Cerpen, Gus tf Sakai, Kompas

Batu Lumut Kapas

3
(2)

Cerita yang kau dengar itu benar belaka. Tubuh Tuak Ije bagai menggigil ketika tangan Wan Ijun keluar dari saku celana, memegang sebentuk cincin dengan ujung jempol dan telunjuknya, lalu menyorongkan sangat dekat ke mata Tuak Ije. Kata Wan Ijun, “Lihatlah. Airnya sangat bening. Permukaannya sangat berkilau. Kristal! Perhatikan serat lumutnya. Hijau cincau! Begitu halus. Begitu teratur. Melenggok-lenggok seperti menari.”

GEMETAR, tangan Tuak Ije pelan terangkat. Hati-hati, meraih akik itu dari jari-jari Wan Ijun, lalu menerawangkannya ke matahari. “Batu … lumut kapas?” suaranya juga gemetar.

“Ya, batu lumut kapas,” suara Wan Ijun tegas.

“Lumut … Suliki?”

“Ya, batu kampung sini lumut Suliki.”

Mata Tuak Ije menyipit, mengamati akik itu. Mendekat dan menjauhkan dari matanya. Memutar, membolak-balik si akik, mendekatkan lagi, menjauhkan lagi, menerawangkan lagi ke matahari. Benar-benar jernih! Dan serat lumutnya, benar-benar kapas! Pelan, dialihkannya tatap ke mata Wan Ijun. Tubuhnya masih menggigil, suaranya masih gemetar, “Bagaimana … bagaimana kau mendapatkannya?”

“Jakarta. Dari Rawabening. Di Rawabening batu ini melimpah!”

Melimpah? M-e-l-i-m-p-a-h? Dari menggigil, dari menegang, wajah Tuak Ije pelan berubah: pias, layu, mrucut. Seperti kerupuk disiram. Serupa karung goni bocor. “Me … limpah?” suaranya melemah.

“Ya, melimpah!”

***

Cerita yang kau dengar itu benar belaka. Setelah peristiwa itu, Tuak Ije, lelaki tua tinggi bedegap yang terkenal sebagai pengumpul dan pemilik semua jenis batu akik lumut Suliki itu, seperti lenyap dari kampung. Konon, batu lumut kapas yang ia lihat dari Wan Ijun, telah menghancurkan hidupnya. Batu lumut kapas, itulah satu-satunya jenis batu lumut Suliki yang belum ia punya. Batu itu hanya dimiliki oleh orang-orang tua zaman ratusan tahun lalu di Suliki, dan Tuak Ije telah mencari batu lumut kapas itu sepanjang hidupnya.

Ya, sepanjang hidup. Bukan hanya kini, ketika semua orang bagai dijangkiti oleh demam akik.

Dan lalu, tiba-tiba, batu itu muncul. Bukan ditemukan di kampungnya, melainkan dibawa dari Jakarta.

Dan pula, kata Wan Ijun, melimpah!

Melimpah … sungguh tak mungkin, sungguh Tuak Ije tak percaya. Tetapi begitulah kenyataannya. Saat Tuak Ije pertama mendengar batu lumut kapas itu ada pada Wan Ijun, ia segera menduga kabar itu pastilah bohong. Ia tahu siapa Wan Ijun, sang semenda jelatang, lelaki kampung lain yang menikah dengan perempuan kampung sini dan selalu ribut dengan istrinya. Pekerjaannya tak jelas. Istrinya yang di kampung sini adalah istri yang entah keberapa setelah istri-istrinya di kampung lain yang juga tak jelas. Yang Tuak Ije tahu, Wan Ijun sering ke mana-mana, termasuk ke Jakarta dan, sejak musim akik, Wan Ijun ikut mencari akik-akik berkualitas super di Suliki ini lalu menjualnya ke lain kota. Pernah, beberapa kali, Wan Ijun meminta Tuak Ije agar melepas atau menjual koleksi akik Tuak Ije kepadanya. Tetapi tentu, Tuak Ije tak mau. Bukan hanya karena Wan Ijun menawar dengan harga sangat murah, tetapi juga karena sikap Wan Ijun yang seperti meremehkan atau memandang akik-akik lumut Suliki Tuak Ije dengan rendah.

Baca juga  Seseorang dengan Agenda di Tubuh

***

Cerita yang kau dengar itu benar belaka. Batu lumut kapas yang diperlihatkan Wan Ijun kepada Tuak Ije waktu itu bukanlah batu lumut kapas sebenarnya. Batu itu ia dapatkan di Rawabening, tak sengaja, dari seorang penjual akik yang bahkan si penjual pun juga tak tahu entah batu apa dan entah dari mana asalnya. Saat pertama Wan Ijun melihat akik itu, pikirannya langsung berkelebat kepada Tuak Ije dan sebuah rencana di kepalanya.

Tuak Ije dan batu lumut kapas, memang, sudah jadi rahasia umum di Suliki.

Setelah memiliki akik-akik bagus dan indah dari 99 jenis batu lumut Suliki, Tuak Ije masih mencari satu jenis batu lumut lagi yang konon bernama batu lumut kapas. Dikatakan konon, karena tak seorang pun pernah melihat seperti apa batu itu sebenarnya. Semua orang di Suliki hanya mendengar turun-temurun, dari orang-orang tua, dari mulut ke mulut, bahwa batu itu sangat keras dan bening seperti jenis batu lumut Suliki dari Sauik, tetapi memiliki serat sangat halus, lebih halus dan indah dari serat lumut Suliki dari Ulu Banda. Sauik, Ulu Banda, adalah nama-nama kampung di Suliki tempat di mana batu-batu akik itu digali. Selain Sauik dan Ulu Banda, masih ada sejumlah kampung galian lain dengan ciri batu yang tentu juga lain.

Sudah ke semua tempat itu Tuak Ije menggali, tetapi tetap tak ia temukan batu lumut kapas. Sudah Tuak Ije coba membuka galian baru di sejumlah lokasi, tetap juga tak ia temukan. Bahkan Tuak Ije sampai pernah melakukan ritual mistik seperti disarankan seorang “pintar”, tetapi hasilnya tetap: batu lumut kapas bagai ditakdirkan bukan milik Tuak Ije.

Baca juga  Berlindung di Bawah Payung yang Robek

Dan, hal itulah yang dimanfaatkan oleh Wan Ijun. Akan ia runtuhkan mental Tuak Ije: agar Tuak Ije tak lagi angkuh, agar Tuak Ije tak lagi sok jual mahal dengan akik-akiknya.

***

Cerita yang kau dengar itu benar belaka. Tuak Ije bukan lenyap dari kampung, melainkan mengurung diri di rumahnya. Dan pada hari Tuak Ije keluar menampakkan diri, betapa orang-orang sangat terkejut. Tubuh lelaki tua yang dulu besar bedegap itu, sekarang menjelma jadi kurus. Kesan gagah yang dulu masih kentara, sama sekali hilang, sirna, berganti jadi seorang tua yang kuyu, renta, tak ubahnya kakek-kakek dalam usia senja.

Dan yang juga sangat mengejutkan, Tuak Ije membawa akik-akiknya, lalu memberikan kepada orang-orang. Memberikan! Bukan menjual! Akik-akik yang ia sayang. Akik-akik yang ia cinta. Akik-akik yang telah dengan susah-payah ia kumpulkan selama puluhan tahun. Sejak remaja. Sejak belia.

Semua orang kampung, tentu, jadi bertanya-tanya. Kenapa Tuak Ije jadi berubah? Apakah yang telah terjadi pada Tuak Ije?

Kecuali seorang, tentu, yang jauh dari rasa heran. Wan Ijun. Si semenda jelatang itu bungah dalam rasa lega. Bahagia.

Hanya saja, Wan Ijun tak menyangka. Ia memang berpikir, berharap, Tuak Ije tak lagi bangga akan akik-akiknya. Tetapi ternyata, bukan hanya hilang bangga, Tuak Ije malah memberi menyerahkan akik-akiknya kepada orang-orang. Ya, bukan menjual. Bukan menjual murah seperti harapan Wan Ijun. Dan, tubuh itu, tubuh yang tiba-tiba menjelma renta, juga jauh dari sangkaan Wan Ijun. Bisa begitu terpukulkah, bisa begitu hancurkah Tuak Ije, hanya oleh batu lumut kapas?

Dan ternyata pula, bukan hanya hancur. Melainkan, sungguh-sungguh hancur. Tak sampai sebulan setelah hari Tuak Ije pertama keluar dari rumah, kabar itu pun beredar: Tuak Ije meninggal.

Semua orang kampung terpana.

Tak terkecuali Wan Ijun.

***

Cerita yang kau dengar itu benar belaka. Tubuh Wan Ijun bagai menggigil ketika tangan Din Kudil keluar dari saku celana, memegang sebentuk cincin dengan ujung jempol dan telunjuknya, lalu menyorongkan sangat dekat ke mata Wan Ijun. Kata Din Kudil, “Lihatlah. Airnya sangat bening. Permukaannya sangat berkilau. Kristal! Perhatikan serat lumutnya. Hijau cincau! Begitu halus. Begitu teratur. Melenggok-lenggok seperti menari.”

Baca juga  Tiga Helai Karet Gelang di Tangan Seorang Ayah

Gemetar, tangan Wan Ijun pelan terangkat. Hati-hati, meraih akik itu dari jari-jari Din Kudil, lalu menerawangkannya ke matahari. “Batu … lumut kapas?” suaranya juga gemetar.

“Ya, batu lumut kapas,” suara Din Kudil tegas.

“Lumut … Suliki?”

“Ya, batu kampung kami lumut Suliki.”

Tak mungkin … tak mungkin batu lumut kapas ternyata benar-benar ada. Wan Ijun mengamati, membolak-balik batu itu tak percaya. Dialihkannya tatap ke mata Din Kudil. Tubuhnya makin menggigil, suaranya makin gemetar, “Bagaimana … bagaimana kau mendapatkannya?”

“Makam Tuak Ije. Batu-batu di makam Tuak Ije.”

“Maksudmu?”

“Batu-batu tatok itu. Batu-batu tatok di makam Tuak Ije ternyata adalah batu lumut kapas.”

“Batu-batu tatok?!” mendadak, suara Wan Ijun berubah jadi menyentak. Wajahnya juga berubah drastis.

“Ya, cobalah lihat ke pengasahan. Orang-orang ribut, heboh, ramai mengasah batu lumut kapas.”

***

Cerita yang kau dengar itu benar belaka. Batu-batu tatok adalah batu-batu yang diletakkan di sekeliling gundukan makam untuk sementara, sebelum makam disemen atau ditembok beberapa hari sesudahnya. Tetapi, cerita yang tak pernah kau dengar adalah, batu-batu tatok itu berasal dari pemberian Wan Ijun! Ya! Batu-batu yang, konon, dulu sekali, diangkut dan dibawa oleh kakek istrinya. Batu yang kata si istri adalah bongkah-bongkah batu biasa dan, daripada menyempit di kolong rumah, ia berikan kepada keluarga Tuak Ije. Sebagai sumbangan, sebagai tanda ikut berdukacita. Atau, seperti yang biasa Wan Ijun lakukan, semacam cara untuk cari muka.

Dan makanya, bila kau datang ke kampung kami Suliki, kau akan mendengar cerita tentang Wan Ijun yang tiba-tiba juga meninggal. Dan, seperti halnya kematian Tuak Ije, orang-orang juga merasa heran. Tetapi, kita, kau dan aku, tak perlu merasa heran, bukan? Apalagi, seperti kata polisi, Wan Ijun mati bunuh diri. ***

Gus tf Sakai. Penulis cerpen dan kolektor akik lumut hijau Suliki. Menulis cerpen sejak 1979 dan telah menerbitkan 5 buku kumpulan cerpen. Sekarang menetap di kampungnya, Payakumbuh, Sumatera Barat.

Loading

Average rating 3 / 5. Vote count: 2

No votes so far! Be the first to rate this post.

Leave a Reply

error: Content is protected !!