahan wajah Endo. Ia menggeser tubuh merapat padaku. Lalu mendekatkan bibirnya ke telingaku. Berbisik. Manja dan bernada mesum.

“Seekor kutu buku, berkaca-mata, cantik, dan baik hati.” Seketika di mataku Endo berubah menjadi seekor laba-laba yang sedang menebar jaring penangkap mangsa. Sepintas teringat sakit hati di masa lalu. Ia mengaku cintanya padaku hanya sementara, selama di Indonesia. Bila pergi ke negara lain, ia akan mencintai yang lain. Baginya perempuan tak lebih dari serangga. Selama masih tergila-gila ia akan memuja dan terus memburu. Lalu bila menemukan jenis baru yang lama tinggal serangga mati terpigura, tersimpan dalam lemari koleksi. Cintanya seperti kutu loncat. Menjadi hama pengganggu kesuburan sawah yang baru saja hendak membulirkan kasih sayang.

Ah tidak, bagiku ia hanyalah seekor kutu pekerja yang terburu memburu dunia. Aku meninggalkan Endo. Dengan anggun seperti seekor kupu-kupu yang lolos dari jebakan jaring laba-laba. ***

.

.

Tokyo, 2011

.

Catatan:

Ofuro: bak mandi

Hatarakibachi: kutu pekerja

Chikatetsu: stasiun bawah tanah

Shokudo: kantin kecil

Hashi: sumpit

Machida: kota kecil di pinggiran Tokyo

Soyu: kecap Jepang

.
Hatarakibachi. Hatarakibachi. Hatarakibachi. Hatarakibachi. Hatarakibachi.

Loading

Average rating 4.3 / 5. Vote count: 41

No votes so far! Be the first to rate this post.

7 Comments

  1. asma

    Beberapa pembahasan seputar cerpen “Hatarakibachi”

    a. Tokoh utama dan tokoh pendukung

    – Tokoh utama bernama Nina, seorang seniman muda asal Indonesia yang memiliki sifat ramah terhadap orang lain, mudah bergaul, suka bercanda, dan pintar.
    – Tokoh pendukung ada dua orang Jepang bernama Satoshi dan Endo. Satoshi ialah salah seorang panitia kongres seni budaya, sedangkan Endo adalah seorang perupa yang menderita asperger syndrome, yaitu suatu penyakit yang senang menyendiri dan suka melakukan hal eksentrik. Endo juga pintar merayu dan terobsesi kepada serangga.

    b. Mengapa Nina-chan merasa ia kurang layak untuk hadir pada kongres budaya itu?

    Nina merasa kurang layak karena ia hanyalah seniman kecil dan masih banyak seniman yang lebih besar dan punya banyak jam terbang dari negaranya.

    c. Benarkah kecurigaan Nina-chan bahwa Endo melakukan rekayasa agar Nina-chan terpilih?

    Ya, benar. Hal itu dilakukan Endo karena ia sangat ingin bertemu dengan Nina.

    d. Di manakah latar dari cerpen di atas?

    Di Negeri Sakura alias Jepang. Dalam cerpen disebutkan beberapa latar seperti bandara, stasiun dan hotel yang ada di Jepang, dan juga nama-nama makanan khas yang ada di negeri tersebut.

    e. Sudut pandang apakah yang digunakan pencerita?

    Sudut padang orang pertama, dengan penggunakan kata “aku” dan “ku” dalam cerpen.

    f. Sebutkan tema yang diusung dalam cerpen tersebut.

    Ada dua tema, yaitu tentang (1) percintaan, dan (2) keuletan dan kegigihan orang Jepang dalam bekerja (hatarakibachi).

    g. Sebutkan salah satu pesan atau amanat dari cerpen di atas.

    Salah satu pesan dari cerpen tersebut di atas ialah perlunya sikap hati-hati terhadap pria yang hanya seperti “kutu loncat” dan mementingkan cinta sesaat.

  2. Comment by post author

    Salam.
    Kepada para pembaca ruangsastra dot com yang membutuhkan file cerpen di atas dalam word/pdf, silakan berkomentar di sini. Sertakan alamat email untuk pengiriman. ~admin~

    • Nuh

      Min, off-topic tapi saya ada saran. Bisa tidak buat kategori cerpen yang diurutkan berdasar tanggal posting? Biar pembaca bisa sortir cerpen yang diunggah tidak bersamaan dengan pemuatan di koran.

      • Comment by post author

        Sedang diusahakan untuk dirapikan seperti itu semua.

        – Posting lama dari arsip sebelumnya, terutama yang diimpor dari lakonhidup dot com, rentang tahun 2010-2020 masih banyak yang tidak sesuai tanggal pemuatannya.

        – Selanjutnya untuk posting baru, tetapi tanggal pemuatan di koran sudah lama, dan baru diarsipkan di ruangsastra dot com, maka Admin akan memberi tanggal posting sesuai tanggal terbit di koran dan mencentang “stick to the top of the blog” agar sementara waktu tampil di laman pertama.

        Demikian. Terima kasih sudah berkomentar.

        • Nuh

          Sip. Terus semangat bergiat dalam proses pengarsipannya. Cerita-cerita yang kita tuturkan akan sayang jika hilang tergerus waktu. Suatu saat kita akan lupa, kita tumbuh dan berubah lantas berpikir kenapa cerita ini dan itu, kita akan pergi dan tak kembali. Meski itu sebuah kepastian, tetap sebuah amalan yang berharga dan patut dilakukan lagi dan lagi mengingatkan diri kita tentang kata-kata yang pernah kita katakan, meski mungkin kita bukan orang-orang yang paling diberkati dalam tata kata dan ungkapan, tentang masalah-masalah yang membebani benak dan hati, seremeh dan senaif apapun mereka, tentang dulu dan cita-cita yang mengantar kita–mengingatkan kita sekali lagi tentang kita-kita yang pernah ada.

Leave a Reply

error: Content is protected !!