Cerpen, Ede Tea, Medan Pos

Awal Tahun yang Sulit

3
(5)

“Sudah awal tahun, kapan kamu pulang, Mas?” suara Ratih, istrinya, terdengar berat di telepon.

Masuro tersentak. Ia merasa bahwa dirinya telah gagal atau lebih tepatnya pantas disebut suami yang tidak bertanggung jawab.

Masuro tidak pernah mengharapkan itu terjadi. Rencana pulang kampung yang sudah dijadwalkannya sejak tahun kemarin gugur begitu saja. Seminggu setelah melakukan rapid test di salah satu puskesmas, ia dinyatakan positif terinfeksi virus corona. Sekarang Masuro tidak boleh keluar rumah barang satu jengkal jauhnya. Ia harus melakukan isolasi mandiri selama 14 hari. Padahal Masuro teramat merindukan istri serta kedua anaknya di kampung.

“Aku tidak bisa pulang, Ratih. Aku positif corona!” balas Masuro dengan suara tertahan. Berat.

“Ya Allah! Kok bisa, Mas?” suara Ratih meninggi.

“Sepertinya tertular dari temanku yang juga terinfeksi.”

“Terus gimana keadaan kamu sekarang, Mas?”

Hening sesaat. Tidak ada jawaban.

“Aku baik-baik saja, Ratih. Kau tidak usah khawatir. Maaf aku tidak bisa menunaikan janjiku untuk pulang pada awal tahun ini. Tolong beri tahu Sapta dan Lanang agar tidak menungguku pulang.”

Ratih menghela napas dalam.

“Mereka ingin bertemu denganmu. Begitu juga dengan aku!”

Tidak lama sambungan telepon terputus. Masuro yakin Ratih menyimpan gusar di dadanya seusai mendengar ucapannya tadi. Di tempatnya, Ratih segera membanting ponsel dari tangan. Seketika itu di ujung pelupuk mata bulat Ratih menyimpan begitu banyak genangan air mata.

Tiga tahun yang lalu Masuro merantau dari Lumajang ke Kemayoran. Di rumah kontrakan dua petak itu ia menjalani hidup sebagai kuli proyek. Namun, ternyata kenyataan yang begitu pahit membuatnya sulit untuk kembali ke kampung. Uang yang dikumpulkannya sebagai bekal pulang selalu habis untuk kebutuhan yang tak terduga.

Baca juga  Seusai Perang Besar

Terlebih lagi Masuro memang tidak pernah benar-benar ingin pulang saat itu. Terlalu banyak mimpi yang ia gantungkan di sana. Juga harapan untuk mendulang kata sukses. Dan satu-satunya arti sukses bagi Masuro adalah bisa membawa banyak uang ke kampung halaman.

Tetapi kenyataannya, Masuro tidak pernah bisa menyimpan uang. Baru tahun kemarin ia bisa menyisihkan sedikit gaji. Itu pun tidak banyak karena pandemi mulai merajalela. Sampai akhirnya tabungan Masuro lebih dari cukup untuk membeli tiket kereta dan sedikit buah tangan. Nahas, nasib berkata lain. Saat uang sudah berada di tangan, ia justru terhalang oleh virus yang kini bersarang dalam tubuhnya. Masuro tiada henti-hentinya menghela napas berat.

Kapan pulang, Pak?

Tetiba ponselnya bergetar. Masuro membaca pesan singkat yang dipenuhi emoji sedih itu. Sebuah pesan yang diketik oleh Sapta anak sulungnya.

Masuro tak lantas membalas pesan singkat itu. Ia melangkah menuju lemari plastik di sudut kamarnya dengan air mata yang tertahan. Perlahan ia membuka lemari pakaian itu. Diambilnya setumpuk foto dari bawah lipatan baju. Dirinya mendadak gamang.

Lima tahun adalah waktu yang panjang. Ibarat sebuah pohon akasia, mungkin sudah menjulang tinggi dan kekar. Begitu juga dengan Sapta anak pertamanya yang kini sudah berusia 12 tahun. Mungkin sudah pandai memanjat pohon mangga milik tetangga. Atau si kecil Lanang yang dulu ia tinggalkan saat masih orok. Mungkin sudah jago bermain bola dan membuat Ratih kewalahan.

Dalam foto-foto itu Sapta masih terlihat lucu. Juga Lanang yang masih susah membuka mata. Namun, ia yakin bahwa perempuan yang memeluk mereka itu tidak akan pernah berubah. Masih cantik seperti dulu. Meskipun ia tidak bisa menduga dengan pasti. Masuro hanya bisa berandai-andai melalui suara yang kerap terdengar dari ujung telepon.

Baca juga  720 Hari Kesepian

“Kamu simpan foto mereka ya, Mas. Buat obat kangen!” begitu pesan Ratih saat Masuro sibuk merapikan perlengkapan sebelum pergi merantau.

Masuro sangat terhibur dengan foto-foto itu. Terlebih saat dirinya merasa sangat lelah dengan pekerjaan. Hanya foto mereka yang bisa membuat Masuro bersemangat kembali. Foto-foto itu adalah pupuk semangatnya selama hidup di tanah rantau.

Semoga Bapak bisa segera pulang, supaya kita bisa kumpul bareng lagi!

Satu pesan singkat kembali masuk ke dalam ponselnya. Tetiba cairan bening menetes dari kelopak mata bulat Masuro.

Kepala masuro mendadak berat. Ia merasa telah gagal. Benar-benar gagal. Apa yang terjadi dengannya sekarang adalah bukti bahwa Masuro tidak bisa menjadi kepala rumah tangga yang baik. Semua tidak sesuai dengan harapannya dahulu ketika tekadnya begitu bulat untuk merantau ke ibu kota. Dulu ia begitu yakin akan sukses di Jakarta berbekal ijazah SMA. Namun, kenyataannya begitu pahit. Masuro hanya bisa mengirim lima ratus ribu perbulan untuk keperluan Ratih dan kedua anaknya. Itu pun sudah ditambah dengan upah hasil kuli panggulnya di pasar.

Dan kini ia telah membuat kesedihan lain: membatalkan rencana pulang. Tubuh Masuro mendadak limbung. Foto-foto itu ia hamburkan di atas kasur. Perasaanya begitu pedih. Perih!

Di tengah kesedihan itu, tiba-tiba telepon Masuro berdering. Tapi Masuro tidak bersemangat untuk menjawabnya. Telepon itu pun terus berdering berulang-ulang. Dengan berat dan terpaksa, Masuro mengangkat kepalanya lalu mencari benda itu. Tubuhnya seketika lemas ketika nama Ratih tertera di layar kecil ponselnya. Ia yakin Ratih akan terus memaksanya pulang. Oh, Ratih! Bukannya aku tidak mau pulang, tapi ini semua aku lakukan demi kebaikan kalian! Pikir Masuro.

Baca juga  Kepulangan yang Tak Kuinginkan

Masuro pun segera menekan tombol hijau di ponselnya.

“H-halo, Pak,” terdengar suara Sapta anak sulungnya terbata-bata di ujung telepon.

Saat itu juga Masuro mendengar gelagat aneh pada suara anaknya. Kepala Masuro kembali penuh dengan beragam pertanyaan. Hal demikian disebabkan karena prasangka buruk yang mendekapnya dengan cepat.

“Pak, halo, Pak!”

“Iya, Nak. Ada apa? Tolong kamu bersabar! Jika Bapak sudah sembuh nanti, Bapak pasti pulang, Nak!”

“Halo! Ibu sudah pulang, Pak! Sudah pulang!”

Masuro segera bangkit dari posisi duduknya.

“Halo, Sapta! Apa maksudmu, Nak?”

Tetiba sambungan telepon terputus. Badan Masuro mati rasa. Ia berpaling menatap hamparan foto di atas kasur. Wajah-wajah itu, ah… Masuro tidak habis pikir bahwa awal tahun ini akan terasa sangat sulit baginya. [*]

Ede Tea lahir di Bogor tahun 1998. Cerpennya tersebar di media cetak dan daring. Karya-karyanya juga tergabung dalam beberapa buku antologi. Mahasiswa Institut Digital Bisnis Indonesia yang bergabung di Komunitas Pembatas Buku Jakarta.

Loading

Average rating 3 / 5. Vote count: 5

No votes so far! Be the first to rate this post.

Leave a Reply

error: Content is protected !!