Cerpen, Kompas, S Prasetyo Utomo

Penjaga Kubur Nyai Laras

4.3
(3)

Siapa berani membongkar kubur Nyai Laras di atas bukit yang diratakan dengan jalan raya? Di puncak senyap bukit gersang tiada henti gemuruh begu mengeruk tanah berbongkah-bongkah, truk-truk menderu menuruni jalan aspal. Tercecer-cecer guguran tanah sepanjang pinggang bukit. Mandor Karso berkacak pinggang. Mengepulkan asap rokok. Mengawasi sopir-sopir truk mengangkut bongkahan-bongkahan tanah, menyusuri jalan raya. Mereka, sopir-sopir itu, sesekali mengomel, melontarkan perasaan tak suka pada Mandor Karso yang berperangai congkak. Tapi mereka tak bisa mengelak dari perintah lelaki setengah baya itu.

Pepohonan di atas bukit gersang ditebang, dipotong-potong. Kayu-kayu diangkut truk pembeli, yang ditentukan Mandor Karso. Batu-batu dipecah, bertumpuk-tumpuk. Mandor Karso pula yang menjualnya. Binatang-binatang liar penghuni bukit yang masih tersisa, seperti luwak, berlari menghindar, mencari tanah berbukit dan belukar yang tak terenggut tangan manusia.

Tinggal puncak bukit, gubuk aus makam Nyai Laras, yang belum terbongkar begu. Dibiarkan makam terpencil di puncak bukit itu tetap berada di tempatnya. Mandor Karso sudah memanggil seorang penggali kubur muda untuk memindahkan makam Nyai Laras, perempuan pengembara yang menjadi nenek moyang orang-orang di perkampungan sekitar bukit.

“Kuberi kau ongkos dua kali lipat untuk memindahkan makam ini,” kata Mandor Karso pada penggali kubur muda.

Penggali kubur muda itu menggeleng. Wajahnya tanpa cahaya. “Saya tak berani.”

“Coba, cari penggali kubur yang berani memindahkan kubur Nyai Laras,” pinta Mandor Karso. Penggali kubur muda itu menampakkan kebimbangan. Mandor Karso memandangnya dengan tajam.

Penggali kubur muda mengangguk. Tampak ia tak yakin dengan anggukan kepalanya: sangsi akan kesanggupan penggali kubur lain untuk memindah makam Nyai Laras.

***

Lelaki setengah baya penggali kubur dari desa tetangga menemui Mandor Karso. Sepasang mata lelaki setengah baya penggali kubur itu bimbang. Mandor Karso tersenyum meyakinkan penggali kubur. Ia ingin lelaki setengah baya itu menemukan kekuatan hati untuk memindah makam Nyai Laras.

“Kau berani menggali kubur Nyai Laras?”

“Akan kulihat dulu makam itu,” tukas penggali kubur setengah baya. Ia mengangguk setengah hati, mengikuti langkah Mandor Karso, menyeberangi hamparan tanah gersang kecoklatan, mendaki bukit, pohon-pohon tumbang, bongkahan batu dihancurkan, truk pengangkut tanah dan begu yang siap meruntuhkan makam Nyai Laras di puncak bukit. Gubuk kecil tua itu masih kokoh di atas makam tak terawat. Mandor Karso merasa pasti bakal meruntuhkan ketakutan orang untuk membongkar makam.

Penggali kubur setengah baya yang memanggul linggis dan cangkul, terhenti melangkah sebelum mencapai makam Nyai Laras. Tubuhnya kaku. Mengejang. Tak lagi bisa melangkahkan kaki. Mandor Karso seperti ingin mempengaruhi penggali kubur setengah baya, dengan kemarahan yang terpendam dan seperti ingin menarik tubuh kaku itu. Penggali kubur setengah baya itu memancarkan rasa takut. Memucat wajahnya.

Baca juga  Apa Kata Kuncinya?

“Kalau kau tak berani membongkar makam ini,” kata Mandor Karso, “temani saja aku di sini. Akan kugali sendiri.”

Mandor Karso mengambil cangkul, membongkar makam, dengan tenaga dan ayunan yang kencang. Tubuhnya gemetar. Terus mencangkul. Tak berhenti mencangkul. Sesekali cangkulnya terantuk batu. Ia menggunakan linggis. Penggali kubur setengah baya hanya termangu. Berdiri memandangi Mandor Karso yang bercucuran peluh menggali kubur Nyai Laras.

Sebuah peti jenazah sudah disiapkan di atas mobil bak terbuka: untuk diisi tulang belulang dan tanah di dalam kubur. Ayunan cangkul Mandor Karso tinggal sejenggal lagi mencapai tulang-belulang Nyai Laras. Ia tersentak ketika ujung cangkulnya bersentuhan dengan tulang-belulang manusia. Peti jenazah diisi tanah dan tulang-belulang itu. Tercium bau harum yang lembut, seperti yang terhirup orang pada tiap tengah malam di lembah bukit.

Tanah dan tulang-belulang dalam peti jenazah hendak diangkut mobil bak terbuka, dan dimakamkan ke kuburan kampung. Seseorang lelaki setengah baya datang dari kota yang jauh, mencegah kehendak Mandor Karso.

“Jangan kubur leluhur kami ke makam kampung. Biar beliau dimakamkan di belakang rumah, dekat surau kami,” kata lelaki setengah baya santun itu.

“Kami tak akan membayar penggali kubur untuk memakamkan Nyai Laras ke sana!” Mandor Karso menentang. Sorot matanya tajam. Tatapannya memberangus lelaki setengah baya santun di hadapannya. Tapi lelaki setengah baya dari kota yang jauh itu tersenyum, mengangguk-angguk, meruntuhkan keangkuhan Mandor Karso.

“Biar kami yang membayar pemakaman Nyai Laras. Ini leluhur kami, dan aku keturunannya. Takkan kutelantarkan makamnya,” tukas lelaki setengah baya dari kota yang jauh. Peti berisi tulang-belulang dan tanah Nyai Laras diangkut mobil terbuka ke rumah tua di tepi kota, yang telah bertahun-tahun dikosongkan, berlumut, lembab, dengan kelelawar beterbangan. Sebuah surau rapuh di depan rumah tua juga dibiarkan kotor, lapuk, tak seorang pun merawatnya. Surau itu tak digunakan orang-orang untuk sembahyang. Tak pernah terdengar suara azan berkumandang dari dalamnya.

Penggali kubur setengah baya membuat liang lahat di halaman belakang rumah tua, dan orang-orang kampung, sungguh menakjubkan, berdatangan, membantu pemakaman Nyai Laras. Mereka berdoa di sekitar makam yang baru dipindahkan. Membersihkan pekarangan di sekitar rumah tua kosong. Duduk bersama di bawah pohon-pohon di sekitar makam Nyai Laras. Mengelilingi lelaki setengah baya santun dari kota yang jauh—dulu, keluarganya menempati rumah kosong itu.

Seseorang membawa makanan. Orang lain membawa minuman, nasi tumpeng, dan buah-buahan untuk dimakan bersama. Mereka sangat menghormati lelaki setengah baya santun dari kota yang jauh itu. Betapa hormat orang-orang pada keturunan Nyai Laras, yang selalu berbicara lembut pada orang-orang kampung. Mandor Karso tersingkir dari perbincangan. Orang- orang kampung tak menampakkan kebencian pada Mandor Karso. Tapi tak seorang pun mendekat dan menyapanya.

Baca juga  Serigala di Kelas Almira

***

Tertidur malam hari setelah memindahkan makam Nyai Laras, dalam gelisah, Mandor Karso mengigau. Dalam tidurnya, ia bermimpi, Nyai Laras datang mengetuk pintu. Istrinya membukakan pintu. Tersenyum lembut Nyai Laras. Belum tua benar. Berkain, berkebaya, dengan dandanan priyayi. Istri Mandor Karso terperanjat. Dalam mimpi Mandor Karso, istrinya membawa Nyai Laras ke kamar.

“Jangan malas, Karso! Bangun, ikut aku!” kata Nyai Laras.

Mandor Karso tergeragap. Tatapannya kabur. Tubuhnya lemas. Ia tak berani menatap sepasang mata Nyai Laras, yang memancarkan penaklukan. Sepasang mata yang meminta kesetiaan.

“Kau harus menjagaku!”

Dalam mimpi, Mandor Karso tak sanggup menukas. Tak sanggup bertanya. Ia bangkit. Mengikuti langkah Nyai Laras. Meninggalkan kamar. Tanpa menoleh. Langkahnya beberapa jengkal di belakang pantat Nyai Laras. Di ambang pintu istri Mandor Karso terus memandangi punggung suaminya yang menjauh. Menghilang dalam gelap malam. Mandor Karso tak pernah bertanya, ke mana ia dibawa Nyai Laras. Ia seperti tak punya kesadaran untuk bertanya.

Malam sangat pekat. Tapi terasa menenteramkan hati Mandor Karso. Ia mencapai rumah kosong, surau tua dan makam Nyai Laras. Rumah tua itu sangat sunyi. Telah bertahun-tahun ditinggalkan penghuninya. Ini rumah lelaki setengah baya santun, keturunan Nyai Laras, yang kini bertugas di kota yang jauh.

“Kau mau tidur di mana?”

“Saya akan menjaga surau, Nyai.”

“Jangan lupa. Kau harus menjaga rumah besar itu pula!”

Mandor Karso memilih tidur di sebuah kamar kosong di surau. Ia tenteram. Surau itu tak digunakan orang-orang untuk sembahyang. Surau yang remang-remang. Lampu menyala terus-menerus sepanjang hari, siang-malam. Orang-orang lebih suka datang ke masjid yang megah. Tersekap dingin, Mandor Karso menyungkup tubuhnya dengan kain sarung. Ia memejamkan mata.

Nyai Laras meninggalkan lelaki setengah baya yang terlelap itu. Memendam senyum.

***

Tengah malam itu istri Mandor Karso tergeragap dari tidur di sisi suaminya. Ia mendengar ketukan pintu berkali-kali. Ia tergeragap ketika pintu dibukanya, yang datang seorang perempuan belum tua benar, berkain, berkebaya, dengan dandanan priyayi. Meminta bertemu suaminya. Istri Mandor Karso seperti tak kuasa menolak. Ia mengiringi langkah perempuan asing itu—dengan tubuh harum, seperti datang dari masa silam—untuk memasuki kamarnya. Membangunkan suaminya.

Perempuan berkain dan berkebaya itu membawa pergi Mandor Karso. Tersihir, istri Mandor Karso tak sanggup mencegah kepergian suaminya. Ia menatap kepergian mereka di pintu depan. Memandang lama hingga punggung mereka lenyap dalam gelap malam. Ia percaya suaminya tak akan pergi lama. Mungkin ini urusan bukit gersang yang diratakan dengan tanah. Tentu Mandor Karso akan segera kembali.

Istri Mandor Karso menunggu di ruang tamu. Dalam kantuk, sebelum dini hari, ia berharap suaminya mengetuk pintu. Tiba-tiba ia sangat rindu asap tembakau yang senantiasa mengepul setiap kali suaminya berada di rumah.

Baca juga  Cerita Nenek

Istri mandor itu menyeduh kopi panas. Menggoreng pisang. Sebungkus rokok kesukaan suami diletakkan tak jauh dari asbak yang dipenuhi puntung dan abu. Ia menunggu. Azan subuh sudah memancar ke langit dini hari, suaminya belum pulang. Ia menanti di depan pintu. Tetangga yang melihat istri Mandor Karso berdiri termangu di pelataran, menyapanya heran, “Kenapa kau berdiri di situ?”

“Menunggu suami pulang.”

Tak seorang pun menaruh rasa curiga. Tak seorang pun tahu bila Mandor Karso telah pergi bersama seorang perempuan berkain berkebaya dengan dandanan priyayi, dan belum juga kembali sampai saat ini. Istri Mandor Karso terus menunggu. Matahari mulai menghangat di pucuk-pucuk pepohonan. Tapi Mandor Karso tak kembali.

Istri Mandor Karso melihat seorang tetangga, lelaki tua, berjalan tergopoh-gopoh. Menghampirinya. “Kulihat suamimu membersihkan makam Nyai Laras. Tinggal di surau kosong. Sejak pagi ia berada di sana.”

***

“Apa kau tak ingin pulang?” pinta istri Mandor Karso.

“Rumahku di sini. Aku penjaga surau dan kubur Nyai Laras.”

Istri Mandor Karso merasakan sesuatu yang aneh menimpa diri suaminya. Laki-laki itu tak lagi merokok. Ia membersihkan makam seharian itu. Membersihkan surau. Membersihkan rumah kosong. Seperti tak merasa lapar, haus, dan lelah. Lelaki setengah baya itu juga seperti tak membutuhkan apa pun. Ia makan sekadarnya. Tak lahap seperti semula. Tak suka merokok.

“Pulanglah. Aku akan tinggal di sini, selamanya,” kata Mandor Karso. Istri Mandor Karso terlunta-lunta. Langkahnya pelan-pelan, limbung, menahan goncangan dada, serupa dahan-dahan rapuh terhembus angin.

Mandor Karso masih membersihkan surau yang lama ditinggalkan orang-orang. Ia tak peduli lagi dengan bukit yang digempur begu, diangkut tanah-tanahnya, hingga terhampar dataran tandus, rata dengan jalan raya, dengan suara truk-truk yang terus menderu. Mandor Karso menemukan dunianya yang berbeda sama sekali dari hari kemarin dan sebelum ini. Ia merasakan angin sejuk, matahari tak lagi menyengat, dan pergeseran waktu yang temaram.

Orang-orang di dekat surau kosong itu mendengar derit timba sumur, air yang mengucur mengisi tempat wudu. Ketika matahari tepat di atas puncak pohon mangga, dan tak lagi membangkitkan bayang-bayang, dari surau itu terdengar suara azan, parau, tetapi alangkah menyejukkan hati orang-orang. Telah bertahun-tahun semenjak lelaki setengah baya santun memboyong keluarganya ke kota yang jauh, dan rumah tua itu dikosongkan, dari surau tak pernah terdengar azan, gemericik air wudu, suara orang sembahyang dan anak-anak mengaji.

Loading

Average rating 4.3 / 5. Vote count: 3

No votes so far! Be the first to rate this post.

Leave a Reply

error: Content is protected !!